Strick Parents

2000 Kata
** “Masyallah, udah ganteng, sholeh lagi.” “Iya, masyallah, beruntung banget yang jadi istrinya.” Inilah alasan kenapa David sedikit berat setiap kali abinya meminta tolong untuk membantu mengajar ngaji di musholah dekat rumah mereka. David tidak terlalu suka akan pujian yang mereka lontarkan yang menurut David sedikit berlebihan. “Suaranya itu loh, adem banget pas ngaji.” “Masyallah banget.” David berusaha untuk tetap tenang saat melewati beberapa ibu-ibu yang menatapnya dengan tatapan kagum berlebihan, meski merasa tidak nyaman, David berusaha untuk tidak membuat ibu-ibu yang notabennya berusia lebih tua darinya merasa tersinggung. Sesekali David membalas sapaan ramah mereka dan juga mengulas senyum ramah di wajahnya, meski itu begitu banyak menyita tenaga seorang David. “Nak David, Kapan-kapan mampir yuk ke rumah ibu.” “Nak David udah punya calon belum? Kalo belum mau gak jadi calon mantu ibu? “ David hanya mampu membalas semua perkataan itu dengan senyum canggung, bingung harus menjawab seperti apa. Sebagai anak pemilik pondok di daerah sini, David memang masyhur terdengar sebagai anak yang baik dan alim, meski mereka tidak kenal siapa David sebenarnya—ya, David memang bukan anak yang ‘nakal-nakal' banget, tapi dia juga bukan anak yang sangat baik sebagaimana ekspentasi mereka yang mengatakan itu hanya karena sering melihat David mengaji dan salat di masjid—hal yang ‘normal' dilakukan seorang muslim. David melakukan semua itu karena dia muslim dan ingin menjadi hamba yang baik. “Assalamualaikum, umi ... “ Begitu sampai di rumah, David langsung di sambut senyum hangat perempuan paru baya yang dia panggil umi. Wanita berjilbab panjang dengan tubuh semampai itu nampak sibuk mempersiapkan makanan di meja makan. “Waalaikumsalam ... “ sahut Aisyh sesaat sebelum kembali tersibukan oleh ikan yang sedang ia goreng. “Nak, kamu udah makan?” “Belum umi, tapi David belum lapar. David mau langsung ke kamar aja. Mau istirahat, tiba-tiba kayak gak enak badan gitu,” “Mau umi buatin wedang jahe? “ “Hem, gak usah umi. David mau istirahat aja,” sahut David sembari berjalan menuju kamarnya. Saat David hendak membaringkan tubuhnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Vidi, seketika David baru ingat kalo mereka memiliki janji untuk nongkrong di kafe. “Parah sih kalian! Gue udah di lokasi nih!” sembur Vidi begitu panggilan telepon tersambung. David bisa membayangkan bagaimana ekspresi keki dari sahabatnya itu. “Sorry banget, tapi sekarang gue lagi gak enak badan,” jujur David. “Lah terus gue gimana? Masa gue di sini sendirian sih?” “Emang Abdan ke mana ? Tumben dia gak jadi nongkrong.” “Lo gak liat di grup? Bokap sama nyongkapnya ada di rumah. Katanya dia mau quality time gitu.” “Oh ...” David mengangguk samar. “Oh doang, buruan Lo datang ke sini!” “Gue gak bisa. Gue mau istirahat. Sorry banget,” tolak David. “Lo balik aja ke rumah.” “Hem ...” Terdengar dengusan pelan dari seberang sana. Vidi sepertinya sangat kesal sekarang, tapi dia juga tidak berdaya untuk memaksa David yang sudah sangat jelas sedang tidak enak badan. “Ya udah kalo gitu, gue mau pulang sekarang. Semoga Lo cepat sembuh ya ...” “Aamiin. Thank.’ Setelah panggilan telepon dimatikan, David langsung menyimpan ponselnya dan membaringkan tubuhnya di kasur. David berharap setelah tidur siang, tubuhnya yang semula terasa tidak enak menjadi lebih baikkan sehingga David bisa mengerjakan tugas sekolahnya setelahnya. Namun semua rencana David tidak berjalan sebagaimana mestinya, baru saja David terlelap, tiba-tiba namanya menggema di rumah. “ David!! “ teriakan yang tidak lain berasal dari suara sepupunya—Troy. Sepupunya yang berusia dua tahun lebih tua dari David. Troy merupakan sepupu dari garis keturunan ibunya—yang tentunya juga memiliki darah campuran Eropa dan beragama non Islam. David sebenarnya tidak terlalu suka dengan kakak sepupunya ini—bukan karena banyaknya perbedaan yang mereka miliki mulai dari bedanya budaya, nilai-nilai yang dianut hingga agama, melainkan sikap dan karakter Troy yang terkadang suka memanipulasi dan ingin menang sendiri, apa pun yang terjadi, dia akan selalu benar, sekali pun sudah jelas dia salah, Troy akan mencari seribu macam alasan agar dia tetap menjadi benar. “David, ayo bangun...” katanya yang sekarang sudah berada di dalam kamarnya, tanpa niat meminta izin terlebih dahulu. “David bangun!” seru Troy sembari menggoyang-goyangkan tubuh David. David makin mempererat pejaman matanya, enggan meladeni kakak sepupunya yang setiap seminggu sekali datang berkunjung. “Lo kok malah tidur sih, padahal udah tahu gue mau ke sini!” kesalnya karena David masih kekeh mempertahankan sandiwaranya berpura-pura tidur. “Ma, si David malah tidur!” lapor Troy pada perempuan paru baya yang biasa David panggil dengan sebutan bulek Melani—meski perempuan paru baya yang merupakan ibu dari Troy, sangat enggan saat mendapat julukan bulek. Berbeda dengan Aisyh—ibu David yang lebih mencintai budaya Asia dan lebih suka dikenal sebagai wanita Sunda ketimbang Eropa. Melani malah sebaliknya, dari mulai cara bicara, cara berpakaian yang lebih condong ala-ala Eropa terlebih lagi setelah dia menikah dengan suaminya—Gio yang merupakan orang Eropa tulen, ayah dari Troy. “Loh ... Aisyh .... “ pekik Melani dari dalam kamar pada Aisyh yang dari suaranya terdengar masih sibuk di dapur—tentunya karena ingin menjamu dua anak-beranak ini. “Kok David tidur sih?” protesnya satu suara dengan anaknya yang berambut pirang. Samar-samar David mendengar jawaban ibunya yang meminta kakaknya itu untuk memaklumi David yang sepertinya kelelahan. David diam-diam tersenyum simpul. Dia bisa bebas dari gangguan anoying kakak sepupunya itu. Setelah aksi protes itu, dua menit selanjutnya terdengar suara langkah keluar dari kamar, akhirnya mereka pergi juga. David lantas dengan hati-hati membuka matanya. “Akhirnya pergi juga,” gumam David pelan. Sebenarnya David tahu kalo hal ini bukan sesuatu yang dibenarkan, secara mereka itu tamu, seharusnya David menyambut dan melayani mereka dengan baik sebagaimana yang sering abinya ajarkan. Biar pun kita tidak satu akidah dan agama, tapi mereka tetap saudara kita. Kita harus selalu baik dengan mereka—begitulah yang sering abinya katakan setiap kali David mengeluh akan sikap nyebelin kakak sepupunya itu. Namun kali ini David memilih hal ini— selain karena dia memang tidak enak badan dan juga lelah. Satu hal yang David hindari dari bertemu sepupunya itu—Troy akhir-akhir ini sering kali mengajak berdebat mengenai agama dengan dalil diskusi agama. Awalnya David tidak masalah, toh siapa tahu ini bisa menjadi pintu hidayah untuk sepupunya itu, tapi setelah beberapa kali terjadi diskusi, David mulai menyadari kalo Troy tidak berusaha untuk berdiskusi tentang agama, tapi berusaha untuk terus menyerang dan menghina agamanya. Jelas David tidak suka itu, meski dia bukan orang yang alim dalam agamanya, tapi David tidak bisa terima jika agamanya dihina. Dan inilah salah satu cara aman yang David pikir bisa menghindari dari pertengkaran hebat yang mungkin saja bisa terjadi akibat mulut ringan sepupunya itu. “Ngantuk tapi gak bisa tidur,” gumam David. Rupanya setelah terbangun, sulit bagi David untuk kembali menyambung tidurnya. Cowok berahang tegas itu, sudah bolak-balik mengubah posisi tidurnya, tapi tidak kunjung tidur juga. Di tambah lagi suara dari bulek Melani yang tetap terdengar meski David sudah diam-diam menutup dan mengunci pintu kamarnya, agar kakak sepupunya itu tidak masuk seenak jidatnya saja. “Anak jaman sekarang emang gitu ya. Tidur terus ... Kalo gak tidur ya main hp. Beda banget sama anakku, dia rajin banget, kemarin Troy terpilih jadi ketua pawai entar akhir semester.” “This right aunty, i terpilih jadi ketua. Karena i tekun dan pekerja keras,” sambung Troy dengan logat yang di campur aduk. “Gak kayak David yang sukanya tidur terus ...” tambah Troy yang langsung di sambut tawa sumbang dari bulek Melani, seolah perkataan anaknya barusan adalah sebuah lelucon yang lucu. Padahal David tahu betul tawa sumbang yang buleknya itu lakukan sebagai upaya untuk membalut hinaan anaknya agar terkesan ‘normal ‘ dan hal semacam ini wajar terjadi di percakapan keluarga. “Gimana gue mau tidur coba? “ David memandangi nanar pintu kamarnya yang tertutup rapat, seolah sedang menyalahkan pintu kayu berwarna cokelat atas ketidak mampunya meredam suara ceriwis bulek dan anaknya itu. Gue butuh tidur! Kepala