“Maksudku, kalau kamu tidur di kamarku. Aku mau tidur di kamar bapak!” jawab Shanum dengan segera.
Tapi ucapan itu membuat aku kesal, seakan-akan dia mengira aku ingin tidur bersamanya.
“Hmm, ya memang begitu seharusnya! Kau kira aku mau tidur denganmu,” ujarku dengan ketus.
Shanum tak menjawab ucapanku, dia hanya sekedar memberikan selimut kumal berwarna biru ini dan pergi ke kamar depan, yang dia tunjuk sebagai kamar bapaknya.
Karena Mas Aksa sudah pergi, kini aku tinggal sendiri. Rasanya sungguh aneh!
Menikah!
Suami!
Istri!
Benar-benar aneh! Tiba-tiba saja aku menjadi seorang suami dari perempuan itu.
Aku tak ingin kembali ke rumah lagi, tapi aku juga tak bisa berada di sini. Kenapa Tuhan membiarkan aku hidup dan membuat bapak Si Shanum itu yang mati?
Padahal aku tak bisa menjaga anak itu!
“Arrrrgh!” Mengacak rambutku rasanya tak bisa membuat masalahku serta merta usai.
Aku hanya menjadi semakin kesal jika memikirkan kenyataan.
Berjalan lirih di atas lantai kayu yang agak berderit. Langkahku mengendap-endap menuju ke kamar Shanum. Berada di ruang tamu cukup dingin, hingga membuat bulu kudukku naik.
Kubuka tirai penutup kamar berwarna hijau tersebut, lalu aku masuk ke kamar perempuan itu. Sebelum aku menuju kasur, kupastikan tirai ini rapat agar aku bisa tidur nyenyak. Ya, di kamar milik Shanum ini, tidak ada pintu yang menutupi ruangan. Hanya selembar tirai yang menjadi penghalangnya.
Kamar milik Shanum sangat sederhana, tapi rapi. Entah kenapa, berada kamar ini aku merasa hangat.
Kasur yang digunakan hanya sebuah kasur biasa dan diletakkan di atas ranjang besi kecil. Tempat ini hanya muat untuk satu orang. Kasur ini menggunakan seprai berwarna putih, lalu ada dua buah bantal yang juga berwarna putih. Dindingnya setengah dari tembok bata dan setengahnya lagi dari bilik bambu.
Buku-buku tertata rapi di bagian meja sebelah kasur. Ada juga bingkai foto dan juga beberapa piagam. Dari yang aku dengar, Shanum ini cukup berprestasi di sekolahnya.
Ah, tapi ... seberapa pintarnya si Shanum ini, tak akan bisa mengalahkan Arsya.
Aku jadi ingat pada Arsya, apa dia kini sedang menangis meraung-raung karena aku pergi?
Satu-satunya alasan aku bisa bertahan selama ini adalah saudara kembarku sendiri, Arsya. Setiap aku merasa lelah dengan tuntutan mama apalagi dengan penolakan nenek, hanya Arsya yang mengerti perasaanku. Tapi entah kenapa, kemarin-kemarin aku merasa benar-benar lelah, sehingga aku memutuskan untuk pergi dan ingin mengakhiri hidup.
Namun ternyata, takdir yang kualami malah berkata lain.
**
“Assholaatu khairum minannauum!” seru dari masjid sebelah terdengar memekakkan telinga.
Aku tidak terbiasa tinggal di dekat masjid sehingga suara azan seakan membuatku tersiksa.
Langkah kaki di depan kamar ini terdengar jelas. Maklum saja, lantai kayu akan lebih menggema bila ada orang yang sedang berjalan. Tapi hal ini, membuat tidurku semakin terganggu.
Akan tetapi, beberapa menit kemudian ....
Suara langkah kaki itu tak terdengar lagi, bahkan masjid sudah tidak berisik lagi. Mataku yang berat ini semakin menutup dan aku memutuskan untuk terlelap kembali.
**
“Rasya ...!” Suara lembut memanggilku dan aku merasa ada yang menyentuh bagian kakiku.
Perlahan aku membuka mata.
“Ini sudah siang, bukankah kau berkata akan kembali ke rumahmu hari ini?”
Pertanyaan itu langsung menyadarkanku dan membuat aku membuka mata seketika.
“Kau benar!”
Aku pun terbangun dengan selimut yang terbuka dan melihat ternyata Shanum yang sedang menyentuh kakiku.
“Emm, maaf! Aku hanya mencoba membangunkanmu!” Dia segera menjauhkan tangannya dariku. Tapi matanya melihat ke arah celana pendek yang sedang aku kenakan.
Aku hanya bisa tersenyum miring. Sudah jelas jika dia ingin melihat kakiku, dasar perempuan selalu munafik!
“Kenapa pikiranmu begitu kotor?” tanyaku begitu saja.
Shanum langsung membuang muka. “Apa maksudmu?”
“Kau tadi melihat ke mana?”
Tanpa menjawab, dia langsung pergi meninggalkan kamar dengan suara langkah kaki yang bergema.
Menuju ke arah kamar mandi.
Air hangat di dalam bak berwarna hitam sudah tersedia. Apa Shanum sengaja mendidihkan air ini untukku?
Ah, persetan dengan perhatian yang dia berikan. Setelah ini, kita tidak akan bertemu lagi. Aku sudah memberinya uang sebagai kompensasi, seharusnya aku dan dia tak perlu merasa terikat lagi.
Usai mandi, aku melihat ada teh hangat di ruang tamu. Selain itu, juga ada nasi, tempe, telur dan berbagai makanan sederhana lainnya.
Beberapa hari yang lalu, saat aku menginap di sini bersama Mas Aksa, dia tak pernah memberiku makan. Kenapa dia mendadak begini? Apa dia berpikir sedang menjamuku? Atau bahkan ... melayaniku?
“Aku sudah menyiapkan sarapan dan juga teh hangat! Maaf, hanya ada seperti ini di kampungku!” ujar Shanum yang tiba-tiba muncul dari kamar bapaknya.
“Kau tidak perlu melakukan ini, aku sama sekali tidak berharap kau bersikap baik padaku! Jadi ... jangan salah paham. Kau tak perlu bersungguh-sungguh berperan sebagai seorang istri!” tegasku.
Shanum hanya menunduk terdiam. Dia mengangguk lalu pergi lagi ke belakang.
Apa aku terlalu kasar padanya?
Apa aku telah menyakiti hatinya?
Haaah, kenapa aku jadi merasa bersalah?
Kuminum sedikit teh buatannya dan juga aku sarapan dengan makanan yang sudah ia sediakan. Setidaknya, aku hanya ingin menghargai dia.
“Biar aku yang membereskan piring-piringnya!” tutur Shanum saat aku usai sarapan.
Aku menjadi semakin aneh padanya.
“Aku bisa mengurus diriku sendiri!” tegasku sambil membawa piring bekas aku makan. Aku berjalan sambil melewati Shanum yang berdiri mematung.
Tak ingin dia salah paham, sebaiknya dia tak perlu mengurusku seperti peran seorang istri yang sesungguhnya. Maka dari itu, aku akan membawa sendiri peralatan makan yang telah aku gunakan.
Setelah aku kembali ke ruang tamu, Shanum masih berdiri di tempatnya.
“Ada yang mau kaubicarakan sebelum aku pergi?” tanyaku.
“Rasya ... aku ... merasa bersalah,” tuturnya padaku sambil menyembunyikan pandangannya.
“Maksudmu?”
Dia pun duduk di kursi yang ada di hadapanku. Pandangannya masih ke bawah, ia tak mau menatapku.
“Aku merasa telah menipu bapakku.” Dia benar-benar terisak.
Kali ini aku tak mengerti dengan apa yang ia ucapkan.
“Semalam aku sungguh bahagia mendengar kau akan kembali dan kita tak perlu berinteraksi lagi. Tapi ... aku kemudian merasa bersalah. Aku berjanji pada bapakku untuk menjadi istri yang baik padamu, tapi ... aku malah ....”
“Apa maksudmu? Aku tak mengerti?”
Apa dia sedang mencoba berbasa-basi padaku.
“Aku hanya ingin memenuhi janji kepada bapakku.” Shanum mengeluarkan amplop berisi uang yang kemarin aku berikan untuknya agar disimpan.
“Kenapa dengan uang ini?” tanyaku padanya.
“Aku anggap, uang ini adalah nafkah lahir darimu. Aku membelanjakan sebagian isinya untuk sarapan kita pagi ini. Terima kasih dan aku akan menyimpannya. Lalu ....” Dia merogoh pada saku rok miliknya.
Aku mengernyit saat melihat wajah perempuan ini yang mendadak memerah padam. Dia mengeluarkan tangan dari sakunya dengan menggenggam sebuah kotak berwarna merah.
“Sebelum kau pergi, jadikan aku istrimu sepenuhnya dengan memberiku nafkah batin, walau hanya sekali saja. Setelah itu, kau bebas pergi semaumu!”
Aku mengambil kotak yang digenggam oleh Shanum.
Perempuan itu memalingkan wajahnya saat aku mencoba menatapnya sambil membawa kotak kecil tersebut. “Ini ... alat pengaman?”
Dan dia mengangguk sambil memejamkan mata.