Anak Kesepian

1813 Kata
Abdan mendengus kesal, tidak pernah dalam hidupnya Abdan sebegitu membenci sekolah—sebelumnya Abdan memang tidak terlalu suka tempat yang memberi banyak ilmu itu, tapi kali ini Abdan dua kali lipat tidak menyukai sekolah semenjak Miftah hadir. Sialnya, otak yang ada di kepalanya malah terus memutar mengenai sosok yang membuat cowok yang kini menggunakan hoodie berwarna hitam— kini nampak selaras dengan warna suram pada wajah tampan cowok berambut sedikit ikal. “Ck! “ cowok itu berdecak keras, kembali teringat semua momen kekalahannya hanya dalam dua hari saja! Bertepatan dengan itu laju mobil Abdan berhenti karena sudah sampai di depan pagar rumahnya. Tidak lama, pria paru baya yang mengenakan seragam bertulis ‘satpam’ membuka gerbang tinggi yang menjulang dengan warna yang di dominan warna orange dan keemasan yang akan berkilau saat di terpa sinar matahari. “Siang, Den ...,” sapanya ramah dengan senyum mengembang yang terlihat sangat tulus tidak peduli meski dibalas tatapan datar dan ekspresi dingin dari Abdan. “Itu mobil siapa?” gumam Abdan begitu menyadari ada mobil lain di teras rumahnya. Abdan memicingkan mata sesaat, kemudian senyum tiba-tiba mengembang lebar dari wajahnya yang semula suram, begitu mengenali siapa pemilik mobil berwarna hitam itu. “Itu mobil Nyonya dan Tuan, Den,” sahut pak Burhan—membenarkan analisis kilat Andan. “Papa, mama, pulang?” tanya Abdan lagi. “Iya, Den.” “Kapan? “ “Baru aja, mungkin seperempat jam yang lalu.” “Ck! “ Abdan berdecak pelan, cowok beralis tebal itu menyesal kenapa tidak pulang sendari tadi. Seperempat jam jadi terbuang sia-sia, padahal satu detik pun sangat berarti bagi Abdan kalo sudah menyangkut kedua orang tuanya. “Pak, tolong masukin mobil saya ya, di bagasi.” Abdan buru-buru turun dari mobil dan memberi kunci mobilnya pada pria paru baya itu. Abdan tidak ada waktu untuk memasukan mobilnya ke garasi. Abdan tidak ingin kembali menyia-nyiakan waktunya barang sedetik pun. “Oh iya, Pak, ini buat bapak.” Abdan tiba-tiba menyodorkan selembar uang pecahan seratus ribu pada pak Burhan. Pria paru baya yang sudah berkerja di rumahnya hampir sepuluh tahun lamanya, tentu saja langsung menolak dengan sopan. “Gak perlu Den, lagian, ini memang sudah jadi tugas bapak,” katanya tulus. Ah... sebenarnya Abdan tidak pandai berbasa-basi semacam ini. Tapi Abdan mengerti mungkin pria paru baya itu tidak nyaman atas pemberiannya yang terkesan seperti iba. “Saya mohon ambil, pak.” Abdan menurunkan satu oktaf suaranya. “Saya akan merasa lebih tenang kalo bapak terima uang ini. Saya tahu, uang ini emang gak bisa bayar semua sifat nyebelin saya selama ini, tapi saya harap bisa sedikit menghibur hati bapak.” Pria paruh baya itu kembali mengulas senyum tulus. “Den, gak perlu cemas. Bapak senang kok kerja di sini.” “Ya, saya tahu pak, tapi saya mohon .... simpan ini buat bapak.” Abdan tiba-tiba kembali membuka pintu mobilnya, mengambil sesuatu pada laci mobilnya. “Dan ini buat bapak juga. Bapak suka kopi ini, kan?” Abdan memberikan sekotak kopi schacet yang entah kenapa membuat mata pria paruh baya itu sedikit berkaca-kaca. Burhan tidak mengira, Abdan yang terlihat cuek ternyata selama ini mengetahui apa yang satpam sepertinya sukai. “Masyallah, ini kopi kesukaan bapak. Terima kasih banyak, Den.” Pria paruh baya itu akhirnya menerima pemberian Abdan sebelum melajukan mobil menuju garasi. Seperginya pak Burhan, Abdan bergegas langsung masuk ke dalam rumah. Maniak mata tajam Abdan langsung menyapu seluruh ruangan tamu, tapi belum ia temui sosok yang sangat ia rindukan. Namun telinganya dengan cepat mendengar suara dari arah dapur. Orang tuanya pasti ada di sana. “Mama, papa ....” pekik Abdan tidak sabar. Abdan mengira mama dan papanya kini tengah duduk di meja makan menanti kehadirannya. Namun ternyata tidak seperti itu. “Eh, Den Abdan ...” “Bi? Mana mama sama papa? “ mata Abdan langsung menyapu ke segala arah. “Oh, nyonya dan tuan barusan aja masuk kamar,” sahut bi Siti—asisten rumah tangan yang juga menjadi baby sister-nya dulu. Tidak heran dari banyaknya pembantu ya ada, Bi Siti memiliki posisi lebih dekat dengan Abdan. Abdan juga sangat menghormati dan menyayangi wanita yang kini menginjak usia lima puluh tahun. “Mereka udah makan siang?” tanya Abdan, saat matanya tidak sengaja melihat dua tumpukan piring kotor di wastafel. “Iya, Den.” “Tanpa aku?” gumam Abdan pelan. “Tadi nyonya dan tuan capek banget, makanya cepat-cepat makan siang, biar bisa istirahat.” “Berarti mama dan papa sekarang lagi istirahat ? Di kamar? “ “Iya, Den. Mungkin tidur,” ujar bu Situ. “Bibi kasihan liat nyonya dan tuan keliatan capek banget.” “Kalo aku ke sana masalah gak, Bi ?” Abdan menarik kembali langkahnya setelah mendengar penuturan bi Siti. “Hem, bibi juga gak tahu, Den. Cuma pasti ganggu tidur nyonya dan tuan.” “Iya, juga ya, Bi.” Abdan tertegun sesaat. “Kalo gitu nanti saja deh, aku ke sana setelah mereka bangun.” “Sebaiknya, Den Abdan makan siang aja dulu,” saran Bi Siti. “Nanti aja deh, Bi. Aku belum salat dzuhur, mau salat dulu.” “Apa mau bibi antar makanan Den ke kamar kayak biasanya? “ “Eh, jangan, Bi.” Abdan refleks menggeleng dramatis. “Bibi lupa ya, mama kan gak suka kalo anaknya ini manja sampai segala makanan di bawa ke kamar,” ujar Abdan dengan suara setengah berbisik, padahal tanpa melakukan hal itu pun, tentu saja suaranya tidak akan sampai ke telinga mamanya, secara rumah yang di d******i warna putih dan gold ini memiliki ukuran yang sangat luas. “Oh iya, Bibi lupa Den.” “Nanti aja Bi, kalo aku lapar entar aku ambil sendiri.” “Oke, Den. Nanti Den panggil bibi aja, kalo mau makan, biar bibi siapin lagi.” “Hem, gak usah Bi. Buat sekarang bibi liatin mami dan papi aja, kalo mereka bangun, langsung kasih tahu aku ya, Bi.” “Oke, Den.” “Kalo gitu aku ke kamar dulu ya, Bi.” Abdan segera melangkah ke kamarnya, namun di tengah-tengah perjalanan Abdan tergoda untuk singgah sesaat di kamar kedua orang tuanya. Abdan yang diam-diam memiliki kunci cadangan kamar itu, pelan-pelan membuka kamar milik orang tuanya. Saat masuk Abdan melihat mama dan papanya sedang tidur dengan lelap di kasur, nampak rautan lelah mengisi wajah rupawan mereka yang menurun ke Abdan. Abdan tersenyum samar, dia sangat merindukan kedua sosok yang sangat penting dalam hidupnya. Dia selalu rindu akan kasih sayang yang mereka berikan, meski semua itu kini terasa seperti angan-angan belaka. Waktu tetap 24 jam, tapi tidak ada waktu untuk luang sesaat. Tidak ada keluarga cemara yang sehangat dulu, yang duduk di meja makan dan membicarakan banyak hal, yang terdengar sepele, tapi sangat Abdan rindukan kini. Abdan tidak marah pada kedua orang tuanya, yang kini sibuk mencari uang demi kesejahteraannya. Abdan bisa mendapat semua kemewahan ini, semua kenyamanan ini, berkat usaha mereka. Bagaimana Abdan bisa membenci mereka? Abdan mengerti memiliki perusahaan tidaklah semudah yang tertera dalam n****+-n****+. Karena itu Abdan tidak pernah protes apa pun yang terjadi, Abdan menerimanya dengan diam. Dan itulah salah satu letak kesalahan Abdan, Abdan diam namun menyimpannya sebagai luka bukan memaafkan untuk semua yang terjadi. Itulah yang terkadang membuat Abdan seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Abdan terlalu banyak menyimpan luka dan setiap luka akan ada masanya membusuk. Sekarang atau di masa yang akan datang. “Abdan rindu mama dan papa,” gumam cowok beralis tebal itu sebelum berbalik dan pergi dari kamar orang tuanya. Sesampainya di Kamar, Abdan langsung melaksanakan salat dzuhur seperti niatnya semula. Lalu setelahnya Abdan menghempas tubuhnya di kasur. Hari ini Abdan merasa rumah lebih cerah dari biasanya. Kehadiran orang tuanya tentu saja faktor utama semua ini terjadi. Sejak tadi jantungnya berdebar sangat kencang. Bayangan duduk bersama orang tuanya sembari tertawa membicarakan hal-hal sepele terus memenuhi benak Abdan. Abdan sangat bersemangat menanti hal itu terjadi. Abdan hanya perlu sedikit bersabar sekarang. “Den, sudah makan? “ tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. “Bibi ... Mama sama papa udah bangun, kah? “ “Belum Den. Aden gak mau makan dulu? “ “Iya, Bi, belum lapar.” “Tumben Den. Den udah makan di luar ya ?” “Belum sih, Bi. Cuma ya, aku malas makan sekarang, nanti kalo udah kenyang rawan ngantuk. Aku gak mau lewatin satu detik pun buat kumpul sama mama dan papa.” “Loh, tapi Den, den kan punya sakit maag. Aden gak boleh telat makan.” Abdan tiba-tiba mendengus kesal. Sakit maag membuatnya seolah cowok lemah yang penyakitan, padahal itu cuma sakit maag, sakit yang mungkin hampir dimiliki semua orang yang jadwal makannya sangat buruk macam Abdan. “Eh, maaf, Den, bibi gak maksud ngatur Aden. Bibi Cuma gak mau Aden sakit.” Wanita berusia sekitar empat puluh tahun itu refleks menunduk dalam. “I know, Bi ...” Abdan spontan memutar bola matanya. Bi Siti memang pandai sekali mempermainkan emosi seorang Abdan. Bi Siti tahu betul kalo sudah mengeluarkan jurus ini, mana mungkin Abdan bisa menolak. Abdan tidak tega melihat sorot sedih dari wanita yang sudah bertahun-tahun merawatnya seperti layaknya anak sendiri. “Lagian, kalo den Abdan sakit, malah banyak waktu yang terbuang toh? “ Eh—iya juga ya. “Makanya Aden makan sekarang ya, “ bujuk bi Siti lagi. Kali ini Abdan mengangguk setuju. Sebenarnya sejak tadi perut Abdan memang berdemo minta di isi. “Bi, emang hari ini masak apa? “ “Sayur kangkung dan ikan sarden sambel kesukaan den Abdan.” “Wihh, enak banget tuh, Bi.” Abdan tersenyum sumringah begitu tahu apa menu makanan yang makin membuat perutnya bersuara nyaring. “Eh, tapi kangkung, kan bisa buat ngantuk, Bi ...” “Kata siapa Den? “ “Ya, kalo gak salah yang aku denger sih gitu.” “Berarti belum fakta, kan? “ “Hem, gak tahu juga sih Bi. Tapi buat antisipasi, aku gak akan makan kangkung.” Tekad Abdan yang ternyata hanya sebatas mulut saja. Setelah melihat menu sayur favoritnya itu, Abdan tidak bisa menahan diri untuk mencobanya, awalnya sedikit, lama-lama hampir satu mangkuk. Bi Siti diam-diam tertawa akan kelakuan tuan mudanya itu. “Alhamdulillah, kenyang,” gumam Abdan setelah selesai dengan satu piring makanannya. “Eh, tapi kok ngantuk ya? “ Abdan refleks menguap kecil. “Bi, azan ashar masih berapa lama? “ “Masih setengah jam lagi, Den.” “Hem, ternyata masih lama. Mama dan papa pasti bangun menjelang salat ashar. Jadi masih ada sedikit waktu buat tidur.,” gumam Abdan. Cowok bermata tajam yang sekarang sayup, beranjak dari kursi makan menuju sofa ruang tamu. “Mama, papa, pasti bangun pas ashar. Nanti bangunin ya, kalo azan ashar. Aku mau tidur dulu.” “Eh, Den, kenapa tidur di sofa ?” “Biar bibi mudah bangunin pas mama papa bangun,” sahut Abdan sembari mulai merebahkan tubuhnya di sofa. “Oh gitu ....” “Hwa ... Aku tidur dulu ya Bi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN