Dua hari setelah kejadian, hari ini adalah milik Rasya.
“Saya terima nikah dan kawinnya, Ayessha Shanum binti Abdul Kohar dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai!”
Terpaksa aku ucapkan kalimat sakral tersebut di bawah tekanan dari Mas Aksa. Aku terpaksa memanggil Mas Aksa, karena aku di sini sama sekali tak membawa uang, sehingga begitu kejadian kemarin menimpaku, aku menghubungi kakak tiriku.
Ya, Mas Aksa adalah kakak tiri yang dilahirkan dari istri pertama mendiang papa.
Acara ijab kabul pun usai. Aku dan anak perempuan itu hanya sekedar bersalaman di depan penghulu, lalu dia entah pergi ke mana dan aku tak peduli. Karena aku memutuskan untuk langsung pulang bersama Mas Aksa hari ini, tepat setelah ijab kabul dilaksanakan.
“Kita bicara dulu dengan Bapaknya Shanum,” ajak Mas Aksa padaku. Kami melaksanakan pernikahan di ruang rawat Pak Abdul. Semua mahar dan keperluan pernikahan ini dibiayai oleh Mas Aksa.
Kuanggukkan kepala dan mengekor padanya. Terlihat pria tua yang masih berbaring di atas kasur itu menatap padaku.
Mas Aksa berjalan terlebih dulu dan duduk di samping Pak Abdul, aku mengikuti dan duduk di samping Mas Aksa.
“Nak Rasya, terima kasih atas kebaikan kamu karena telah mau menerima anak bapak. Hidupmu masih panjang, apa pun kesulitan kamu, jangan pernah menyerah. Mencoba bersyukur di atas semua luka, maka kamu akan menjadi manusia kuat yang telah memiliki banyak pengalaman hidup. Biar bapak yang menanggung semuanya, kamu ... teruslah melanjutkan hidup dengan Shanum dan semoga rumah tangga kalian menjadi sakinah, mawaddah dan warrahmah.” Pak Abdul langsung batuk dan napasnya tersengal-sengal.
Kulihat Mas Aksa membantu menepuk-nepuk dengan pelan punggung Pak Abdul. Sementara aku, tak tahu harus melakukan apa untuk membantu.
“Bapak!” panggil perempuan dengan gaun putihnya itu.
Itu adalah Shanum, sepertinya dia sudah menjadi istriku. Tapi ... brrrr! Mendadak aku bergidik jika memikirkan diriku dengan masa depan suram ini harus membawa anak gadis orang dan menanggung biaya hidupnya.
“Bapak kenapa?” Shanum menghampiri bapaknya dengan wajah yang penuh kekhawatiran.
“Bapak, sudah ... baik-baik saja ....” Pak Abdul berucap dengan suara yang masih serak.
“Bapak jangan kebanyakan ngomong dulu,” tutur Shanum sambil memegangi lengan keriput Pak Abdul.
Di sini aku hanya diam saja sedari tadi.
“Bapak tidak punya banyak waktu lagi ... bapak harus ngomong banyak hal ke kamu dan suamimu, Nak Rasya.”
Aku merasakan jika Shanum saat ini sedang menatapku. Untuk menghindari kecanggungan, sengaja aku membuang muka dan tak membalas tatapannya.
Tak pernah ada dalam bayanganku sekalipun, jika aku akan bertemu dengan perempuan asing dan terjebak dalam situasi di mana aku ‘wajib’ menikahinya.
“Sekarang dengarkan, Shanum, kamu sudah menjadi istri Nak Rasya. Kamu harus patuh pada suami. Mulai sekarang, Nak Rasya yang akan menjagamu. Dia yang akan menjadi imam dalam hidupmu selamanya. Dan Nak Rasya ... bapak menitipkan Shanum padamu, karena bapak percaya. Dia ini adalah harta terbesar yang dimiliki oleh bapak dan sekarang dia kuserahkan padamu. Sekali lagi, karena bapak percaya. Bapak harap kamu bisa membimbing Shanum menjadi istri yang baik. Peringatkan dia bila ada salah, beritahu dia jika ada hal yang kurang kamu sukai darinya! Bapak mengucapkan terima kasih, karena kamu mau menerima Shanum.”
Pak Abdul berkata panjang lebar. Dia bahkan sampai mencurahkan air matanya dan aku hanya bisa memandangi dirinya. Bukannya hatiku tak tersentuh, tapi pikiranku masih mencoba mencerna perasaan dalam hati ini pelan-pelan.
Sepertinya aku tak bisa hidup dengan membawa Shanum sebagai istriku.
“Sekali lagi, Bapak titip Shanum, ya, Rasya! Laa ... ilaa ... ha ... ilallah .... Muhammadurrasulullah ....”
“Bapak!” jerit dari Shanum memekakkan telingaku.
Masih aku tercengang dan tak tahu harus memasang ekspresi apa. Pria tua itu menutup mata tepat di hadapanku. Di mana sebelumnya dia memberi wejangan untukku berupa kalimat panjang yang aku tak tahu maksudnya.
**
“Rasya, sepertinya Mas akan pulang sore ini,” ucap Mas Aksa sepulang kami memakamkan jenazah Pak Abdul.
“Kalau begitu aku akan siap-siap,” jawabku setelah mendengar ucapannya.
“Kamu tidak boleh pulang dulu!”
Kukerutkan kening begitu mendengar larangan dari Mas Aksa. “Aku harus pulang, Mas.”
“Di sini saja, temani Shanum!” titahnya dengan suara yang tegas.
“Kenapa harus aku?” debatku padanya.
“Karena kamu sudah menjadi suaminya. Apa kata orang, jika mertuamu baru meninggal dan kau langsung pergi begitu saja meninggalkan istrimu!”
Aku bingung dengan yang Mas Aksa. Bukan tak mengerti, lebih ke ... tak bisa menerima. Apa ini semua?
Aku menjadi suaminya?
Mertuaku yang baru meninggal?
Istriku yang ditinggal?
Pikiranku terlalu kacau untuk menjadi waras dan bisa menerima semuanya. Jujur, secara mental aku sama sekali tidak siap.
“Mas, aku mohon temani aku satu malam lagi di sini. Aku masih bingung dengan semuanya ... aku ... aku ....” Tak lagi aku sanggup berkata-kata.
Sulit bagiku untuk menerima semua. Jika tak ada Mas Aksa, mungkin akan mengulang bunuh diriku untuk yang ke sekian kalinya.
“Aku tak bisa membantumu lebih dari ini, Rasya. Kita punya kehidupan masing-masing dan aku juga melakukan ini semata untuk memenuhi janjiku. Sekarang kita impas dan aku akan pulang!” tegasnya.
Di momen ini, dia malah membahas tentang janji dan impas. Sungguh lucu memang kakak tiriku yang satu ini.
Aku hanya bisa tersenyum mencibir dirinya. “Ya sudah, pulanglah!” ucapku putus asa.
Kami memang saudara tiri yang tak pernah akur. Aku meminta bantuan padanya hanya karena ini masalah yang sangat mendesak dan aku tak mungkin menghubungi mamaku. Dulu aku pernah membantu Mas Aksa dan sekarang dia yang melunasi hutangnya. Ya, bantuan ini hanya sebatas membayar janji.
Dia pulang dengan mobil mewahnya, sementara aku duduk di teras rumah Shanum selagi banyak warga keluar dan masuk untuk menghibur anak Pak Abdul.
Kenapa anak Pak Abdul harus perempuan? Seandainya anak itu laki-laki, kami pasti tak perlu menikah.
**
“Rasya, ini sudah malam. Kau tidak tidur? Semua tamu sudah pulang semua,” ujar suara lembut seorang perempuan yang baru keluar dan berdiri di ambang pintu.
Aku pun menoleh. “Shanum?” tanyaku dengan agak heran. Ya, aku heran karena suaranya kali ini sungguh berbeda dan terdengar lembut.
“Kau bisa masuk,” titahnya sambil menuju ke dalam rumah terlebih dahulu.
Padahal sebelumnya dia sangat melarangku masuk ke rumah apalagi hanya berdua. Tapi sekarang dia sudah menyuruhku.
Para tetangga yang melakukan pengajian semuanya sudah pulang ke rumah masing-masing, jadi kini tersisa hanya aku dan Shanum saja.
“Sepertinya ... ada banyak yang perlu kita bicarakan?” ujar Shanum saat aku duduk di sofa.
“Katakan saja,” jawabku tanpa keberatan.
Dia pun mengambil napas, lalu mengembuskannya. “Kita ... mungkin sudah menikah, tapi ... aku ingin kuliah. Jadi ... kalau bisa kita jangan dulu berhubungan ....”
“Kuliah saja aku tak akan melarangmu!” selaku dengan cepat. “Kau tak perlu pikirkan aku, lagi pula pernikahan kita ini belum resmi secara hukum. Di kartu identitas, kau ini masih perempuan yang belum menikah.”
“Baiklah, syukurlah kalau kau mengerti. Tapi aku harus kuliah di kota dan kamu ....”
“Pergilah ke kota itu, tak usah pedulikan aku. Besok aku akan pulang ke rumahku sendiri. Jadi kau tak perlu terbebani dan pergi saja ke kota tersebut untuk melanjutkan kuliahmu.” Aku meringkas obrolan kami agar cepat selesai dengan cara menyela semua ucapan Shanum. Tapi kelihatannya, dia senang dengan pendapatku.
Perempuan di depanku ini hanya mengangguk-angguk saja.
Kuambil pulpen dan kertas, lalu aku menuliskan nomorku. “Itu nomor ponselku, kau bisa telepon aku kalau ada apa-apa.”
“Baik,” jawabnya sambil mengambil nomor tersebut.
“Ingat ya, tapi! Hanya kalau ada apa-apa!” tegasku agar dia mengerti. Dengan aku memberikan nomor, bukan berarti dia bisa memanggilku kapan saja seenaknya.
Dia mengangguk sekali lagi. Semoga dia benar-benar paham.
“Ini uang dari kakakku. Aku juga masih punya banyak di tabungan pribadiku. Kau bisa pakai uang ini, jika habis kau boleh menghubungi aku.” Kuletakkan uang tersebut di depan meja. Jumlahnya tepat sepuluh juta.
Karena mata yang semakin berat, aku pun menguap. “Bisakah aku tidur di sini?” tanyaku sambil menunjuk sofa.
“Kau mau tidur di sini? Bukan di ... ka ... mar ... ku?” ujarnya dengan lirih sehingga kata terakhir tak terdengar dengan jelas di telingaku. Apa dia menyebut kata kamarku? Kamarnya dia?
“Emmh, baiklah.” Shanum pun mengambil selimut ke dalam kamarnya.
“Anu ... Shanum kau tadi berkata aku akan tidur kamarmu?” tanyaku saat dia menyodorkan selimut kepadaku.
“Emmm, kau bertanya apa?” tanyanya mengerutkan dahi.
“Maksudku, apa kau tadi bilang aku boleh tidur di kamarmu?” Aku hanya ingin mengonfirmasi saja, bukan berarti benar-benar ingin tidur di sana.
Tapi yang aku dengar sungguh tak terduga. Shanum pun membuka mulutnya dan berkata, “Ya! Maukah kau tidur di kamarku?”