"Berdasarkan pengamatanku, seharusnya seminggu yang lalu kau turun ke bumi bersama Melios, bukan? Lalu mengapa kau tak datang pada hari keberangkatanmu, Raiga?"
Saat ini, Raiga sedang diinterogasi di ruangan pribadi milik Pak Bravo, namun, bukan seorang guru yang menginterogasi Raiga, melainkan salah satu malaikat elit bernama Risa Minir. Alasan Raiga dibawa ke sana karena dugaan bahwa dia memiliki ciri-ciri yang sama dari malaikat pendendam yang sudah melegenda, semua orang di sekolahnya kini menganggap lelaki itu sebagai reinkarnasi malaikat pendendam, dan itu karena kesalahannya menunjukkan kilauan cahaya biru di dua bola matanya, itulah yang menyebabkan Melios memanggil Risa Minir, malaikat elit ke delapan, untuk mengurus masalah ini.
Tentu saja, seperti yang kita tahu, Raiga adalah sosok lelaki yang tidak suka berada dalam masalah karena dia sangat pemalas, bahkan, saat ini pun, ketika Risa Minir menginterogasinya, Raiga malah tertidur dengan posisi duduk di hadapan sang malaikat kedelapan, sungguh tidak sopan.
"Kau dengar aku, Raiga?" Beruntung, Risa Minir merupakan wanita yang penyabar, walaupun anak yang ditanyai tidak merespon, dia tetap menjaga suara lembutnya.
Raiga sedikit membuka matanya dan menguap selebar-lebarnya, lalu berkata, "Apa kau tidak lihat? Aku sedang tidur, setidaknya tunggulah sebentar lagi, lagi pula, untuk apa aku menjawab pertanyaan yang jelas tidak perlu kujawab? Itu hanya membuang-buang wak--"
SRET!
Risa, dengan menarik selebaran yang ada di payudaranya langsung ditunjukkan ke muka Raiga agar anak itu membaca sesuatu yang tertulis di sana. Baru saja mata Raiga melirik ke arah selebaran yang didekatkan ke mukanya membuat wajah anak itu terkejut setengah mati, melenyapkan muka lesu yang biasanya.
"Ap-Apa ini?" Raiga merebut kertas yang dipegang Risa dan membaca lebih detail sampai selesai, kemudian dia menatap wajah malaikat elit di hadapannya dengan kesal setelah membaca selebaran itu. "Kau akan melenyapkan orang-orang yang penting bagiku jika aku tidak mau menjawab pertanyaanmu? Bukankah itu sebuah ancaman? Kenapa kau melakukan hal yang mirip seperti Iblis, padahal kau seorang malaikat elit, Nona Risa?"
Risa Minir tersenyum ramah pada Raiga setelah anak itu membeberkan informasi yang ada di kertas miliknya. "Maaf, tapi tidak ada toleransi untuk seorang lelaki yang tertidur saat interogasi di mulai di hadapan malaikat elit sepertiku. Jadi, mari kita ulang kembali pertanyaan yang belum kau jawab, Raiga," ucap Risa dengan suara yang manis. "Mengapa kau tidak datang pada hari keberangkatanmu untuk bertugas di Bumi bersama Melios?"
Raiga menggertakkan giginya. "Saat itu, aku masih dirawat di rumah sakit karena mengalami kecelakaan." ungkap Raiga tanpa menjelaskan kecelakaan yang menimpanya pada Risa, tapi sayangnya, walaupun dia tidak memberitahu kecelakaan tersebut, wanita itu sudah mengetahuinya.
"Apa maksudmu," Risa tersenyum gemas. "Kecelakaan karena ikut campur pada masalah keluarga orang lain? Begitu?"
Raiga kaget mendengar sindiran itu, dia tidak percaya kalau wanita itu bisa tahu tentang sesuatu yang telah menimpanya. Sebenarnya, dari mana dia mengetahui itu semua?
"Kenapa kau bisa tahu?" tanya Raiga blak-blakan.
Risa menghela napasnya. "Insiden yang telah terjadi pada keluarga Turga Garelio Serro sudah diketahui oleh seluruh malaikat elit melalui pengintaian suci yang kami lakukan."
"Jadi begitu," Raiga menatap malas muka Risa. "Selain menjaga masyarakat, ternyata para malaikat elit juga suka mengintip, ya? Kurasa, itu adalah tindakan yang tidak sopan, karena aku yakin, kalian juga sering mengintip seseorang yang sedang mandi, 'kan? Mengerikan." Raiga mencoba mencairkan suasana dengan mengatakan hal itu, tapi sayang sekali, Risa tidak terpengaruh pada sindiran tersebut.
"Kalau begitu, kita kepertanyaan berikutnya," Risa mengeluarkan dua buah foto yang menampilkan Yuna dan Zapar sedang tersenyum pada kamera. "Hubungan apa yang telah kau buat bersama dua anak ini?"
Raiga menguap untuk kedua kalinya sampai matanya mengeluarkan air. "Kami hanya sahabatan saja, tidak lebih tidak kurang."
"Sahabatan?" Alis Risa mengkerut dalam sesaat. "Lalu, mengapa kau bisa disangka sebagai malaikat pendendam oleh Melios? Bukankah dia juga sahabatmu, kan?"
"Kau ini bicara apa?" Raiga sedikit terkekeh. "Melios bukan sahabatku, dia itu musuhku. Setiap hal yang kulakukan, Melios pasti membencinya, begitulah yang dinamakan pembenci sejati. Lagi pula, rumor yang menuduhku sebagai reinkarnasi malaikat apalah itu, semuanya tidak benar. Aku bisa mengaktifkan kilauan mata biru, itu karena berkat Tuhan, bukan sebagai malaikat apalah itu."
Risa sedikit berkedut kesal mendengarnya, tapi dia tetap menahan amarahnya untuk terus tersenyum ramah pada Raiga. "Justru karena berkat Tuhan, kau dilahirkan sebagai reinkarnasi malaikat pendendam, Raiga. Baiklah, sepertinya itu sudah cukup, sekarang, kau secara resmi akan dilenyapkan dari Surga olehku, Risa Minir, malaikat elit ke delapan."
BRAK!
Mendengar hal itu, Raiga langsung menggebrakkan meja tidak terima. "Aku tidak mau, aku masih ingin di surga. Setidaknya, biarkan aku untuk makan malam di rumahku sekali ini saja, aku rindu pada masakan ibuku!"
Risa menggeleng. "Maaf, seperti yang sudah kubilang, tidak ada toleransi untukmu, Raiga."
Dan akhirnya, kedua tangan Raiga di borgol, mulutnya disumpal oleh kain, kakinya dipasang gelang pemanas, dan lehernya dikalungkan sebuah emas yang dapat meledak dalam beberapa detik jika diaktifkan.
Raiga pun dibawa oleh Risa Minir menggunakan kendaraan pribadinya yang sangat mewah, yaitu mobil sayap. Saat Raiga memasuki kendaraan tersebut, seluruh anak sekolahnya berhamburan, menyaksikan Raiga yang dibawa oleh malaikat ke delapan untuk dilenyapkan. Pak Bravo bersedih karena anak didiknya dapat masalah, Melios sedikit menyesal karena memanggil Nona Risa untuk mengurus Raiga dan semua anak kaget kalau murid satu sekolahnya adalah seorang malaikat pendendam.
☆☆☆
"Tempat apa ini?" Raiga bertanya saat dia sampai di sebuah lubang besar yang gelap.
"Ini adalah tempat yang biasa kami lakukan untuk melenyapkan malaikat-malaikat yang telah berbuat kejahatan di surga. Kau adalah malaikat keseribu yang akan dilenyapkan di lubang para pendosa ini." jelas Risa dengan tersenyum damai.
"Lubang ... para pendosa?"
"Ya," Risa mengangguk. "Jadi, sudah siapkah kau, Raiga?"
Raiga sedikit ngeri melihat lubang besar yang ada di depannya ini, dia merasa kalau semua ini adalah kesalahpahaman semata.
"Jadi, aku hanya perlu meloncat ke dalam lubang ini, lalu bisa lenyap dari surga?" Raiga menyeringai. "Lantas, mengapa tidak kau contohkan saja padaku bagaimana caranya?"
Risa terkejut mendengarnya. "Kau bukan lagi anak SD yang harus kucontohkan segala hal, bukan?"
"Tapi aku masih belum paham bagaimana cara meloncatnya, aku takut jika melakukan kesalahan, jadi," Raiga tersenyum jahat. "Bisakah kah contohkan padaku, Nona Risa?"
"Jangan bodoh," Risa tersenyum manis. "Aku ini seorang malaikat elit, tidak mudah untuk menjebakku menggunakan cara kekanak-kanakan itu, Raiga. Jika kau masih tidak melakukan perintahku, kau akan kupaksa."
SYUNG~
Tiba-tiba Raiga langsung melompat ke lubang itu dengan menguap lebar. "Ah, kau terlalu banyak bicara, aku jadi bosan, 'kan? Lebih baik langsung kulakukan saja," Raiga berdecak kagum. "Wow! Aku suka sensasi jatuh! Oh, ya, bilang pada Zapar dan Yuna untuk membuat masalah di surga agar mereka dapat masuk ke dalam lubang ini bersamaku, kau dengar? Nona Risa?"
Lalu, secara perlahan, suara Raiga menghilang, tubuhnya juga tertelan oleh kegelapan di lubang para pendosa itu, dan akhirnya, malaikat itu telah lenyap.
Risa meneguk ludahnya terkejut. "Baru kali ini aku melihat seorang malaikat yang senang karena lompat ke dalam lubang mengerikan ini," Kemudian, Risa pergi meninggalkan tempat itu. "Syukurlah, masalah sudah selesai. Sekarang, aku bisa bersolek ria lagi di kamarku."
BUG!
Tiba-tiba muncul seorang gadis berambut putih panjang di depannya, menghadang jalan Risa, membuat suasana menjadi suram. "Siapa Anda?" tanya Risa dengan ramah pada gadis asing itu.
"Beraninya kau ...," Gadis itu menggeram seperti kucing. "BERANINYA KAU MELENYAPKAN MAJIKANKU!"
Risa tidak paham mendengarnya. "Melenyapkan Majikan Anda? Apa maksudnya itu?"
"Namaku Chogo! Kucing peliharaan Raiga! Dan aku sudah mendengar semuanya dari burung penggosip kalau majikanku akan dilenyapkan! Dan ternyata kau pelakunya! AKU TIDAK TERIMA ITU!"
CRAK!
Chogo, nama gadis yang mengaku sebagai peliharaan Raiga, langsung melesat dan mencakar betis Risa hingga patah.
"He-Hentikan!" Risa mencoba mengeluarkan kekuatannya, namun kalah cepat oleh Chogo.
SET!
Dan Risa berakhir tercekik oleh Chogo sampai kedua kakinya tidak menyentuh tanah. "Sekarang! Di mana Majikanku!"
"Di-Dia telah lenyap," Suara Risa tegagap-gagap. "Di lubang itu."
"b******k!" Chogo langsung membanting wajah Risa ke tanah, kemudian dia berlari dan memandang lubang besar yang telah melenyapkan Raiga. "Akan kukeluarkan kau dari lubang ini! Raiga!"
☆☆☆
"Eh? Kenapa perasaanku jadi tidak enak begini?" Yuna merasa gelisah saat dirinya sedang membaca buku di perpustakaan sekolahnya.
"Hmm, aku merasa ada yang tidak beres, kawan!" Di sekolahnya, Zapar pun merasa hal yang sama seperti Yuna.
Karena kegelisahan mereka meluap-luap, Yuna dan Zapar mengaktifkan sayapnya di atap gedung sekolahnya masing-masing, kemudian terbang menuju tempat yang menuntun mereka pada lubang besar tersebut.
"Za-Zapar? Apa yang kau lakukan di sini?"
Karena Zapar yang duluan sampai, Yuna terkejut melihat lelaki itu sedang merenung di tepian lubang. Yuna menghampiri Zapar.
"Jadi, kau juga merasakan hal yang sama, ya, Yun?" Zapar termenung menatap lubang itu.
Yuna ikut memandang lubang tersebut. "Ya," kata Yuna. "Perasaanku berkata kalau aku harus masuk ke dalam lubang ini bersamamu, Zapar. Tapi, aku tidak yakin."
Saat menoleh ke samping, ternyata Zapar tidak ada di sana, membuat Yuna terkejut.
"Ayo, loncatlah! Yuna!" teriak Zapar setelah dirinya jatuh ke dalam lubang sampai akhirnya lenyap tanpa bekas.
Yuna merinding. "Dia melakukannya tanpa berpikir? DASAR BODOH!" Karena kesal, akhirnya Yuna pun meloncat ke lubang tersebut menyusul Zapar.
"Apa maksudnya ini?" Rambut perak Raiga berjatuhan ke keningnya, terhempas angin yang berhembus dari timur, dia sedang berjalan sendirian, kedua kakinya tenggelam dalam timbunan pasir merah yang hangat. "Mengapa aku ada di tempat seperti ini?"
Pupil matanya membesar, memandangi sebuah bangunan-bangunan kotak yang menjulang tinggi jauh di depannya, kepalanya menoleh ke belakang saat suara ombak terdengar, ah, jadi begitu, kini dia sedang berada di tepi laut.
Sendirian.
Laut yang membentang luas di belakangnya benar-benar membuatnya menarik napas panjang, Raiga tidak mengerti mengapa dia berada di tempat ini. Seingatnya, dia melompat ke dalam lubang para pendosa yang merupakan tempat khusus untuk melenyapkan para malaikat yang telah berbuat dosa, tapi bukannya lenyap dan mati, dia malah dikirim ke tepi laut yang sepi.
Raiga memalingkan pandangannya kembali ke depan. "Dan sepertinya, bangunan-bangunan berbentuk kotak yang menjulang tinggi di depanku, adalah sebuah kota besar yang dihuni para makhluk hidup," Raiga menghembuskan napasnya dengan lemas. "Aku tidak begitu yakin, tapi sepertinya ini bukan Surga, mungkinkah ini Bumi? Tempat tinggal para manusia atau alam yang lain?"
Selagi pikirannya masih bertanya-tanya, Raiga memutuskan untuk terus berjalan melewati timbunan pasir merah yang menenggelamkan kakinya sampai akhirnya kedua kakinya terlepas dari pasir-pasir tersebut dan tergantikan oleh permukaan tanah yang datar.
Kini Raiga menghentikkan kakinya, berdiri mematung di tempat yang dipijakinya. Rambut peraknya yang pendek dan berantakan terombang-ambing terbawa angin, kedua alisnya mengkerut disertai tatapan mata yang malas.
Pakaian yang dia pakai sekarang adalah kaos putih dan celana panjang berwarna biru pekat.
Raiga tidak habis pikir, setelah menjatuhkan diri ke dalam lubang para pendosa, ternyata dia masih bisa hidup santai di tempat seperti ini, padahal harapannya, dia ingin mati dengan tenang. Tapi nyatanya, harapan itu tidak terwujud.
"Baiklah, mungkin aku tidak tahu, sedang ada dimana aku sekarang, tapi setidaknya, aku harus mencari cara agar aku bisa bertahan hidup di sini." ucap Raiga dengan santai, kedua tangannya dimasukkan ke kantong celananya, dengan gaya kalemnya, ia kembali berjalan mengikuti arah jalan setapak yang membentang lurus di hadapannya. Entah akan dibawa kemana dia oleh jalan ini, tapi lebih baik berjalan daripada berdiam diri di sini.
Sayangnya, walaupun dia mengikuti jalan setapak ini dan terus berjalan, dia tidak menemukan apa-apa selain hamparan laut biru yang ombaknya beriak-riak, pepohonan pinus yang berdiri kokoh di setiap sisi jalan, dan pemandangan sebuah kota yang berkilauan jauh di depan.
"Kurasa kedua kakiku ingin beristirahat, mustahil untuk kembali berjalan, aku sudah lelah." kata Raiga dengan tubuh yang loyo yang kemudian merobohkan pantatnya ke tanah, terduduk lesu di permukaan tanah yang kasar. "Membosankan sekali."
Kepalanya didongakkan, memperhatikan hewan-hewan bersayap yang terbang bebas di atas langit biru, "Huh, enak sekali jadi mereka, bisa terbang bebas di langit, tanpa harus berjalan menggunakan kaki yang membuat lelah. Aku iri sekali, andai saja aku punya--Tunggu!"
Setelah memandangi burung-burung tersebut selama beberapa detik, tiba-tiba dia mengingat sesuatu yang tidak disadarinya selama ini.
"Bukankah aku punya sayap? Bodoh sekali, mengapa aku baru menyadari hal ini sekarang, malaikat macam apa aku ini sampai-sampai melupakan bagian tubuhnya sendiri." Lalu wajah Raiga yang tadinya malas dan lesu berubah menjadi lebih b*******h, bahkan senyuman tipis tercetak di bibirnya kali ini.
Seorang malaikat sudah pasti memiliki sepasang sayap di punggung, itu bukan sebuah bualan, tapi memang benar dan tentu saja, wajar. Tapi, seorang malaikat pun punya kemampuan untuk menonaktifkan sayapnya agar tidak bisa dilihat oleh orang lain, hal ini bertujuan untuk menghindari segala masalah ketika beraktivitas sehari-hari. Kalian bayangkan saja jika sayap yang ada di punggung tidak bisa dihilangkan, mungkin untuk sekedar duduk di kursi saja, akan merepotkan sekali. Jadi begitulah alasan para malaikat lebih memilih mengaktifkan sayapnya ketika dalam situasi yang benar-benar penting saja.
Kemudian, Raiga beranjak berdiri dan mengaktifkan sepasang sayap yang ada di punggungnya, dan ketika sayapnya muncul, warna biru yang menyala menyelimuti bulu-bulunya, yang menandakan dia adalah seorang Malaikat Pendendam.
Dan asal kalian tahu, penyebab Raiga diperintahkan untuk masuk ke dalam lubang para pendosa adalah karena dia adalah seorang Malaikat Pendendam, yang konon, kekuatannya dapat menghancurkan seluruh Surga dalam sekejap, itulah mengapa sistem malaikat elit dibentuk, untuk berupaya melindungi kedamaian alam surga jika Sang Malaikat Pendendam kembali datang.
"Bagus," Raiga mengepakkan sayapnya. "Terbanglah menuju kota itu!"
Dan akhirnya, Raiga berhasil terbang dan langsung melesat ke lokasi yang ditujunya, saat keberadaannya menjauh dari tempat yang tadi dipijakinya, sesosok bayangan hitam tiba-tiba tampak di sana. Berdiri seperti sedang memandangi kepergian Raiga.
"Kuruga Raiga Bolton, aku akan menghancurkanmu di sini, aku tidak akan gagal lagi seperti kemarin, hehehe!" ucap bayangan hitam itu dengan tawa yang terkekeh-kekeh. "Tapi aku cukup senang, setidaknya, kau belum tahu bahwa sekarang kau sedang berada di Neraka tempat para iblis tinggal. Dengan segala hormat, aku ucapkan selamat datang untukmu, wahai Malaikat Pendendam, hehehehehe!"
Entah apa maksudnya si bayangan hitam itu berkata demikian, tapi sepertinya dia lah yang selama ini selalu menguntit dan mengawasi Raiga dari balik layar, sebenarnya, siapa dia?
***
"Hey, Nona! Nona! Nona! Bangunlah!"
Seseorang menggoyang-goyangkan badan Yuna yang sedang terbaring di gumpalan salju yang dingin, karena merasa terganggu, akhirnya gadis berambut biru panjang itu membuka matanya lebar-lebar dan menegakkan badannya untuk bangun.
"Eh?" Yuna terkejut saat melihat seorang pria bertelinga panjang, lebar, dan runcing sedang duduk di hadapannya. "Si-Siapa kau!?"
Pria itu terlihat sumringah memandangi Yuna yang telah sadar dari tidur panjangnya, kemudian dia mulai menjawab pertanyaan gadis itu dengan semangat, "Oh, syukurlah! Kukira kau sudah tewas, maaf jika aku mengejutkanmu. Namaku Hill Yustard, aku hanyalah orang lewat yang kebetulan menemukanmu sedang terbaring diselimuti salju di bawah pohon gundul ini."
"Kalau begitu, terima kasih telah membangunkanku, aku Zelila Yuna Birikawa, aku tidak tahu mengapa aku tidur di sini, tapi ngomong-ngomong, aku penasaran, mengapa bentuk telingamu runcing? Aku baru pertama kali melihatnya. Kurasa manusia tidak memiliki telinga seperti itu, malaikat juga tidak. Kau ini jenis makhluk apa?"
Hill Yustard, seorang pria berambut putih panjang yang memiliki telinga panjang dan runcing tersentak mendengar pertanyaan dari Yuna, dia kaget karena gadis itu malah menanyakan hal yang tidak penting ketimbang sesuatu yang penting, tapi dia harus menjawabnya.
"Telingaku? Bukankah semua orang telinganya seperti ini bahkan kau pun jug--Waah! Apa ini? Telingamu juga terlihat unik, apakah kau berasal dari Negeri Seberang?"
Yuna benar-benar heran harus menjawab apa, karena pertanyaannya saja belum dijawab oleh Hill, tapi pria itu malah melontarkan pertanyaan yang serupa padanya.
"Tidak-tidak! Telingamu yang unik dan aneh! Telingaku biasa-biasa saja, sama seperti makhluk-makhluk lain."
"Menurutku, telingamu yang aneh, Zelila Yuna Birikawa, karena di dunia ini, semua orang memiliki telinga seperti punyaku, atau jangan-jangan... Kau bukan berasal dari dunia ini?"
Tercengang, Yuna langsung melemparkan pertanyaan yang terlintas di pikirannya barusan, "Ini Surga, kan?" Yuna ingin memastikan situasi. "Aku masih di Surga, kan?"
"S-Su-Surga katamu!?" Hill terperanjat, "Jika ini Surga, berarti kau sudah mati, Zelila Yuna Birikawa, tapi sayang sekali, ini bukan Surga seperti yang kau bayangkan, ini Rebula, dunia para Elf."
Sungguh, setelah mendengar penjelasan dari Hill, entah mengapa, rasanya Yuna ingin sekali menampar dirinya sendiri untuk tidak terkejut. Tapi siapa yang bakal tidak kaget jika seseorang mengatakan kalau ini bukanlah dunia yang dia tinggali, melainkan dunia asing yang baru pertama kali dia dengar namanya.
"Dunia para elf?" ulang Yuna dengan wajah yang tertegun, "Apakah makhluk yang bernama elf itu memiliki penampilan yang sama sepertimu? Bertelinga runcing?"
"Tentu saja," jawab Hill. "Sepertinya kau bukan seorang elf, sebenarnya, dengan siapa aku berbicara saat ini? Apakah kau perwujudan iblis jahat?" nada suara Hill mulai serius.
"Bukan! Aku bukan iblis!" sanggah Yuna dengan memekik. "Aku adalah seorang malaikat suci yang mencintai perdamaian! Sebelum berada di dunia Rebula ini, aku berasal dari Surga! Mungkin karena aku masuk ke dalam lubang para pendosa, aku jadi berakhir di sini."
Hill membangunkan tubuhnya sendiri untuk berdiri tegap dan wajahnya yang sebelumnya ramah berubah menjadi bengis. Hill memelototi Yuna.
"Malaikat katamu?" geram Hill Yustard dengan kesal. "Sebaiknya kau mengaku saja, kau tidak bisa menipuku, Iblis Sialan!"
Yuna menjadi heran dan gelagapan saat melihat muka Hill yang terlihat menyeramkan.
"Hey! Sudah kubilang, aku ini bukan Iblis! Mengapa kau tidak mau percaya padaku, Hill!?"
"Jika kau memang bukan Iblis, buktikan padaku!"
Dan akhirnya, keadaan Yuna jadi tambah rumit, dia tidak paham mengapa Hill tiba-tiba menyangkanya sebagai seorang Iblis dan tetap tidak mau percaya walau dia bilang berulang kali bahwa dia bukan seorang Iblis. Sepertinya kebencian Hill Yustard terhadap Iblis sangat besar.
"Okay! Aku akan memberikan bukti padamu, Hill Yustard!"
Yuna terpaksa mengaktifkan kedua sayapnya untuk memberikan bukti pada Hill bahwa dia adalah seorang malaikat. Dan saat Yuna berhasil memunculkan sayapnya, Hill hanya menatap Yuna dengan tatapan datar.
"Sayap yang kau buat, aku tahu itu adalah sayap palsu."
Mendengar hal itu, membuat Yuna semakin berang. "Terserah!" Lalu Yuna beranjak pergi dari hadapan Hill.
Cuaca sebenarnya cerah, tapi bongkahan salju masih menimbun tanah hingga membuat permukaan daratan jadi serba putih dan menggumpal.
Yuna kembali menonaktifkan sayapnya, dia berjalan pelan melewati gumpalan salju yang menggunung, gadis itu masih marah terhadap sikap Hill yang keras kepala.
"Apa sih yang dia mau!? Mengapa dia menyangka aku ini iblis! Sialan! Sialan! Sialaaan!"
Namun, saat Yuna mengomel-ngomel tidak jelas sendirian, seseorang sedang berdiri di hadapannya dengan wajah terkejut.
"Apakah itu kau, Yun?" Terdengar suara familiar yang tidak asing di telinga Yuna, dan ternyata benar, saat pandangannya tertuju pada orang yang berdiri di depannya, dia mencoba memastikan baik-baik apakah benar atau bukan dan hasilnya positif. Dugaannya tepat.
"ASTAGA! ZAPAR!!" Yuna langsung berlari melompati gumpalan salju yang menghalanginya untuk menghampiri Zapar, lelaki berambut merah yang sedang berdiri di depannya.
Kemudian mereka pun saling berpelukan dengan menggenggam erat tangan masing-masing sambil tertawa bahagia, karena mereka adalah sepasang sahabat.
Setelah itu, Yuna dan Zapar melepaskan pelukan erat itu dan saling menatap.
"Zapar, mengapa kita bisa berada di dunia asing ini! Apa kau tahu, barusan aku bertemu seseorang bertelinga runcing, dan dia bilang, dunia ini bernama Rebula, dunia para elf! Dan dia juga menyangka kalau aku ini adalah seorang iblis! Menyebalkan sekali!"
Yuna merengek-rengek pada Zapar dengan memukul-mukul d**a lelaki itu, gadis itu terlihat kesal sekali. Zapar tertawa mendengar itu semua.
"Wow, konyol sekali nasibmu, Yun!" Zapar tertawa terbahak-bahak. "Tapi syukurlah kau baik-baik saja, kawan!"
"Baik-baik saja kau bilang?" Tiba-tiba Hill Yustard muncul di hadapan mereka dengan menggenggam sebuah pedang panjang yang sangat tajam. "Iblis seperti kalian, seharusnya mati saja!"
Zapar dan Yuna terbelalak.