David yang semula tidak terlalu pusing, mendadak jadi tambah pusing. Untuk meredam rasa pusing itu, David terpaksa bangkit dari kasur dan mengoleskan balsam di sekitar kepalanya, berharap setelah ini kepalanya tidak lagi pusing dan dia bisa tidur, tapi lagi-lagi rencananya di gagalkan oleh Troy. Entah bagaimana Troy tahu kalo David sudah bangun, dengan heboh Troy mengetuk pintu kamarnya David. Sesekali Troy juga berteriak meminta David untuk segera membuka pintu. “David! Gue tahu Lo gak tidur, buruan buka pintu! “ titahnya seenak jidat. David menggeram kesal. Sepertinya akan lebih baik jika dia tidak membuka pintu sekarang, pikir David. Namun yang terjadi malah, membuat darah David mendidih ... Troy mendobrak pintu kamarnya! “Tuh gara-gara kamu David ! I jadi terpaksa buat dobrak pintu! “ David yang sendari tadi sudah kesal, makin dibuat kesal dengan pernyataan terakhir sepupunya itu, tanpa pikir panjang, David bangkit, melayangkan bogem mentah pada pipi kakak sepupunya itu. Troy yang kaget, sontak saja terhuyung ke belakang tanpa ada perlawanan. “David! “ pekik Melani yang baru saja berdiri di ambang pintu kamarnya. “Kamu ini apa-apaan! Kenapa kamu pukul saudara kamu sendiri?! Beginikah yang abimu ajarkan?” David memilih bungkam, sebenarnya David juga menyesalin perbuatannya barusan. Karena marah, David tidak mampu berpikir jernih dan membuat biru pipi kakak sepupunya sendiri. “Ada apa kak? “ tidak lama Aisyh datang ke kamar dengan raut cemas. “Ini, Aisyh, anak kamu nonjok Troy.” “Astagfirullah, David ...”Aisyh menatap tajam putranya itu. “Maaf umi, ana tadi terbawa emosi karena Kak Troy ngerusak pintu kamar ana,” sahut David, menyesal. Kemarahan sudah membutakan matanya, tanpa sadar ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri dan terombang-ambing mengikuti nafsu semata. David menyesal, teringat olehnya perkataan abinya yang selalu mengatakan untuk tidak mudah terpancing kemarahan jika tidak ingin menyesal setelahnya. “Tetap saja apa pun alasan kamu, ini gak bener David!” ujar Aisyh, yang David terima dengan patuh tanpa intrupsi. “Aw, ma, pipi i sakit banget.” Troy meringgis seraya beringsut memperbaiki posisi berdirinya. Melani dengan cepat langsung membantu putranya itu. “I gak ngerti, kenapa David jadi kayak gini. Padahal i datang ke sini buat ketemu dia, tapi tiba-tiba dia malah pukul i cuma karena i bangunin dia tidur.” Cuma bangunin? Apa kabar dengan pintunya yang sekarang rusak? David menatap tajam sepupunya itu. Tidak ada raut menyesal sama sekali di sana. “Lagian pintu itu rusak juga karena David sendiri yang gak mau bukain pintu! “ tambah Troy, berusaha tidak terpengaruh oleh tatapan tajam seorang David. “Aisy, nasihati itu anak kamu. Percuma rajin salat dan ngaji kalo kelakuannya kayak gini.” Bagai petik di siang bolong, perkataan bulek Melani seketika menyayat ego David. “Percuma salat? Percuma ngaji? Memangnya salat dan ngaji hanya diperuntukkan untuk orang yang bersih dari khilaf dan dosa? Siapa bulek yang berhak mengatakan kalo semua ibadah yang ana lakukin percuma?! “ seru David tiba-tiba, tidak terima akan klam sepihak yang dilakukan buleknya itu. Bagaimana pun perkataan Melani barusan sedikit banyak mempengaruhi hati labil David. David jadi bertanya-tanya, apa karena masih memiliki dosa, dia tidak berhak salat dan mengaji? Ini benaran-benaran menyakiti hatinya. “David! “ sentak Aisyh. “Umi, apa dengan memiliki dosa, ana gak berhak melaksanakan semua kewajiban itu?” “Selama ini ana gak pernah mendeklarasikan diri sebagai orang yang alim. Mereka sendiri yang berekspetasi tinggi terhadap ana ... Umi tahukan ... ana, salat dan ngaji, karena ana tahu, ana banyak salah dan dosa. Dan ana tidak ingin menambah dosa, dengan meninggalkan semua itu. Apa itu percuma umi? “ Inilah yang kadang sering David takutkan. Semua orang berekspetasi terlalu tinggi padanya. Dan saat mereka melihat satu kesalahan David, yang mereka salahkan semua ibadahnya yang susah payah David kerjakan setelah melawan semua rasa malas dan futur yang kadang datang tiba-tiba. “Dan satu lagi yang perlu bulek tahu kalo gak karena salat dan ngaji, mungkin ana bisa lebih buruk dari pada ini.” . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN