BAB 6

4892 Kata
"Bagiku," kata Heyna. "Kemampuan dan kekuatan adalah salah satu alasan dari seberapa berharganya nyawa seseorang. Jika seseorang memiliki dua hal tersebut dengan tingkat yang tinggi, dialah orang yang memiliki nyawa berharga. Tapi, jika seseorang tidak memiliki dua hal tersebut, dia sudah tidak berguna untuk hidup di dunia yang luas ini, tak berguna, sampah, dan layak untuk dilenyapkan. Karena nyawanya tidak ada harganya." Aku terkejut mendengarnya. Itu membuatku ingin berteriak sekencang-kencangnya kalau penilaiannya tentang setiap nyawa manusia adalah salah, seharusnya, bukan seperti itu. Semua yang Heyna katakan sepenuhnya tidak benar, dia hanya mengatakan hal-hal yang mengundang kebencian, itu benar-benar memuakkan. "Kau salah!" pekiku dengan napas terengah-engah karena tidak tahan melihat Harmon terluka dan Gizel pingsan. "Semuanya ... semua nyawa manusia berharga! Setiap orang yang terlahir ke dunia ini memiliki nyawa yang berharga, tidak ternilai, dan mempunyai hak untuk hidup! Kau ... mengatakan hal-hal kejam seperti itu membuatku semakin yakin kalau kau hanyalah seorang gadis polos yang tidak tahu apa-apa mengenai nyawa orang lain!" Heyna mendengar jawabanku membuatnya tersentak tidak paham, dia memasang wajah kesal padaku. "Itu artinya," kata Heyna dengan menggeram. "Nyawa Mamamu juga berharga? Setelah dia membawa satu per satu temanmu untuk diadopsi, ah, tidak, maksudku, dibunuh oleh para monster, begitu menurutmu?" "Monster?" Aku mengernyitkan dahi. "Itu semua hanya bohong! Tidak ada yang namanya monster di dunia ini! Semuanya sudah terungkap jelas oleh temanku, Merki, bahwa dunia luar adalah tempat yang damai." Heyna mendecih. "Percaya diri sekali kau berkata begitu," ujar Heyna. "Apakah kau punya buktinya? Jika memang benar, itu sama saja kau menyebut Papaku sebagai pembohong, 'kan?" Harmon tiba-tiba mengerang saat Heyna kembali menampakkan diri di dekatnya dengan menekan pedang yang menancap di perut lelaki feminim itu semakin dalam. "Hentikan! Heyna!" Sayangnya, Heyna tidak mendengarku, dia malah semakin senang saat melihat ekspresiku yang mengkhawatirkan Harmon. "Maaf, tapi, aku tidak tahan lagi." CRAT! "URGH!" Darah langsung menyembur dari mulut Harmon sampai berceceran di mana-mana, hingga dia terbatuk-batuk lemah. Aku yang melihat hal itu langsung cepat-cepat menghampiri Harmon dan berusaha menarik pedang tersebut, namun lagi-lagi usahaku sia-sia. Heyna yang masih berdiri di dekatku terus menyunggingkan senyuman. "Kau lihat? Dia memang tidak berguna untuk hidup di dunia ini," ucap Heyna dengan mendesah. "Kalau begitu, aku pamit. Selamat tinggal, Antarez." Dan akhirnya, Heyna kembali mengaktifkan sihir perubahan kulitnya yang membuatnya tidak terlihat oleh siapa pun. Perlahan-lahan, Harmon tersenyum padaku dengan darah yang masih mengalir dari perut dan mulutnya. "Hey, Antarez," ucap Harmon dengan nada yang lemah, membuatku menoleh padanya. "Kapan-kapan, kenalkan aku pada keempat temanmu, ya. Dan juga, aku titip Gizel, Elena, dan Heyna padamu, ya. Sepertinya, aku mulai mengantuk. Tolong, berjanjilah padaku, untuk tetap menjaga--" Dan ucapan Harmon terpotong karena nyawanya sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi, matanya secara perlahan menjadi kosong, dan tubuhnya langsung lemas. Harmon telah meninggal. Aku menggenggam lengan Harmon, air mataku menetes-netes di pakaiannya. Salju adalah musim terakhir yang Harmon lihat, hari ini adalah waktu kepergiannya. Aku menangis tersedu-sedu, sambil terus meremas-remas tanah bersalju. Baru kali ini aku melihat orang meninggal tepat di hadapanku. Ini benar-benar menyakitkan. Mengingat Harmon adalah seorang lelaki yang lumayan ceria jika dibandingkan Gizel dan Heyna. Namun, sayangnya, Harmon telah pergi. Untuk selamanya. "Aku ... menyesal! Aku menyesal! Ini salahku! Ini adalah salahku! Jika saja aku tidak mengajak mereka untuk datang ke sini dan tetap tinggal di dalam tanah, mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi! Dan Harmon pasti tetap hidup! Tapi, bodohnya, aku malah mengajak mereka ke sini! AKU MENYESAL!" Aku meraung sekencang-kencangnya seperti seekor serigala, Elena pasti bersedih mendengar teriakanku walau tubuhnya masih berbentuk menjadi sebuah penjara yang mengurung Clara. Aku tidak percaya hidupku akan jadi seburuk ini, padahal sebelumnya, aku tidak pernah menduga kalau hal ini akan terjadi. Harmon terbunuh karena kesalahanku. Dan aku tidak akan pernah melupakannya sampai kapan pun. Karena Harmon adalah salah satu temanku dari Gantaroz. Aku menoleh pada Gizel yang masih pingsan jauh di samping Harmon, air mataku terus berjatuhan seperti hujan yang deras. "Maafkan aku, Gizel. Ini semua salahku. Aku pantas untuk dihukum." ☆☆☆ Marcell P.O.V Aku terkejut saat menyadari kalau mama sedang mengecup bibirku sampai dia menjilatinya. Karena menjijikan, aku langsung memundurkan posisi, lepas dari kecupan mama dan menatapnya dengan mata terbelalak. "Apa yang kau--" "Itu adalah tanda kasih sayang seorang Ibu pada Putranya, Marcell," ucap mama dengan melipat lengannya, tersenyum hangat padaku disertai suara lembutnya. "Jadi, jelaskan padaku apa yang harus kulakukan sekarang?" "Kasih sayang seorang Ibu?" Aku tersenyum kecil. "Mungkin lebih tepatnya, kasih sayang dari seorang p*****l?" Mendengar perkataanku membuat kedua mata mama melirik padaku dengan sinis. "Lupakan soal itu," timpal mama dengan nada datar. "Sekarang, jelaskan padaku apa yang harus kulakukan dalam kerja sama ini?" Rupanya dia memang seorang p*****l, buktinya mama ketakutan sampai dia tidak mau membicarakan hal itu hingga mengganti topik secara cepat. Dasar menjijikan. "Yang kau lakukan hanyalah membantuku dalam melakukan pencarian ini, Mama. Kau bisa memerintahkan bawahanmu untuk ikut membantu, karena Niko akan mudah ditemukan jika banyak orang yang mencarinya, 'kan?" Mama mengangguk-ngangguk mengerti, dia tersenyum lembut, dibalik senyumannya tersimpan suatu rahasia yang lumayan berbahaya. Walaupun aku melakukan kerja sama dengan mama, bukan berarti aku melebarkan pengawasanku dari wanita itu. Aku masih tetap mengamati gerak-geriknya karena aku tahu kalau tempat yang kini kutapakki adalah sarang para predator. "Aku sudah memerintahkan mereka semua, para penjaga, untuk mencari Niko sampai ketemu. Tapi, ada satu bawahanku yang belum kutitahkan, kalau kau mau, kau boleh menemuinya untuk memerintahkannya mencari Niko, Marcell," ucap mama dengan santai. "Kau tidak keberatan, 'kan?" "Maksudmu," kataku dengan dingin. "Aku harus menemui Kitara?" ☆☆☆ Karena telah mendapatkan izin dari mama, aku dapat bergerak bebas di panti asuhan ini tanpa harus terkurung di penjara seharian penuh, udara di sini sangat sejuk. Kini, aku sedang duduk di bangku taman halaman bermain Antaroza, banyak sekali anak-anak kecil yang lari-larian di sekitarku, mereka tertawa-tawa menikmati aneka permainan yang tersedia di sini. Contohnya seperti ayunan, terjun pasir, jungkat-jungkit dan sebagainya. Tapi, sebenarnya, tujuanku datang ke tempat ini bukanlah untuk bersantai ria seperti ini. Aku sedang menunggu seseorang di sini, 30 menit sudah berlalu tapi gadis itu masih belum menampakkan diri sama sekali. Sebenarnya apa yang sedang dia lakukan? Merepotkan saja. "Mungkin dia tidak akan datang." Aku mengangkat pantatku dari kursi, beranjak untuk pergi dari halaman bermain tersebut, namun, baru saja kakiku akan melangkah, terdengar suara sepatu yang berdetak-detak mendekatiku disertai napas yang terengah-engah. "Maaf aku terlambat." Aku menoleh pada seorang gadis yang sudah kutunggu selama 30 menit tersebut, rambutnya hitam panjang berikal, matanya kelam, dan raut wajahnya letih karena telah berlarian. "Dasar bodoh," ucapku dengan menindas. "Kau pikir kau siapa sampai membuatku menunggu selama ini, Kitara?" "Jadi, bocah itu menghilang?" Kitara merespon setelah mendengar penjelasanku mengenai Niko yang menghilang. Dilihat dari raut wajahnya saja, aku menduga kalau Kitara tidak peduli pada nasib Niko, mengingat dia membenci lelaki itu entah karena apa. "Bukankah itu bagus? Akan lebih mudah jika orang seperti Niko lenyap di dunia ini, dan karena hal itu, jumlah para pemberontak jadi berkurang. Pasti Mama akan senang sekali mendengar berita ini." Aku dan Kitara kini duduk berdua di bangku taman, hari sudah mulai sore, anak-anak masih bermain di sekitar tempat ini walau salju terus mengguyur taman bermain ini. "Kau salah, bodoh," Aku menjawab perkataan Kitara dengan mendengus. Karena cuaca semakin dingin, mulut kami selalu mengeluarkan asap saat berbicara. "Aku memanggilmu ke sini, itu semua karena perintah wanita itu. Dia bilang hanya ada satu bawahannya yang belum diperintah untuk mencari Niko dan itu tidak lain adalah kau, Kitara. Oh, dan juga, Mama sudah melakukan kerja sama denganku, itulah mengapa aku bisa bergerak bebas di Antaroza, walau hanya sementara." Kitara menatapku dengan tajam, dia seperti tidak mau percaya pada omonganku. "Kau bilang begitu, tapi aku tetap tidak akan mematuhi perintah itu jika kau yang mengatakanmya. Karena aku sangat membenci kalian semua, terutama Niko!" Aku tersenyum dingin, akhirnya dimulai juga Kitara menampilkan wajah marahnya padaku. "Sampai sekarang aku masih heran," Amarah Kitara mereda mendengar ucapanku. "Sebenarnya, kenapa kau bisa membenci Niko? Apa alasannya? Karena kupikir, dari dulu, kalian tidak pernah bertengkar, bukan?" Kitara kembali menaikkan amarahnya karena aku malah memberikan sebuah pertanyaan yang cukup v****r. Yah, aku dari dulu selalu bertanya-tanya mengapa dia bisa membenci Niko, padahal sebelum-sebelumnya, mereka selalu bermain bersama. Aku tidak pernah melihat Kitara dan Niko bermusuhan, setiap hari mereka selalu menggambar berdua disertai canda dan tawa. Sama sekali tidak pernah terlihat adanya konflik antara Niko dan Kitara. Tapi, apa yang membuat Kitara jadi memusuhi Niko? "Itu karena," Kitara mengeluarkan suaranya dengan nada yang menggeram jengkel. "Dia menolakku." "Menolak?" Apa maksudnya itu? Menolak tentang apa? Lagi-lagi dia membingungkanku, seakan-akan setiap ucapan yang dia keluarkan mengandung beberapa pertanyaan yang harus dicari jawabannya. Merepotkan sekali. Namun, biar kupikir-pikir dahulu, sebenarnya, maksud dari 'penolakan' yang dia katakan itu mungkin saja tentang percintaan. Ah, benar juga. Wajar saja jika itu memang tentang percintaan, karena Kitara sudah memasuki masa-masa puber yang pasti merasa tertarik pada lawan jenis. Mungkin suatu ketika Kitara menyatakan perasaannya pada Niko, tapi lelaki itu menolaknya karena beberapa alasan dan membuat hati gadis itu hancur, yang akhirnya melahirkan benih-benih kebencian di dalam hati Kitara pada Niko. Tapi hey, ini masih sebatas dugaanku saja. Walau sebenarnya, aku tidak peduli pada hal itu. "Apakah 'penolakan' yang kau maksud adalah tentang percintaan?" Entah kenapa, wajah Kitara langsung memerah saat mendengar ucapanku lalu kemudian, PLAK! Aku ditampar oleh Kitara sampai beberapa anak yang tengah bermain menghentikkan aktivitasnya dan memperhatikanku. "BUKAN TENTANG ITU!" Ini adalah pertama kalinya pipiku terkena tamparan oleh seorang gadis, hanya karena aku salah bicara. Menyedihkan sekali. Lantas, jika itu bukan tentang percintaan, lalu apa? Dia benar-benar merepotkan saja. "Jelaskan saja semuanya padaku. Kau tidak mau jika aku menduga-duga hal yang aneh lagi, 'kan?" Kitara menundukkan kepalanya. "Dulu, aku pernah membuatkan sebuah lukisan yang menampilkan semua anak-anak Antaroza sedang tersenyum pada Niko di halaman panti, awalnya dia senang sekali dibuatkan lukisan itu, tapi, setelah dua menit kemudian, dia langsung berkata 'Kitara, kurasa ada yang salah pada lukisanmu' lalu aku bertanya bagian mana yang dia nilai salah, dan Niko menunjuk seseorang yang kulukis di sana dengan telunjuknya dan berkata 'seharusnya Marcell tidak tersenyum padaku karena dia itu orangnya tidak suka tersenyum' dan akhirnya Niko menolak lukisan yang telah kubuat seharian penuh hanya karena kesalahan sepele. Itu membuatku sakit! Karena hal itu, aku membencinya!" Jujur saja, mau dipandang bagaimana pun, penjelasan yang dikatakan oleh Kitara benar-benar membuatku tersinggung. Itu karena inti dari permasalahannya adalah lukisan yang dilukis oleh Kitara menyertakan wajahku yang sedang tersenyum pada Niko di antara anak-anak Antaroza lainnya. Mungkin karena karakterku di Antaroza dikenal sebagai laki-laki dingin, membuat lukisan itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Aku tidak tahu harus bagaimana dalam menyikapi masalah bodoh yang telah meretakkan hubungan Kitara dan Niko, tapi yang jelas, berhentilah mempermasalahkan wajahku di lukisan yang bahkan tidak pernah kulihat sebelumnya. Itu sangat menjengkelkan, rasanya aku ingin memukul kepala setiap anak yang ada di taman ini. "Jadi, hanya karena hal itu kau berpihak pada Mama? Menyertakan masalah pribadimu dalam membuat keputusan yang penting? Kau pikir dengan caramu membenci Niko sampai ingin membunuhnya bisa membuatmu merasa puas?" Kedua mata Kitara terbelalak mendengar ucapanku, dia seperti ditampar oleh perkataanku, dan itu bagus, karena aku paling benci pada orang yang mudah sekali terbawa arus seperti Kitara. Dari sikapnya saja, aku sadar kalau Kitara hanya seorang gadis polos yang sensitif dan masih belum paham mana yang benar mau pun salah. Yang ada di benaknya hanya ada benci, benci, dan benci, sampai akhirnya dia terjerumus dalam jalan yang salah. Intinya, selama ini Kitara tersesat sendirian. "Aku yakin, jika Niko mendengar ini dia pasti bakal tertawa." Aku menarik napas panjang saat Kitara menoleh padaku. "Jika Niko menertawakanku, kubunuh dia!" "Maksudku," ucapku dengan dingin, salju mulai berdesir lebih kencang dari biasanya. "Niko pasti tidak akan percaya kalau kau marah hanya karena hal itu, soalnya sosok Kitara yang dia kenal adalah seorang gadis baik yang selalu membimbingnya ke jalan yang lurus. Dan sampai detik ini, Niko tidak pernah membencimu, bodoh. Malahan, kau yang terlalu bodoh karena menseriuskan masalah yang bahkan Niko telah melupakannya. Kau paham, Gadis Bodoh?" Dan yang bisa Kitara lakukan setelah mendengar semua omonganku hanyalah terdiam kaku, seperti seseorang yang kaget karena melihat hantu. "Ak-aku--" "Intinya kau bodoh, Kitara." potongku dengan menyeringai senang. "Luapan emosimu, perasaan yang membelunggumu, penderitaan yang menjeratmu, semuanya karena ulahmu sendiri. Kau yang membuat dirimu sendiri kesakitan, padahal, kalau dipikir dengan akal sehat, kau tinggal membuat lukisan baru jika Niko menolak lukisan yang kau buat." "Ta-tapi--" "Sekarang," Lagi-lagi aku memotong ucapannya. "Aku ingin kau menjelaskan semua itu pada Niko jika bocah itu telah ditemukan, kau harus bertanggung jawab karena telah membuat dia dan kami semua kebingungan! Aku tidak ingin penolakan! Kau harus mau melakukannya!" Kitara benar-benar terkejut mendengarnya, tubuhnya gemetar dan matanya berkaca-kaca. "Jika kau menginginkannya, ba-baiklah ...." Kitara tersenyum padaku. Sreeeeet! Aku mengeluarkan pedang yang menancap pada tubuh Harmon dan syukurlah, benda itu lepas dengan mudah. Kuletakkan pedang itu di tanah dan mengangkat tubuh Harmon dengan sekuat tenaga, kugendong dia dan berjalan terhuyung-huyung menuju pekarangan yang cukup luas dan sepi. Salju masih terus berjatuhan, merembes tanah kering ini hingga terselimuti oleh gumpalan salju yang dingin, membuat siapa pun yang berjalan, betisnya akan tenggelam oleh gumpalan tersebut. Walaupun betisku tenggelam, aku tetap melangkah dan melangkah untuk mendapatkan tempat yang pas. Maksudku datang ke pekarangan sepi ini dengan membawa jasad Harmon yang terluka adalah untuk membuatkan sebuah kuburan untuknya, aku pikir dengan ini diriku bisa bertanggung jawab dalam mengurusi seorang teman yang telah meninggal. Beruntung, ada sebuah cangkul yang tergeletak dihujani oleh salju di sekitar tempat itu, aku bergegas mendekati dan mengambil cangkul itu setelah kubaringkan Harmon di tanah bersalju. Kugali tanah sedalam mungkin dan memasukkan tubuh Harmon dengan hati-hati ke dalam tanah. Setelah itu, kututup kembali tanah yang telah kugali agar Harmon dapat tinggal di sana dengan tenang. Air mataku perlahan-lahan mengucur saat muka Harmon yang sedang tersenyum telah tertimbun oleh tanah bersalju ini. Aku tidak habis pikir kalau membuat kuburan untuk teman dapat memerahkan mataku hingga menangis. Benar-benar menyesakkan. "Harmon, maafkan aku," Aku menghapus air mata yang membasahi pipiku. "Hanya ini yang bisa kulakukan, kuharap kau bisa tidur dengan tenang di sana, aku berjanji, aku akan menjaga dan mengawasi teman-temanmu, Harmon. Dan aku tidak akan pernah melupakanmu." Setelah mengatakan itu pada Harmon, aku lekas pergi dari tempat itu, meninggalkannya dengan hati yang pilu untuk kembali ke halaman belakang panti yang di sana ada Gizel, Elena, dan juga musuh kami yang sudah terkurung, Clara. Saat aku kembali ke sana, ternyata Gizel sudah bangun dan Elena telah menonaktifkan sihirnya yang membuat Clara terbaring di tanah tanpa adanya kurungan yang menyekapnya. "Niko, jawab aku!" Baru saja aku akan menyapa Gizel, lelaki itu langsung membentakku yang membuatku tidak paham apa yang telah terjadi darinya. "Mengapa kau membunuh Harmon!? Hah!?" Sebuah pertanyaan yang sangat mengejutkan telah terlontar padaku, seolah-olah Gizel menyangka bahwa aku yang telah membunuh Harmon. Tapi, kenapa dia bisa begitu, apa mungkin ini perbuatannya Elena? Sepertinya Gizel marah padaku karena gadis itu telah menceritakan kebohongan mengenai kematian Harmon dan juga pembunuhnya. Sialan! "Apa maksudmu itu? Kau pikir aku yang telah membunuh Harmon? Itu tidak mungkin!" teriakku pada Gizel, lalu mataku beralih pada Elena. "Kebohongan apa yang telah kau katakan pada Gizel, Elena!? Bukankah kau juga melihat kejadian yang sebenarnya? Yang telah membunuh Harmon bukan aku! Tapi--" "Jangan mengelak, Antarez!" Elena memotong ucapanku ketika aku akan menyebut nama Heyna sebagai pembunuh yang sebenarnya. "Gizel! Dia itu pembunuh! Aku melihatnya sendiri! Saat tubuhku masih berbentuk penjara yang mengurung Clara, dia dengan sengaja membunuh Harmon dari belakang! Bahkan Heyna sampai lari ketakutan karena perbuatannya! Itulah yang membuat Harmon dan Heyna menghilang di tempat ini!" Aku terkejut mendengarnya, aku tidak sangka kalau Elena benar-benar memojokanku dengan menggunakan kebohongan yang dia buat. Aku kira Elena adalah temanku, tapi sepertinya bukan. Aku tahu dia tidak bekerja sama dengan Heyna, dari ekspresinya saja, Elena berbuat itu karena dia ingin menyingkirkanku dari Gizel. Aku tidak tahan lagi dengan ulahnya! Karena itulah, saat Gizel akan menumpahkan kemarahannya lagi padaku, aku langsung berteriak. "HEYNA! DIA LAH YANG TELAH MEMBUNUH HARMON! DAN ELENA TELAH MEMBOHONGIMU! GIZEL! AKU BERANI SUMPAH DEMI HAL INI!" Gizel dan Elena tersentak mendengar teriakanku, semoga saja dengan ini dapat membuat mata Gizel terbuka lebar untuk tahu kebenarannya. Tapi, Elena langsung berdecak ludah, mengutarakan kekesalannya padaku. "Mendengar teriakanmu membuatku ... GRAAAAHH!!!" BUAG! Tiba-tiba Gizel menghantamkan pukulannya pada wajahku sampai aku jatuh terjerembab ke tanah bersalju, sekilas, aku dapat melihat Elena tersenyum senang karena kejadian ini. "Gi-Gizel! Apa yang--" "Pembunuh sepertimu tidak pantas berteriak-teriak padaku! Dibanding dengan wanita pengejek itu, perbuatanmu lebih buruk dari dia! Kau adalah lelaki yang sangat kubenci! Aku ingin kau lenyap saja dari dunia ini! Karena dengan itu, dunia akan aman dari seorang pembunuh sepertimu! SEKARANG, AKU INGIN KAU TIDAK DEKAT-DEKAT DENGANKU!" Setelah mengatakan itu, Gizel bangun dan membalikkan badan, menampilkan punggungnya yang tegak padaku. "Julukan Meteora yang kau buat, aku membencinya sama seperti aku membenci sebutan penyihir." Lalu Gizel berjalan, melangkahkan kakinya untuk kembali ke tempat persembunyian di dalam tanah. "Tunggu! Gizel!" Belum sempat aku meraih punggung Gizel, Elena langsung menghadangku hingga kami berdua bertubrukkan, dan saling menatap dalam jarak dekat. "Elena!" "Sesuatu yang menggeliat-geliat di tubuhmu adalah kekuatan terpendammu, Antarez. Aku bisa merasakannya, seharusnya kau bersyukur karena itu. Dan maaf, aku sengaja berbohong pada Gizel, karena aku tidak mau kau mengganggu kami lagi. Soal pengkhianatan Heyna, aku serahkan itu padamu, mungkin dia sedang berkeliaran di panti asuhan ini untuk membunuh orang-orang di sini. Kau harus berhati-hati, Antarez. Kalau begitu, aku pergi, ya. Dan bilang pada Mamamu, kami ambil Clara, ya? Selamat tinggal." Elena tersenyum padaku dan pergi dengan membawa Clara di gendongannya, mengejar Gizel yang sudah jauh di depan. Aku sadar, semua ini terjadi karena kesalahanku mengajak mereka ke sini. Aku lupa kalau Antaroza adalah tempat yang berbahaya bagi anak-anak panti lain seperti mereka, di sini ada banyak orang-orang berbahaya. "Ya, selamat jalan, Gizel, Elena," kemudian aku juga membalikkan badan, berjalan ke arah yang berlawanan dari mereka. "Dan juga, selamat jalan, Harmon." Pada akhirnya, pertemananku dengan Gizel terputus, sekarang, kami sedang berjalan pada tujuan masing-masing. Tidak menoleh untuk terakhir kalinya karena aku pikir itu percuma. Tapi tetap saja, aku malah menoleh ke belakang untuk melihat mereka. Ternyata sudah tidak kelihatan karena kabut tebal dari salju yang menutupi mereka. ☆☆☆ "Eh? Marcell dan Ki-Kitara!? Apa yang kalian lakukan di sini?" Aku terkejut saat menemukan dua orang yang sedang duduk di kursi taman, mereka seperti dua sejoli yang berpacaran di tempat sepi ini, tunggu dulu! Marcell bersama Kitara? Bukankah mereka berada di pihak yang berbeda? Mengapa mereka berdua bisa akur seperti itu? Apa mungkin Marcell berkhianat pada pihaknya sendiri! Sialan! Apa yang ada di pikirannya sih! "Oh, kau datang juga, Niko. Kebetulan sekali, kami sedang membicarakanmu." Marcell berdiri dari kursi dan diikuti oleh Kitara. Dia tersenyum dengan menekan kaca matanya. "Kalian membicarakanku!? Sebenarnya, apa yang kau lakukan di sini bersama Kitara, Marcell. Jangan bilang kalau kau berpaling dari kami!" "Tolong jaga etikamu saat berbicara dengan seseorang, Niko. Dengan caramu seperti itu, membuat siapa pun enggan untuk berkomunikasi denganmu." "Aku tidak peduli itu! Sekarang, katakan padaku! Apa yang membuatmu bisa keluar dari penjara dan berduaan di taman bersama Kitara? Marcell sialan! Marcell menghela napas sabar. "Sudah kuduga, kau pasti beranggapan seperti itu padaku tanpa memastikan terlebih dahulu, dasar bodoh," Marcell langsung melepas kaca matanya dan menatap tajam wajahku dengan aura kekesalan. "Aku telah melakukan kerja sama dengan Mama untuk mencarimu, bodoh. Dan aku diperintah oleh wanita itu bermaksud memberitahu Kitara untuk ikut berpartisipasi dalam pencarian ini, tapi rupanya Dewi Keberuntungan memihakku, tidak disangka-sangka kalau orang yang aku cari muncul dengan sendirinya di hadapanku. Padahal kami berdua belum melakukan pencarian, benar-benar beruntung sekali." Aku meneguk ludah mendengarnya. "Tapi, kenapa kau malah bekerja sama dengan musuh! Apakah sekarang kau bodoh, Marcell?" "Marcell melakukannya karena dia pikir hanya itu satu-satunya peluang agar kau bisa dengan cepat ditemukan, Niko." Kini Kitara yang menimpali ucapanku membuatku kaget setengah mati. Ini aneh! Bukankah Kitara membenciku dan berpihak pada mama? Kenapa dia mau menimpali ucapanku? Aku yakin, kebencian Kitara padaku sangat besar, mendengar suaraku saja pasti sudah membuatnya marah. Tapi apa ini? Dia berubah? "Ki-Kitara?" Aku terkejut melihat ekspresi Kitara, dia seperti kembali pada pribadinya yang dulu. Menjadi Kitara yang kukenal di masa lalu. Kitara tersenyum lalu membungkukan badannya padaku dan berkata, "Selama ini aku bodoh karena telah membenci orang sepertimu, aku menyesal atas sikap cerobohku. Ini adalah permintaanku, maukah kau menjadi temanku lagi, Niko?" Aku kaget saat Kitara mengatakan hal itu dengan membungkukkan badan padaku, seperti seorang bawahan yang menghormati atasannya. "Ap-Apa yang membuatmu berubah, Kitara?" "Itu berkat diriku, seharusnya kau berterima kasih padaku, Niko." Marcell tersenyum padaku dan kembali memasangkan kaca matanya. "Sekarang, apa jawabanmu? Kau tidak akan membiarkan seorang gadis terus-menerus membungkuk padamu seperti itu, 'kan?" Aku memandang rambut cokelat Kitara yang berjuntai ke tanah karena posisi bungkuknya itu. Aku bingung harus menjawab apa, maksudku, kecanggunganku membuatku bingung. Soalnya, baru kali ini ada seorang gadis yang melakukan permintaan maaf seperti itu padaku. Tapi, itu membuatku tidak enak jika membiarkan Kitara membungkuk padaku. Karena itulah, aku menghampirinya dan mengangkat bahunya untuk kembali tegak. Aku tersenyum pada Kitara dan menjawab, "Kukira kau akan membunuhku seperti sebelumnya, kakiku sampai gemetaran, lho?" candaku dengan menggoda Kitara. Kemudian aku berbisik pada Kitara. "Aku senang kau kembali." Marcell terbatuk-batuk dengan sengaja, membuat Kitara dan aku langsung segera berjauhan. "Sepertinya tugasku di sini sudah selesai, bagaimana kalau kita kembali, di sini cukup dingin." ujar Marcell dengan tersenyum pada kami. Aku dan Kitara saling memandang dan mengangguk. "Ya! Ayo kita beritahu pada teman-teman bahwa Kitara sudah kembali!" seruku dengan gembira. Namun, baru saja aku dan Marcell akan pergi, Kitara menahan lengan kami "Tunggu sebentar!" ucap Kitara agak kencang dengan raut wajah memelas. "Aku tidak yakin ini membantu atau tidak, tapi kupikir tidak ada salahnya jika aku memberitahu kalian soal ini." Aku dan Marcell memberengut tidak mengerti. "Soal apa?" tanya Marcell, to the point. "Soal rencana dan rahasia Mama," jawab Kitara. "Karena aku pernah menjadi bawahannya, aku tahu tentang semua hal mengenai dirinya. Aku pikir dengan ini, aku bisa berguna untuk pihak kalian." Aku dan Marcell tersenyum mendengarnya. "Kau ini bicara apa?" sanggah Marcell. "Ini bukan lah pihak kami saja, tapi pihak kita. Kau juga termasuk ke dalam pihak ini, Kitara." Kitara memerah malu mendengar ungkapan yang dikatakan Marcell. "Jadi," ucapku. "Rencana dan rahasia apa yang selama ini Mama sembunyikan dari kami?" Kitara menarik napasnya dan mulai membongkar semua yang dia tahu tentang mama. "Sebenarnya, Mama itu ...." Nikmat sekali memandang pemandangan yang indah dari balkon yang kutempati ini. Musim salju memang mendinginkan suasana, tapi aku menyukainya. Butiran-butiran salju terombang-ambing di udara, mencari tempat untuk mendaratkan tubuh bulatnya yang mungil itu dan menyatu dengan timbunan salju yang lain di tanah, terus seperti itu hingga semuanya terselimuti oleh mereka, para salju. Bukan hanya itu yang menarik perhatianku, angin berdesir menggoyangkan pepohonan di sana-sini membuatku menyangka kalau suasana sepi seperti ini memang bagus untuk kesehatan mentalku. Tapi tetap saja, di mana pun kita merasa damai, pasti selalu muncul yang namanya 'pengganggu'. "Untuk apa kau datang ke sini," ucapku pada seseorang yang sedang berdiri di belakangku. "Heyna?" Rupanya Heyna, seorang gadis yang tinggal di panti asuhan Gantaroz, aku ingat dia karena dulu Kitara pernah mengalahkannya di turnamen antar panti, tentu saja, aku menontonnya dengan jelas bagaimana anak-anak Gantaroz dikalahkan oleh anakku. Atmosfir di tempat ini jadi semakin dingin, lebih baik aku berbicara sopan saja pada tamuku itu, mungkin minum bersama akan mencairkan suasana diselingi dengan canda tawa, tapi sayangnya, SET! Gadis itu menodongkan sebuah pedang pada leherku saat aku baru saja akan menoleh, sungguh tidak sopan. "b******n sepertimu tidak pantas untuk menjadi seorang pengasuh di tempat ini!" Bahkan, suaranya saja masih terdengar kekanak-kanakan, apa dia itu benar-benar musuhku? "Jahat sekali," Aku terkekeh-kekeh sambil mengucapkan hal itu. "Biar kutebak, kau muncul di sini atas perintah dari Papa kesayanganmu, 'kan?' "Jangan bawa-bawa Papa!" Gadis itu mulai kesal gara-gara mendengar tebakanku, imut sekali mendengar kekesalannya, kuharap aku bisa menjadikan bocah ini sebagai koleksiku, soalnya dia adalah barang yang langka. "Sekarang! Apa permintaan terakhirmu! Aku akan memenggal kepalamu! Jadi, jangan buang-buang waktumu, b******n!" "Oh? Begitu rupanya, permintaan terakhir, ya?" Aku tersenyum kecil lalu menolehkan kepalaku padanya dengan memasang wajah menyeramkan. "Mungkin aku ingin matamu." CRAT! Niko P.O.V "Sebenarnya, Mama itu adalah seorang psikopat, dia terobsesi untuk mengoleksi berbagai organ tubuh dari anak-anak yang dia favoritkan, mengapa banyak sekali anak yang dia jual? Itu karena dia tidak suka terhadap anak-anak tersebut sehingga dia pikir dengan menjualnya adalah tindakan yang bagus," ungkap Kitara dengan napas tersengal-sengal. "Di luar gerbang Antaroza, terdapat gumpalan mayat yang tertumpuk-tumpuk menggunung, aku yakin, pasti di antara kalian ada yang pernah melihatnya, kan? Itu adalah ulahnya! Mama membunuh orang-orang dewasa yang berniat menyelamatkan kita dari sini." Ah, aku ingat. Dulu, sebelum aku percaya terhadap kejahatan mama, aku pernah mengintip di sela-sela gerbang saat malam hari ketika aku memakai pakaian serba hitam seperti ninja dan ternyata sesuatu yang mengejutkan kulihat dari sana, mayat-mayat tertumpuk-tumpuk di luar gerbang dengan menjijikan, aku pikir itu adalah salah satu alasan kenapa mama melarang siapa pun untuk pergi keluar gerbang bahwa di sana banyak binatang buas, tapi ternyata, itu adalah ulahnya sendiri. Mayat-mayat itu merupakan orang-orang dewasa yang akan menyelamatkan kami, tapi sayangnya, usaha mereka gagal karena diketahui oleh mama dan akhirnya, mereka terbunuh. Benar-benar menyedihkan. "Lalu," sanggah Marcell dengan dingin. "Dari mana wanita itu mendapatkan bayi-bayi yang nantinya dia urus di sini?" Kitara menundukkan kepalanya. "Dia mencurinya," Aku dan Marcell terkejut. "Mencuri dari setiap rumah yang dia lewati, bahkan, dia mendapatkan bayi-bayi itu dari berbagai negara." "Itu terlalu berlebihan." Marcell menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Maksudku, bagaimana caranya dia bisa mencuri setiap bayi dari berbagai negara, itu sangat tidak masuk akal." "Mama juga seorang Lullaby, dia bisa berteleportasi ke mana pun menggunakan darahnya. Banyak hal yang terdengar tak masuk akal, tapi memang begitu kenyataannya. Aku berkata begini pada kalian agar kalian sadar bahwa dunia ini masih banyak mengandung misteri, aku yakin, dia pasti ikut mendengar ucapanku, tapi aku tidak peduli. Pokoknya, berhati-hatilah dalam menghadapi wanita itu! Dia bisa muncul di mana saja, kapan saja, dan dapat mendengar, melihat, merasakan keberadaan kalian dengan mudah walaupun kalian sembunyi di perut bumi sekali pun! Dia seperti seekor ular!" Aku dan Marcell terdiam dalam sesaat, kami masih belum bisa percaya kalau mama adalah seorang psikopat dan juga Lullaby--sebutan bagi seseorang yang menguasai segala jenis kekuatan, tingkatnya lebih tinggi dari para penyihir. "Terima kasih atas informasinya, Kitara." Aku tersenyum lebar pada Kitara agar rasa kagetku tidak terlihat olehnya, jujur saja, aku tidak mau orang lain mengetahui sisi lemahku hanya karena kaget mendengar informasi darinya. Kitara menganggukkan kepalanya. "Tidak masalah, anggap saja itu sebagai bayaran karena kalian mau menerimaku lagi sebagai teman. Aku senang." Marcell berdehem seketika. "Kalau begitu, lupakan saja soal informasi yang tadi Kitara katakan, lebih baik, kita kembali ke penjara bawah tanah untuk memberikan kabar gembira pada teman-teman bahwa dua tikus yang hilang telah kembali ke kandangnya." Aku dan Kitara tertawa kecil mendengar sindiran Marcell pada kami berdua. ☆☆☆ Aku telah sampai di penjara bawah tanah, rupanya mereka, para tahanan, sedang tidur semua. Langkah kakiku membangunkan Liona, membuat mata gadis itu melotot tidak percaya melihat ke arahku dan Kitara, seperti seseorang yang kaget karena ada hantu. "Ni-Ni-Ni-Ni-NIKO!" Liona langsung menjerit histeris dan membuka selnya kemudian melompat, memeluk tubuhku dengan erat dengan menangis tersedu-sedu di bahuku. Kemudian mata Liona melirik pada Kitara yang ada di sampingku. "Ada urusan apa kau kemari, pengkhianat?" Liona melepas pelukannya di tubuhku dan berdiri di depan Kitara dengan ekspresi galak, seperti seorang preman yang menghadang mangsanya. Kitara tersenyum tipis. "Apa kabar, Liona?" Mendengar Kitara menyapanya membuat Liona langsung berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. "Aku baik-baik saja, kok! Walaupun kemarin aku dan yang lainnya-bla-bla-bla." Liona terus mengoceh bersama Kitara membuatku malas untuk mendengarnya. Perhatianku dialihkan pada Marcell yang tengah membangunkan Merki, saat lelaki itu terbangun, dia terkejut memandangku sampai tubuhnya kaku. "Kau ... Niko, 'kan?" Aku mengangguk dengan tersenyum. "Kau benar, Merki. Aku kembali, bersama Kitara." Saat nama Kitara terdengar, muka Merki langsung memberengut kesal. "Kenapa kau membawanya?" Aku menghampiri Merki yang ada di dalam sel, lalu berbisik, "Kitara ingin menjadi teman kita, maukah kau menerimanya?" Merki merenung, sepertinya dia sedang menimbang-nimbang dulu apakah orang seperti Kitara pantas untuk dimaafkan atau tidak, dia juga pasti mengingat-ingat kejadian-kejadian yang lalu agar dia tidak menyesal untuk memaafkan Kitara. "Kau ingat? Dia pernah hampir membunuh kita, Niko." ungkap Merki dengan santai. "Apa kau rela gadis buas semacam itu masuk ke dalam pihak kita? Lengah sedikit, dia akan mencelakai kita." Aku menggeleng tidak setuju. "Aku yakin, Kitara tidak seperti itu, dia gadis baik, sama seperti Liona dan Susy, hanya saja, terkadang emosinya tidak bisa dikendalikan. Jadi, apa jawabanmu, Merki?" Merki menghembuskan napas. "Kalau kau yakin, maka aku juga percaya." Saat kami semua tertawa bersama, tiba-tiba sebuah tiang melesat dengan cepat ke arah Kitara, membuat gadis itu terjatuh ke pelukan Liona sampai kepalanya berdarah. Saat kami mencoba menyelidiki siapa pelakunya, ternyata itu adalah ulah seorang gadis berambut putih yang berjalannya sempoyongan seperti zombie dan wajahnya mirip orang yang kerasukan. "Su-Susy!" Aku berteriak memanggil nama gadis yang telah melukai Kitara. "Apa yang kau lakukan!?" Susy melirik ke arahku dengan cepat lalu berteriak, "DIAMLAH!!" Membuat semua tahanan terbangun dan menonton apa yang sedang terjadi pada kami, semua orang terkejut melihat Susy tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang berbeda dari biasanya. "GADIS ITU! KITARA! BENAR, 'KAN? AKU TIDAK SUDI DIA MENGINJAKKAN KAKINYA DI TEMPAT INI! DIA PERNAH MELUKAI TEMAN-TEMANKU! LEBIH BAIK DIA KUBUNUH!" Secara cepat, seluruh besi yang mengurung para tahanan copot dan melayang-layang ke sekitar tubuh Susy, kemudian, dengan gerakkan jari telunjuk, besi-besi itu meluncur ke arah Kitara yang masih tidak sadarkan diri di pelukan Liona. Seketika kami semua berteriak bersamaan. "HENTIKAN! SUSY!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN