bc

Our Secret Destiny

book_age18+
1.0K
IKUTI
7.3K
BACA
opposites attract
sweet
bxg
campus
like
intro-logo
Uraian

"Aku mau bunuh diri. Bukannya mati, malah mendapat seorang istri!" ~ Rasya Nareswara.

*

Seorang pria paruh baya meninggal setelah berusaha menolong siswa yang baru lulus SMA bernama Rasya. Siswa tersebut mencoba bunuh diri dengan cara menenggelamkan diri di lautan.

.

Pria tersebut sempat menjalani rawat inap, tapi nyawanya tak tertolong. Dia berpesan pada Rasya yang ia selamatkan, agar mau menjaga dan menikahi anak perempuannya, Shanum.

.

Karena tidak adanya rasa cinta dalam hati Rasya, dia pun memilih untuk meninggalkan Shanum tepat satu hari setelah pernikahan dan hanya memberi gadis itu sejumlah uang. Shanum pun merasa tak peduli dengan sikap Rasya, sebab Shanum saat itu ingin melanjutkan kuliahnya di kota besar dan dia sudah mendapat beasiswa.

.

Takdir yang memang sengaja membuat agar terjadi sesuatu di antara mereka, kota besar yang dituju oleh Shanum ternyata adalah kota tempat tinggal Rasya. Lalu kampus dan jurusan yang dimaksud oleh Shanum ternyata adalah tempat Rasya berkuliah, yaitu Universitas Islam dengan jurusan Pendidikan Agama Islam. Ditambah keduanya, menjadi penyanyi religi yang sering tampil bersama dan mengharuskan banyak interaksi dari mereka.

~

Bagaimana reaksi mereka saat tahu jika berkuliah di tempat yang sama?

Status mereka masih suami istri, akankah mereka berpura-pura tidak mengenal satu sama lain?

Sebagai seorang suami, apakah Rasya akan membiarkan saja jika banyak pria yang terpikat oleh kecantikan dan keluguan gadis desa seperti Shanum?

chap-preview
Pratinjau gratis
1. Dia yang Berteduh Di Bawah Pohon Nangka
“Maafkan bapak, Neng. Kalau ada laki-laki yang sanggup untuk menikahimu sekarang, tolong, menikahlah!” Bagaimana mungkin itu menjadi permintaan terakhir dari bapak. Padahal beberapa saat yang lalu, hariku tak seperti ini. Kenapa dia harus datang ke tempat ini dan mengubah hidupku sekaligus menghancurkan mimpiku? ** Dua hari sebelumnya. Mungkin ini yang disebut ‘selangkah lagi menuju mimpi’. Air mataku langsung menetes dengan deras begitu laman pengumuman penerimaan mahasiswa baru dengan beasiswa bidik misi ini dibuka. “Shanum, kamu keterima!” teriak rekan di sampingku ini dengan spontan. “Selamat, ya, Shanum!” Begitu pula rekan-rekan yang lain saling bersahutan memberi selamat padaku. Sementara aku, tak bisa menahan tangis haru dan bahagia yang menggempur hatiku. Aku tak mampu membalas ucapan mereka satu per satu, hingga guru yang sedari tadi menemani kami memeluk ke arahku. “Selamat, Shanum. Ibu turut bangga dengan apa yang kamu dapat, Nak.” Pelukannya terasa hangat dan semakin hangat karena teman-teman lain ikut memeluk ke arahku juga. Beberapa detik kami saling memeluk dan kemudian membubarkan diri. Aku pun segera menyusut air mata dan kemudian mundur menjauh dari komputer sekolah yang kami pinjam untuk melihat pengumuman. “Sekarang giliranmu,” ucapku pada teman yang ada di sampingku dan sedang mengantre tadi. Aku pun keluar dari ruang guru dan menuju kelas. Semua teman silih berganti memberi selamat. Kabar tersebar begitu cepat, setiap guru yang berpapasan denganku pun tersenyum seraya mengucap syukur atas pencapaianku. Tak hanya mereka, bahkan ibu kantin hingga satpam sekolah turut memberi selamat dan doa untuk langkahku yang selanjutnya. Aku pulang membawa kabar gembira. Dengan air mata yang berulang kali aku susut sepanjang jalan, aku masih tak percaya dan tak bisa menahan haru di hatiku. Siapa yang menyangka, jika anak seorang nelayan yang dibesarkan oleh seorang ayah saja bisa mendapat beasiswa dan kuliah di kampus ternama. “Bapak tak perlu memikirkan biaya kuliahku nanti, bapak pasti bahagia karena ini salah satu mimpi bapak.” Aku berucap seorang diri sambil menahan air mata yang lagi-lagi menggenang tanpa diundang. Masih teringat dengan jelas perkataan yang diucapkan oleh bapak sambil berkaca-kaca. Di mana ia berharap aku bisa sekolah sampai tinggi dan memenuhi harapannya. Tapi hal tersebut terasa begitu besar bagi kami yang kecil, hanya saja sebuah kalimat yang dilontarkan bapak membuat aku kembali berani bermimpi. “Kita memang kecil, apa yang kamu mimpikan itu memang besar. Tapi mimpi yang ada di angan kita itu juga bukan sesuatu yang terlalu jauh untuk bisa kita raih. Ingat, kita punya Allah, Neng! Kita punya Tuhan! Selama kamu percaya dengan kekuatan Tuhan, maka apa yang kamu mimpikan akan mendekat sendiri kepadamu. Percayalah!” Dan apa yang dikatakan oleh bapak saat itu memang benar. Selama kita percaya pada Tuhan, tak ada yang tak mungkin baginya. Tugas kita hanya meminta, berusaha, lalu berpasrah. Maka semua yang kita impikan akan terasa semakin dekat untuk menggapainya. Hujan mulai perlahan mengguyur perjalanan pulangku. Aku sejenak berteduh ketika air yang turun sudah mulai deras. Tapi karena tak sabar aku ingin memberi tahu berita ini pada bapak, akhirnya tak peduli lagi aku dengan basah, yang penting kabar bahagia ini harus segera sampai di telinga bapak. ** Tiga puluh menit terlewati sambil aku berjalan menuju rumah dengan ditemani hujan. Pohon nangka dengan dahan yang besar itu menjadi tanda bagian depan rumahku. Aku sering mengatakan adanya pohon nangka tersebut sebagai patokan bila ada teman-teman yang mencari di mana rumahku. Tapi ... ada seseorang yang bersandar di bawah pohon nangka yang rimbun itu. Seorang pemuda yang tidak aku kenal. Bahkan paras seperti itu, baru kali ini aku melihat. Dari kejauhan aku hanya memperhatikan. Ada rasa penasaran, siapa pria itu? Tapi ketika aku hendak mempercepat langkah dan ingin bertanya, dua orang bapak-bapak mendekati pria tersebut dan mereka berbicara sejenak sebelum kemudian mereka pergi. Ya, pemuda itu pergi bersama dua orang bapak-bapak yang menghampirinya tadi. Kedua orang pria paruh baya itu aku tahu siapa mereka. Salah satunya adalah Pak RT dan satunya lagi adalah tetua di desaku. Aku pun berlari sampai di bawah pohon nangka depan rumahku, tepat saat kakiku berhenti, Pak RT yang sudah agak jauh dari posisiku ini menoleh. Masih aku menatap mereka. Dengan kerudung basah kuyup yang kututupi dengan tas kumal berwarna biruku. Pak RT tampak bicara sejenak dengan mereka lalu ia pun berlari ke arahku. Tadinya, aku hendak masuk ke rumah. Tapi melihat Pak RT yang kembali dan menuju ke arahku, aku pun urung untuk masuk dan bertahan di bawah pohon nangka yang setidaknya bisa menghalau air hujan. “Kenapa, Pak?” tanyaku. Perasaanku berkata, jika apa yang akan dikatakan oleh Pak RT ini berkaitan dengan pemuda tadi. “Neng Shanum, semuanya disiap-siapkan, ya!” titah Pak RT. “Disiapkan untuk apa, Pak?” “Bapak Neng Shanum, baru ketemu. Alhamdulillah! Jadi siapkan dokumen bapak seperti KTP sama kartu BPJS dan nanti pasti bakal ada beberapa orang yang datang juga,” tutur Pak RT yang tak aku mengerti. “Memang bapak ketemu bagaimana? Terus itu dokumen untuk apa?” Pria paruh baya itu, mengusap kembali mukanya yang kebasahan oleh air hujan. Dia berusaha menjelaskan padaku dengan perlahan, seakan ini adalah berita yang mengejutkan bila ia langsung mengatakan pada intinya. “Bapak Neng Shanum, tadi tenggelam di laut pas mendung dan angin besar di pantai. Dia menyelamatkan seseorang tapi malah dia yang terbawa ombak. Alhamdulillahnya, setelah dua jam mencari, bapakmu ditemukan lagi dan kondisinya selamat meski tak sadarkan diri. Sekarang sedang diberi pertolongan pertama dan akan langsung dibawa ke rumah sakit. Jadi kamu tak perlu khawatir,” ucapnya perlahan-lahan dengan nada yang mencoba menenangkan. Akan tetapi, anak mana yang tidak akan khawatir? Satu-satunya orang tua yang tersisa mengalami hal yang hampir menghadapkannya dengan maut. Bagaimanapun cara Pak RT menyampaikannya, tak mempengaruhi kondisi hatiku yang tiba-tiba hampir runtuh. “Bapak sekarang di mana?” teriakku sambil tak bisa lagi menahan tangis. “Neng, kata bapak juga jangan khawatir,” hiburnya sambil mencegah agar aku tidak menangis. Tapi telingaku seakan buntu, aku saat ini hanya ingin berteriak dan berlari menuju ke arah bapak. Kutinggalkan Pak RT dan aku segera berlari menembus hujan. Tanpa peduli lagi dengan tas kumalku yang akan semakin kumal atau dengan bentuk kerudungku yang semakin tak karuan. Aku berlari di atas jalan berbatu dengan cipratan air dan tanah yang mengotori sepatu juga bagian bawah rokku. “Neng Shanum! Tunggu atuh, Neng!” Aku mendengar Pak RT berteriak memanggil, tapi seperti yang kukatakan tadi. Aku tak peduli dengan apa pun yang aku dengar. Aku mau bertemu bapak! Aku harus melihat bapak! ** Hanya satu rumah sakit yang ada di kampung halamanku. Yaitu puskesmas milik kecamatan yang oleh warga juga sering disebut sebagai rumah sakit. Tak ada lagi tempat tujuan bila ada pasien gawat darurat hendak dirawat. Sudah dipastikan, jika dia akan dirujuk kemari. “Bapak, mana bapak!” Aku meracau ke sembarang orang. Bukan menyebutkan nama orang yang dicari atau bertanya pada bagian yang tepat. Aku panik! Semua orang yang kutemui, aku harap dia melihat bapakku. “Neng Shanum,” panggil suara bass yang serak dan terengah-engah, dia adalah Pak RT yang sepertinya sejak tadi berlari mengikutiku. “Ayo ke sini!” titah pria tersebut dengan lembut. Aku hanya mengikutinya, sepertinya aku yang telah membuatnya terengah-engah seperti itu. Langkahku pun mengikuti ke mana pria paruh baya dengan kaos putih yang basah itu pergi. Kami menyusuri selasar puskesmas dengan bau obat khas yang menyeruak. Perawat dengan seragam putih hari itu mondar-mandir dan keluar-masuk dari beberapa kamar rawat. Lalu, pada sebuah kamar yang bertuliskan ‘Anggrek III’, Pak RT mengajakku masuk. “Ayo sini!” “Loh, Neng Shanum kok datang ke sini. Barusan banget, Mas Rasya disuruh kembali ke rumah Neng Shanum sama saya.” Salah seorang bapak-bapak langsung menyambutku dengan ucapan seperti itu. Siapa Rasya? Kenapa dia harus kembali ke rumahku? Tapi rasa penasaranku pada pria bernama Rasya itu buyar, setelah Pak RT mengatakan tentang bagaimana kondisi bapakku. “Bapakmu masih belum sadar, Neng. Tapi Alhamdulillah dia tidak terlalu kritis,” ucap Pak RT yang menjelaskan kondisinya padaku. Tanpa pikir panjang, aku melangkahkan kaki. Menuju ke arah seorang pria yang dalam sisa hidupnya ia habiskan untuk menyayangiku. “Bapak ...?” lirihku dengan hati terguncang. Tanganku bergetar saat meraba lengannya yang disambung dengan selang infus. Aku hanya bisa menangis dan menggelengkan kepala karena tak percaya, kalau pria dengan masker oksigen yang tengah berbaring tak sadarkan diri adalah bapakku. “Apa yang membuat bapak seperti ini? Bapak, kan, pelaut yang tangguh. Kenapa laut menenggelamkan orang sebaik dirimu? Apakah dia marah karena setiap hari ombaknya engkau taklukkan?” Batinku bertanya-tanya. Selagi aku menangis di samping bapak, terdengar percakapan antara bapak-bapak yang ada di dekatku ini. “Kasihan Neng Shanum,” tutur Pak RT. “Nak Rasya juga pasti terguncang. Dia bahkan belum sempat makan dan membersihkan baju semenjak sadarkan diri tadi.” Orang lainnya pun menjawab. “Dilihat dari raut wajahnya, dia merasa bersalah terhadap apa yang menimpa bapaknya Neng Shanum.” “Iya, benar. Bahkan dia sengaja menunggu Neng Shanum untuk meminta maaf. Tapi ternyata mereka tak berpapasan di jalan.” Beberapa menit aku memperhatikan percakapan mereka. Lalu aku sendiri pun menoleh dan menimpali mereka. “Memang ... siapa Rasya?” tanyaku pada Pak RT. Pak RT pun menjawab dengan bibirnya yang terlihat sedikit memucat. “Rasya itu, pemuda yang ditolong oleh bapakmu!” ** Setelah beberapa menit aku melihat kondisi bapak. Aku pun kembali ke rumah saat hujan reda. Tapi langit kini sudah semakin gelap karena hari telah menuju sore. Setidaknya ada Pak RT yang berjalan denganku karena ia juga kebasahan sedari tadi dan kini hendak pulang. Aku dan Pak RT berpisah di persimpangan. Kini aku melanjutkan perjalananku menuju ke rumah yang tinggal beberapa meter lagi. Rasanya aku sudah lupa jika air mata yang kuteteskan tadi siang bukan air mata yang seperti ini. Bahkan rasanya, aku seakan lupa jika aku punya kabar bahagia yang seharusnya kusampaikan pada bapak tadi. Sampai di jalan dekat rumah. Pohon nangka yang rindang sudah terlihat dari tempatku. Sama seperti tadi, seorang pria masih berdiri dengan menggunakan jaket dan kepalanya tertutup. Aku tak dapat melihat wajahnya karena ia menunduk. Diakah anak muda yang ditolong bapak? Diakah yang bernama Rasya? Aku pun sampai di depan pagar rumah yang terbuat dari bambu. Kubungkukkan sedikit badan untuk membuka pagar yang tingginya hanya selututku ini. Tak ada niat bagiku untuk bertanya padanya. Entah kenapa? Apa karena aku sudah tahu namanya jadi aku tidak penasaran? Atau mungkin karena aku tahu fakta jika dialah yang membuat bapakku seperti ini? Entah! Yang jelas aku sama sekali menganggapnya tak terlihat. Tapi yang tak aku sangka. Aku pun mendengar bariton yang begitu asing di telinga. Lalu ada sebuah tangan yang ikut meraih pagar bambu pendek yang juga sedang aku pegang. Tepat di dekat telingaku, dia berbicara. “Kamu ..., Shanum?”

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.4K
bc

My Secret Little Wife

read
115.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
203.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.8K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook