BAB 5

4332 Kata
Ternyata memang sulit untuk bisa kabur dari sel bawah tanah, bayangkan saja, walau kurungan besi yang mengurungmu hancur, itu masih belum cukup untuk keluar dari tempat suram tersebut. Itu dikarenakan banyak kamera pengawas yang memantau pergerakkan para tahanan dan juga ada seekor robot kucing yang sangat galak, jika kau ketahuan kabur, robot itu pasti akan mengejarmu dengan kecepatan cahaya, lalu menembak pantatmu hingga terbakar. Mengerikan sekali bukan? Sebenarnya, itu berdasarkan pendapatnya Marcell, dia mengetahui hal itu karena diberitahu oleh Robin, tetangga sel sebelah yang berambut gimbal dan bertato. Robin sendiri mengetahuinya karena pernah melihat sebuah kamera yang terpasang di sisi selnya, dan akhirnya dia paham kalau penjara ini sangat ketat, begitulah ceritanya. "Haah~ ngomong-ngomong, apakah tidak apa-apa jika lelaki satu sel dengan perempuan?" Aku bertanya sambil menguap pada mereka bertiga, Merki, Susy, dan Liona yang ada di sel sebelah kiriku. Mereka bertiga langsung tersadar akan hal itu, lalu Liona mulai menjawab dengan muka memerah malu. "Me-memangnya kenapa!? Lagi pula Merki bukan lelaki m***m sepertimu, Niko! Jadi, kami sebagai perempuan tidak perlu mengkhawatirkan apa pun!" Marcell pun menimpalinya dengan aura yang begitu dingin. "Kalau ada salah satu dari kalian yang hamil, kami tidak akan bertanggung jawab, ayo, Niko, lebih baik kita lupakan mereka." Mendengarnya, wajah Liona semakin memerah seperti gunung yang akan meletus. "A-APA KAU BILANG! ITU TIDAK MUNGKIN!" Merki hanya bisa terkekeh-kekeh melihat Liona teriak-teriak tidak jelas pada Niko dan Marcell. Aku sih sebenarnya kurang nyaman melihat Merki satu sel dengan dua gadis, walau dia memang tidak m***m sepertiku, tapi tetap saja, pencegahan harus ditegakkan, maksudku, seperti istilah 'sedia payung sebelum hujan'. "Yah, lebih baik aku bergabung bersama mereka saja, aku tidak mau semua orang berpikiran yang tidak-tidak tentang kita, Liona." Aku mendengarnya samar-samar, walau aku sendiri sedang tidur-tiduran santai di lantai. Merki kelihatannya akan tinggal di sel ini bersamaku, itu bagus. "Terserah, aku tidak keberatan, kok. Iya 'kan, Susy?" Liona menoleh dan tersenyum pada Susy, sejauh yang kulihat, hubungan antara mereka bertiga cukup baik. "Umm ... Iya, aku juga berpikir begitu." Bahkan, suara Susy mengingatkanku pada majalah dewasa yang sering kusembunyikan di kamar, entahlah, aku tahu ini aneh, tapi gadis pendiam seperti Susy memang yang terbaik. Kemudian, Merki yang kelihatan sangat tenang pun melangkahkan kakinya menuju sel yang kuhuni bersama Marcell melalui besi yang telah dihancurkan oleh Liona. Aku pun duduk tegak, menyambut kedatangan Merki dengan senyuman lebar. "Wah, sepertinya kau sudah memutuskannya, Merki! Haha, bagus! Bagus! Tapi sayang sekali, ya, padahal di sisi lain, aku masih ingin mengejekmu berdekatan dengan Liona, haha!" Merki hanya tersenyum pasrah mendengarnya, dari dulu, dia memang tidak terlalu peduli dengan setiap ejekan yang kulontarkan padanya. Dia itu tipe lelaki yang sangat damai, tenang dan santai, tapi ada kalanya dia juga serius. "Karena kau anak baru di sini, kau harus memanggil kami senior." Robin, tiba-tiba menempelkan mukanya pada besi-besi yang mengurungnya, kurasa dia juga ingin menyambut Merki. Merki mengerutkan alis melihat tingkah Robin yang agak aneh. "Tentu, aku akan memanggil kalian senior, tenang saja." Merki mengangguk-angguk setuju kemudian dia mendaratkan pantatnya ke lantai. Marcell melirik tajam ke arah Merki, entah aku tidak tahu mengapa dia setajam itu memandangnya. "Tunggu dulu," Tiba-tiba Marcell menutup buku yang dia baca dan menaikkan kaca matanya yang agak turun ke hidung. Pandangannya tertuju padaku. "Sejak kapan aku menyetujui perpindahan Merki ke sel kita, Niko?" Gawat, dari nada bicaranya, Marcell sepertinya keberatan pada pendapatku untuk menerima Merki di sel yang kutempati dengannya. Sial, dia itu benar-benar menyebalkan. Lantas, aku mengemeletukkan gigi jengkel. "Apa maksudmu berkata begitu, Marcell?" Marcell tersenyum dingin, seperti seseorang yang mendapatkan ide cemerlang mendadak. "Bukankah seminggu yang lalu aku telah membuat keputusan bersamamu bahwa tempat ini hanya boleh ditempati oleh dua orang, jika lebih, maka salah satunya harus dikeluarkan. Kalau kau ingin Merki tetap di sini, maka dengan terpaksa, aku mengusirmu, Niko." "E-EEEEH!? ME-MENGUSIRKU? KAU KEJAM SEKALI, MARCELL!" Aku memekik tidak setuju atas keputusannya, dia sadis sekali mengatakan sesuatu yang kejam dengan senyum dinginnya itu. Sebenarnya, aku heran, mengapa tingkahnya itu begitu kasar pada temannya sendiri. Bahkan aku belum pernah melihatnya tertawa terbahak-bahak atau membuat lelucon konyol, dasar lelaki jenius sialan! "Bukankah kau tidak mau Merki tidur di luar sel? Jika memang begitu, kau harus mengorbankan posisimu untuk Merki, bukan?" Lagi-lagi Marcell memancingku untuk menyetujui pendapatnya, menjengkelkan sekali. Kalau sudah begini, mau gimana lagi? "Baiklah, aku akan tidur di lu--" "Hey? Hey? Hey? Kau terlalu berlebihan, Marcell," Secara mengejutkan, Robin memotong ucapanku dengan mata yang mendelik pada Marcell. "Tidak baik kalau kau membuatnya tidur di luar, dia itu temanmu, kau harus mengedepankan perasaan dari pada akal, Marcell." Marcell menengok ke Robin dengan wajah kaget, baru kali ini ada seseorang yang berani menentang keputusan lelaki jenius itu. Biasanya sih semua orang tunduk pada apa yang dikatakan Marcell, tapi syukurlah, semoga saja dengan ucapan Robin bisa membuat lelaki berkaca mata itu mengurungkan niatnya untuk mengusirku. "Maaf, tapi aku tidak pernah menganggapnya sebagai temanku, sekali pun tidak pernah." Merki langsung menimpali perkataan Marcell dengan tersenyum tipis. "Aku tidak mengerti mengapa kau begitu tidak pedulinya pada Niko, tapi aku tidak ingin kalian bertengkar hanya karenaku, jadi, lebih baik aku tinggal bersama Liona dan Susy saja." Saat kaki kanan Merki akan melangkah keluar dari selku, aku langsung menarik punggung bajunya untuk menghentikan langkahnya. "Tidak boleh, kau harus tetap di sini, Merki." Aku mengucapkannya dengan eskpresi yang serius, seperti seorang komandan yang memerintahkan bawahannya dengan tegas. "Tentu saja, aku tidak dapat menolaknya, tapi seperti yang kau tahu, Marcell akan mengusirmu jika kau membiarkanku tinggal di selmu, Niko. Karena itulah, aku tidak mau itu terjadi." "Tidak apa-apa! Aku tidak marah tidur luar! Yang penting, kau harus tetap di sini, Merki!" Setelah itu, tidak ada siapa pun di antara kami yang bersuara, mataku menatap mata Merki, Liona dan Susy hanya bisa memandang pertikaian itu dari dalam selnya, sepertinya mereka juga tegang melihat hal ini. Namun, Robin langsung berbicara dengan suara yang lantang dari sel sebelah kananku sambil wajahnya yang menempel di jeruji besi miliknya. "Hey? Marcell, sejujurnya aku tidak mengerti mengapa kau bersikap dingin begitu pada temanmu sendiri, tapi menurutku, karena sikapmu itu, kau malah terlihat seperti bocah ingusan yang sangat bodoh." Marcell terdiam seketika mendengarnya. "Baiklah, aku juga tidak tahu mengapa kau bisa berkata bijak begitu, Gimbal, tapi terima kasih, kau telah menyadarkanku," Marcell tersenyum tulus kali ini, dengan mata yang menatapku dan Merki. "Sudahlah, aku tidak peduli lagi dengan sel ini, terserah apa keputusanmu, Niko." Dengan santainya, Marcell kembali membuka bukunya dan mulai membaca dengan serius, tidak peduli pada teman-temannya yang masih tidak mengerti dengan perkataannya yang ambigu itu. "Yah, aku tidak paham pada perkataannya," Aku memeletkan lidah pada Marcell. "Tapi, jika kau memang ingin mendengar keputusanku, aku ingin Merki tinggal bersama kita di sel ini!" Liona dan Susy tersenyum senang mendengar hal itu. "Terima kasih, Niko, Marcell." ☆☆☆ Malam ini, di saat semua tahanan tertidur, aku, Merki, dan Marcell sedang merencanakan sesuatu untuk melancarkan serangan balasan pada mama. Kami berdiskusi ria di dalam sel. "Tidak-tidak, kau tidak boleh ceroboh menyerang robot kucing itu, Niko. Sebaiknya kau mencari cara agar energi listrik yang mengalir dari tubuh robot tersebut mati." Aku menganggukkan kepala mendengar pendapat Marcell. "Hm, yah, kau benar, aku setuju pada pendapatmu, jadi bagaimana caranya agar kita bisa mematikan energi yang ada pada robot kucing itu?" Merki langsung menjawab pertanyaanku dengan nada yang begitu halus dan santai. "Menurutku, itu mudah," Merki tersenyum dengan memperlihatkan pancaran wajahnya yang damai. "Kita hanya perlu menekan tombol 'matikan' yang ada di punggung robot kucing itu, tombolnya berwarna merah dan ukurannya sangat kecil, kalau urusan itu, biar aku saja yang mengurusnya." Aku dan Marcell menganggukkan kepala. "Lalu, bagaimana dengan kamera pengawas?" "Berdasarkan pengamatanku, kamera itu terhubung dengan kedua mata mama melalui udara yang berembus di sekitar kita, bisa dibilang, mama dapat melihat pergerakkan kita tanpa harus menatap layar monitor setiap detik, jadi, jalan yang harus kita ambil adalah, mengacaukan udara yang menghubungkan kamera dan indera penglihatan mama, karena Niko bodoh dalam hal itu, aku yang akan mengatasinya." Aku tersinggung dengan ucapannya, tapi aku setuju. "Baik, baik, aku mengerti, tapi, yang jadi masalah adalah, mengapa aku yang tidak mendapatkan pekerjaan? Aku juga ingin terlihat keren seperti kalian!" Mendengar keluhanku membuat Marcell menepuk jidatnya dan Merki menggeleng-gelengkan kepala. Aku iri mendengar mereka mendapat bagian untuk melakukan rencana hebat ini, sementara aku hanya bisa menjadi pendengar saja. "Kurasa kau tidak perlu melakukan apa pun, Niko." Ucapan Marcell langsung menghujam jantungku, sialan, lagi-lagi perkataannya sangat sadis seperti biasanya. "Tapi, aku tidak mau berdiam diri saja di saat kalian sedang berjuang!" Merki langsung membisikkan sesuatu pada telingaku. "Tugasmu lebih keren dari kami, Niko, yaitu menjaga dua gadis kita yang sedang terlelap, jika kita bertiga pergi, pasti ada kemungkinan kalau mereka dalam bahaya, lihat saja, sel mereka berlubang karena ulah Liona. Kau harus mengawasi setiap tahanan yang terlihat mencurigakkan, bisa saja mereka akan membahayakan nyawa Susy dan Liona. Kau mengerti, Niko?" Bisikkan itu membuatku menjadi bahagia, akhirnya aku juga mendapatkan bagian dalam misi hebat ini. Walaupun tugasku hanyalah menjaga Liona dan Susy, tapi itu cukup bagiku untuk terlihat keren dari Marcell dan Merki. "Aku akan melaksanakan tugasku dengan baik!" Aku mengangguk cepat, kemudian Merki menepuk punggungku. "Jangan sampai mereka terluka ya, Niko." "Aku janji, mereka akan baik-baik saja!" Marcell tersenyum dingin padaku. "Ayo Merki, kita tinggalkan lelaki bodoh ini sekarang." Kemudian, Merki dan Marcell pun keluar dari sel, meninggalkanku di sini sendirian. Aku mengamati Robin yang sedang tertidur di sebelah, yah, aku baru tahu kalau lelaki gimbal itu memiliki keberanian untuk melawan kecerdasan Marcell, padahal yang dia gunakan tadi siang hanyalah kata-kata simpel. Namun, dengan kata-katanya, Marcell bisa berubah walau sedikit Lalu, pandanganku dialihkan ke sel yang dihuni oleh dua gadis, mereka terlihat nyenyak sekali tidurnya. Liona dan Susy memang kurang akrab, tapi melihat mereka tidur sambil memeluk satu sama lain membuatku beranggapan kalau mereka akan menjadi teman yang akrab. "Niko, kenapa kau tidak tidur?" Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara yang sangat mirip seperti gadis itu dari sel yang selangkah di depanku. Dari sini, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, karena selnya sangat gelap, aku hanya mendapatkan bayangan samar-samar dari bentuk seorang gadis yang tengah berdiri menatapku dari dalam selnya. Dia juga mengetahui namaku, padahal aku baru berkenalan dengan Robin saja di ruang bawah tanah ini. Tidak mungkin Robin memberitahu gadis misterius itu di saat dia terkurung di dalam selnya. "Siapa kau?" "Jadi selama ini kau telah melupakanku, Niko?" Suaranya mirip sekali. Aku tidak bohong, dia tidak ada beda-bedanya dengan gadis yang dulu mengajariku membuat komik. "Apa mungkin kau itu--" "Kau benar, Niko!" Cahaya dari kunang-kunang yang lewat mulai menyinari wajahnya, dan ternyata dugaanku memang benar. "Aku Kitara, Kitara Ezenwords, gadis yang selalu mengajarimu membuat komik." "HAH!?" Aku terkejut setengah mati, ini benar-benar gila. "Bu-bukankah kau telah di-dijual oleh Mama waktu itu? Ke-kenapa kau ada di sini, Kitara!? Kitara tersenyum miris. Setelah Merki dan Marcell pergi keluar sel untuk menjalankan rencana yang mereka buat, aku di tugaskan untuk menjaga dua gadis yang tertidur di sel sebelah kiriku, Liona dan Susy. Namun, saat pikiranku sedang melayang-layang entah kemana, sebuah suara mengagetkanku seketika. Suara seorang wanita yang sangat mirip dengan Kitara, temanku yang telah terjual oleh mama. Suara itu berasal dari sel seberang, lima langkah di depan selku. Ketika aku bertanya mengapa dia tahu namaku, dia malah menjawab bahwa aku telah melupakannya. "Kau benar, Niko!" Saat aku menduga kalau dia itu Kitara, dia langsung mengangguk. "Aku Kitara, Kitara Ezenwords, gadis yang selalu mengajarimu menggambar komik!" Dan sekarang, aku benar-benar terkejut sekaligus tidak percaya kalau dia masih hidup, ketika aku bertanya mengapa dia ada di sini, Kitara menjawabnya dengan tersenyum miris. "Sebenarnya, waktu itu, aku memang telah dijual," Napasnya naik turun, suaranya mulai bergetar seperti seseorang yang akan menangis. "Tapi, monster itu, pria berkepala buaya yang telah membeliku berubah pikiran, setelah dua hari berada di kediamannya, dia memulangkanku ke Antaroza." "Ke-kenapa dia memulangkanmu ke Antaroza, Kitara?" Aku pun bangkit, berhadapan dengan Kitara yang sama-sama berdiri di sel miliknya. "Alasannya karena aku mengidap suatu penyakit," Air matanya mulai berjatuhan, bagaikan hujan yang menghiasi kelamnya malam. "Aku tidak tahu apakah aku senang karena dikembalikan ke sini atau sedih karena mempunyai penyakit, tapi yang jelas, aku sangat bersyukur karena bisa melihat wajahmu lagi, Niko." Aku mengepalkan tangan dengan keras. "Kitara, jika kau berada di penjara ini sebelum aku, mengapa baru kali ini kau menyapaku?" Kitara menundukkan kepalanya, air matanya terus mengalir, membasahi pipi lembutnya. "Walaupun aku tahu kau berada di sini bersama Marcell, Merki, Liona dan Susy, aku tidak bisa menyapamu begitu saja." "Kenapa?" Aku kembali bertanya dengan suara yang sedikit kencang, jujur saja, aku marah sekali. "Penyakit ini yang membuatku tidak bisa menyapamu." Alisku mengkerut seketika, aku bingung dengan jawabannya. "Karena penyakitmu? Memangnya kau terkena penyakit apa, Kitara?" Mataku membulat, rasa penasaran mulai memuncak ke ujung sanubariku. "Aku tidak bisa mengatakannya, Niko," Kitara mengerang, mencoba menolak untuk menyebutkan nama dari penyakit yang menyelimuti tubuhnya. "Tapi yang jelas, penyakit ini membuatku depresi, aku tidak bisa berbicara atau pun bergerak saat siang hari, tubuhku seperti menjadi sebuah patung ketika matahari muncul. Sebaliknya, jika malam hari, tepatnya pukul sebelas malam, tubuhku akan normal kembali." Jadi begitu, alasan mengapa Kitara tidak pernah menyapaku pada siang hari, karena semua bagian tubuhnya sulit digerakkan, dia bisa normal kembali ketika waktunya semua orang tertidur. Apakah setiap malam, dia selalu memandang mukaku yang tertidur bersama Marcell dari dalam sel miliknya dengan tersenyum? "Ja-jadi begitu ya?" Aku menyesal karena telah marah padanya, padahal seharusnya, aku memaklumi penyakit yang dideritanya. "Kitara, karena malam ini aku begadang sendirian, bagaimana kalau kau menemaniku?" "Menemanimu? Maksudnya?" Kitara menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Dia kembali tersenyum. "Lu-lupakan! Aku salah menggunakan kata, mungkin seharusnya aku memakai kata 'begadang bersamaku' dari pada 'menemaniku', hmm, aku jadi bingung." Tiba-tiba, Kitara tertawa mendengar ucapanku. "Ya ampun, Niko, ternyata kau tidak pernah berubah, ya?" Kitara menahan tawanya yang kedua kali agar tidak mengganggu tahanan lain yang tertidur. "Niko, apa kau menyadari kalau Mama itu seperti wanita berhati iblis, dia bahkan lebih menyeramkan dari monster berkepala buaya itu." Aku mengangguk setuju mendengar pendapatnya mengenai mama. "Ya, kau benar, Kitara. Aku sangat membenci Mama, dia tidak memiliki hati sama sekali, tapi aku masih heran, mengapa dia bisa mendapatkan banyak sekali bayi untuk ditampung di peternakan ini? Kira-kira kita, sebagai mantan bayi, berasal dari mana saja ya?" Sebelumnya, Kitara mendengar ucapanku dengan wajah serius, tapi setelah mendengar suatu kata, dia kembali tertawa. "Mantan bayi? Astaga, Niko, lagi-lagi pemilihan katamu sangat konyol," Muka Kitara penuh dengan kebahagiaan, mungkin karena akhirnya dia bisa bercakap-cakap lagi denganku. "Tapi memang benar, aku juga selalu memikirkannya, sebenarnya Mama mendapatkan bayi dari mana saja ya? Aku juga penasaran berasal dari mana aku ini, mungkin saja aku berasal dari tempat yang sangat jauh dari peternakan ini." "Aku pun berharap kalau orangtua yang telah melahirkan kita tidak bersedih karena anaknya menghilang, soalnya, kita masih hidup di sini." Kitara tersenyum manis. "Hey, Niko, apakah kita juga harus berterima kasih pada Mama?" Aku tercekat mendengarnya. "Berterima kasih pada Mama? Untuk apa?" Kitara menatap mataku dengan intens. "Untuk semua kasih sayangnya, sejak kecil dia selalu merawat kita, menemani kita, mengajari kita, menasehati kita, alasan mengapa kita masih bisa melihat, berdiri, tersenyum, berbicara, menghitung, membaca, itu karena Mama. Jika kita diurus dengan semena-mena, mungkin saja kita semua akan menjadi anak-anak yang bodoh dan aneh, benar 'kan?" Terpaksa, aku mengangguk setuju terhadap perkataan Kitara. Ya, kalau menyangkut hal itu, memang benar, mama membesarkanku dengan kasih sayang seorang ibu yang luar biasa. Aku masih ingat, dulu, saat kakiku lecet karena terjatuh dari sepeda, mama mengobati lukaku, kemudian memeluk tubuhku dengan hangat. Aku sangat senang bisa hidup bersamanya, itu sebelum aku mengetahui kebenarannya. Bukan hanya padaku, mama selalu memperhatikan semua anak-anaknya dengan setara, tidak ada pilih kasih antara aku dan teman-temanku. Mama benar-benar sosok ibu yang luar biasa. Tapi, mengapa semua itu memiliki tujuan busuk, yaitu menjual kami pada para monster untuk dijadikan sebagai makanan? Dan juga, dia menutupi nama 'penjualan' menjadi 'pengadopsian'. "Walau begitu, aku tetap membencinya!" Kitara terkejut mendengar pekikanku, tentu saja, aku juga tidak terima atas perlakuannya, karena teman-temanku yang telah terjual sebelum Kitara sudah menjadi makanan untuk para monster b******n itu! "Aku mengerti perasaanmu, Niko." Kitara tersenyum hangat padaku. Entah kenapa, walau aku dengan Kitara berada di dalam sel yang berbeda, setelah mengobrol banyak, rasanya seperti kami sedang ada di ruangan yang sama. "Kitara, karena kau pernah pergi ke dunia luar, aku ingin bertanya, bagaimana pemandangan dari dunia luar itu? Apakah indah? Ataukah menyeramkan?" Kitara menggelengkan kepala mendengar pertanyaanku. "Ya, aku pernah melihatnya, Niko. Saat itu, ketika aku dibawa oleh monster itu ke dalam mobil, aku sempat melihat dunia luar dari kaca mobil, tapi kau tahu, aku ternyata salah, dunia luar itu memang indah, banyak sekali orang yang berlalu lalang di sisi-sisi jalan, mereka memiliki penampilan seperti kita, tapi ada yang aneh, mereka semua memakai baju berwarna putih polos, tidak seperti kita yang warna-warni." "Hah?" Aku tidak mengerti mengapa semua orang di dunia luar mengenakan pakaian putih polos, apakah mereka itu sedang merayakan hari spesial tertentu atau mungkin saja, itu memang kebudayaan mereka. "Tapi, walaupun begitu, banyak gunung yang sangat indah dikejauhan, langit yang membentang luas membuat mataku dimanjakan, bahkan aku sempat melihat berbagai hewan lucu di dunia luar." Kedua tangan Kitara bergerak-gerak ketika menjelaskan semua itu, sepertinya dia mengagumi dunia luar. "Waaah, aku jadi iri padamu, andai saja kita semua bisa ke dunia luar dan menikmati keindahan itu bersama-sama!" Kitara mengangguk setuju. "Aku juga ingin melihatnya lagi bersama anak-anak Antaroza!" Tiba-tiba, ketika mulutku akan menimpali ucapan Kitara, suara langkah kaki dari siluet seorang wanita membuatku terdiam kaget. Langkahnya terdengar menegangkan, dan ketika dia telah ada di depan selku dan Kitara, wanita itu tersenyum hangat. "Dilarang mengobrol pada malam hari, anak-anak." Dan ternyata itu mama. Aku dan Kitara terkejut, tubuh kami benar-benar kaku, seolah-olah, hawa keberadaan mama sangat mematikan. "Ma-mama, kenapa kau--" Seketika, dia memotong ucapanku dan wajahnya langsung didekatkan pada besi-besi yang mengurungku, kemudian menjilat jeruji itu dengan lidahnya yang merah. "Jangan membantah, sayang, dan aku juga ingin bertanya, mengapa selmu dan sel sebelah bisa hancur, hm? Dan juga, kemana perginya Marcell dan Merki? Apakah mereka berusaha untuk kabur dari sini?" Keringatku bercucuran. Keringat membanjiri seluruh tubuhku ketika mama menjilati jeruji besi yang mengurungku, dia melakukan itu untuk mengintimidasiku. Sementara Kitara hanya bisa memundurkan langkahnya, menyenderkan punggungnya ke besi bagian belakang selnya. Sepertinya dia tidak mau mama melakukan hal sama pada selnya "Ayo, jawab pertanyaanku, sayang." Mama menatap mataku dengan tersenyum tipis. Bibirku sama sekali tidak bergerak, aku tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Jika dia tahu kalau selku dan sel sebelah hancur karena pukulan Liona, bisa saja mama memindahkanku ke sel yang jauh dari Kitara, karena itulah aku tidak mau menjawab jujur. Dan juga, kalau mama mengetahui bahwa Merki dan Marcell sedang pergi menjalankan rencana untuk menghancurkan kamera pemantau dan robot kucing, mama pasti akan marah besar pada mereka berdua, dan tentu saja aku tidak menginginkan hal itu terjadi. Jadi, aku harus membuat kebohongan yang masuk akal agar mama tidak tahu apa-apa soal pukulan Liona atau pun keberadaan Marcell dan Merki. "Selku dan sel sebelah hancur karena tadi siang, robot kucing pembawa makanan tidak sengaja menembakan lasernya ke arah sini, dia tersinggung karena mendengar ejekanku dan Liona, kami mengejeknya dengan sebutan 'kucing peliharaan', robot itu menolak untuk disebut peliharaan." Akhirnya, aku mengatakan sesuatu yang masuk akal walaupun aku tidak menjamin kalau kebohonganku ini bisa menutupi kebenarannya, soalnya, mama adalah orang yang sangat mengetahui kepribadian dari robot kucing tersebut, bisa saja ternyata robot itu sangat suka disebut sebagai peliharaan, aku harap dia tidak mengetahuinya. "Kau mengejek seekor robot kucing?" Mama mengkerutkan alisnya, memasang wajah tidak percaya atas jawabanku, apakah dia sedang mengingat-ingat soal kepribadian dari robot itu. Ah, semoga saja itu tidak benar, ayolah, jangan sampai aku terkena hukuman karena telah berbohong pada mama. "Lalu, kemana perginya, Marcell dan Merki?" Wow, sepertinya aku berhasil, lihat saja, mama langsung menanyakan pertanyaan selanjutnya tanpa diteliti dahulu jawaban dari pertanyaan pertama, beruntung sekali. Yah, setidaknya aku sudah melewati rintangan pertama, sekarang, aku akan menuju rintangan selanjutnya. Sebelum menjawabnya, aku tersenyum bodoh dengan menggaruk-garuk rambut belakang. "Sepertinya Marcell sedang pergi ke toilet bersama Merki." Hanya itu saja yang terlintas di otakku, aku harap alasan itu mampu membuat mama percaya pada ucapanku, walau aku tidak yakin seratus persen. Mama melipatkan tangannya, dia membusungkan dadanya dengan mata yang melirik-lirik pada kurunganku dan kurungan Liona. "Kurasa aku tidak pernah memberitahu kalian, anak-anak baru, mengenai di mana lokasi toilet berada, apakah kau membohongi mama?" Mataku terbelalak, sial, mama benar-benar menyebalkan. "Ka-kami mengetahuinya dari Kitara!" Mama langsung menolehkan pandangannya ke sel yang dihuni Kitara, tatapan tajamnya dialihkan ke wajah gadis yang dulu telah dijualnya. "Apa itu benar, Kitara?" Mendengar hal itu, Kitara menampakan wajah super kaku pada mama, sepertinya dia sangat trauma jika melihat wajah wanita yang telah menjualnya. Aku harap Kitara dapat menjawabnya dengan benar, agar dia bisa mendukung kebohongan yang telah kubuat. Kitara mengangguk cepat. "Iya, aku yang telah memberitahu mereka," Kitara memaksakan diri untuk tersenyum hangat, walau aku tahu dia melakukannya agar mama bisa mempercayai ucapannya. "Lagi pula, mereka tidak mungkin kabur, penjara ini sangat ketat, bukan?" "Kalian pikir, dengan kebohongan-kebohongan itu, mama akan percaya?" Tiba-tiba, terdengar ada suara orang-orang yang berlarian menuju selku, entah mengapa, perasaanku tidak enak. Saat mereka mulai mendekati selku, dua orang yang tengah berlarian itu menghentikan langkahnya. Sepertinya mereka terkejut karena ada seorang wanita yang tengah berdiri, dan itu adalah mama. "Wah, wah, wah, di tengah malam begini, kalian masih main kucing-kucingan ya?" Mama mulai mendekati dua orang itu. "Bolehkah mama ikut main bersama kalian?" Dugaanku benar, jika diteliti lebih dekat, mereka itu Marcell dan Merki, tapi kenapa mereka harus berlarian? Apakah mereka dikejar-kejar oleh robot kucing atau melihat sesuatu yang mengerikan? Sialan, karena ulah mereka, bisa saja mama memberikan hukuman berat padaku dan yang lain. Tapi aku masih penasaran, kenapa wajah mereka berdua sangat pucat? "Maaf, Mama," Merki, dengan napas terengah-engah, mencoba menimpali perkataan mama. "Tadi kami menemukan banyak ular di pintu masuk, jadi karena itulah, kami mulai berlarian agar kaki kami tidak tergigit." "Selain itu, dari mana saja kalian?" Kali ini, Marcell yang menjawab pertanyaan mama, kaca matanya pun terlihat berantakan. "Kami dari," Saat Marcell akan menjawab, aku membisikan kata 'toilet' padanya berkali-kali agar dia menggunakan alasan itu. Jika tidak, maka aku akan terlihat membohongi mama. "Toilet. Ya, kami baru saja dari toilet." "Jawab saja kalau kalian berlarian karena mendengar suaraku, dan kalian pergi karena akan menghancurkan sistem dari penjara ini, apakah tebakanku benar?" Kami semua yang mendengarnya terkejut, aku tidak percaya kalau mama benar-benar tahu apa yang telah kami lakukan. "Ti-tidak mungkin, kami hanya--" Mama langsung menyela ucapan Merki, dia bergerak mendekati lelaki itu dan mencekik lehernya. "Merki, jangan membohongi mamamu ini, karena semua itu percuma saja, sayang." Cekikannya pada Merki dilepas, membuat lelaki yang sering kuejek itu terbatuk-batuk, sementara Marcell hanya bisa membatu melihat temannya tercekik barusan. "Apa boleh buat," Mama langsung menampar pipi Marcell hingga lelaki jenius itu terjatuh menabrak pintu sel milik Robin. "Terpaksa aku harus melakukan kekerasan pada anak-anak bodoh seperti kalian." Merki terus terbatuk-batuk, tenggorokannya seperti dimasuki oleh ribuan kuman. Dan pipi kanan Marcell terluka, dia dari tadi diam dengan tubuh tergeletak di lantai karena tamparan dari mama. Kitara yang melihat kejadian itu hanya bisa menutupi mulutnya, dia terlihat ketakutan. Mama melangkahkan kakinya, pergi menjauh dari selku dengan mengucapkan, "Selamat malam, anak-anak." "Hey! Apa kalian baik-baik saja? Maaf, aku tahu kalian sedang tidak baik-baik saja!" Aku langsung keluar sel, menghampiri Merki dan Marcell dengan memasang wajah cemas pada mereka. Namun, tiba-tiba saja, "Kalian pikir, dengan rencana bodoh itu, kalian bisa menghancurkan sistem penjara dengan mudah, kalian pikir kalian siapa, anak-anak baru!" "Kalian sangat sombong! Melakukan hal itu tanpa memikirkan ke depannya! Pantas saja kalian diketahui oleh wanita sialan itu!" "Mereka menjijikan! Aku harap mereka dijual saja oleh Mama!" "Suara langkah kalian mengganggu tidurku! Sialan!" "Bisakah kalian tidak menimbulkan keributan di penjara ini, b******k!" "Padahal mereka baru tinggal di penjara selama dua minggu, tapi tingkahnya seperti orang-orang yang lebih pintar dari kita? Mereka pikir, kita itu hanyalah tahanan-tahanan tidak berguna!?" Semua tahanan bangun dan meneriaki, menghina, menggebrak, mengejek, mencaci, kami. Marcell, Merki, Kitara dan aku yang mendengarnya hanya bisa berdiam diri, tanpa menimpali setiap seruan dari mereka semua. Dan akhirnya, kami dibenci oleh semua tahanan di penjara ini. ☆☆☆ Esoknya, kami bertiga, aku, Marcell dan Merki tidak mendapatkan sarapan pagi. Robot kucing itu bilang kalau jatah kami telah diambil oleh tahanan yang lain. "Tidak apa-apa, kita bisa makan nanti siang, kok!" Aku tersenyum pada mereka berdua, agar Marcell dan Merki tetap bersemangat. "Iya, itu benar." Merki mengangguk. Marcell hanya bisa menundukan kepalanya, baru kali ini aku melihat lelaki itu termenung. Biasanya dia selalu berkata kasar, tapi sepertinya pagi ini dia tidak memiliki cukup tenaga untuk mengucapkan satu kata pun. Ketika aku akan menepuk pundak Marcell untuk mengajaknya mengobrol, mendadak saja, Liona dan Susy memberikan makanannya pada kami dari sel sebelah. "Ka-kalian boleh memakan sarapanku, kebetulan ... umm, aku sedang diet." Susy tersenyum kaku pada kami, sementara Liona langsung tertawa terbahak-bahak. "HAHAHA! Astaga, jadi begini ya, saat tiga ekor babi tidak mendapatkan jatahnya? Hanya bisa melamun seperti hewan yang tidak berguna, tapi kalian tidak perlu khawatir, aku akan membagikan makananku agar kalian bisa bertenaga kembali." Kami bertiga terkejut mendengar hal itu. "Be-benarkah!?" Jujur saja, aku sangat senang mereka mau berbagi dengan kami. Pada akhirnya aku dan teman-temanku bisa makan bersama berkat kebaikan hati dari dua gadis itu. ☆☆☆ Mama P.O.V Semalam aku sudah membuat mereka menderita, dan pagi ini, berdasarkan penglihatanku dari kamera pemantau di penjara, mereka juga sedang tertekan karena sarapan pagi mereka telah dimakan oleh tahanan lain. Sungguh ironis melihat anak-anak kesayanganku dijadikan bahan lelucon oleh tetangga-tetangganya. Aku sebagai wanita yang telah mengurus mereka hanya bisa tersenyum puas. Itulah akibatnya jika seorang anak berani membangkang pada orangtua, aku tidak akan segan-segan membuat mereka lebih menderita dari ini. Hari ini, aku telah memanggil lima orang dari dunia luar untuk mengawasi dan menjaga penjara bawah tanah agar tempat itu bisa aman dan tentram. Sebentar lagi mereka akan datang, aku penasaran, apakah mereka terkejut pada lima penjaga penjara yang akan membanting mental setiap tahanan di sana. Terutama, Marcell, Merki, Liona, Susy dan Niko. "Permisi," Dan akhirnya, terdengar suara ketukan dari pintu kamarku. "Kami adalah orang-orang terpilih yang Anda panggil, bolehkah kami berlima masuk ke dalam?" Aku tersenyum. "Silakan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN