“Dimana Abdan?”
“Flo, jangan sekarang.” Vidi dengan cepat langsung menghalangi Flo yang hendak masuk ke dalam kelas. “Mending Lo pergi dari sini deh, jangan ganggu Abdan dulu buat hari ini.”
Satu alis Flo terangkat. “Lo siapa sok ngatur-ngatur gue? “
Vidi menghela nafas panjang, sangat susah menghadapi nenek lampir abad moderen macam Flo ini, diberitahu malah marah. Menyebalkan sekali. Dari dulu Vidi selalu malas berurusan dengan Flo karena sudah tahu betul bagaimana tabiat anak tunggal kaya macam Flo, tapi hari ini Vidi tidak terpaksa berurusan dengan Flo demi Abdan yang benar-benar butuh ketenangan.
“Tahu nih. Lo gak ada berhak buat ngatur Flo,” sahut Flores tiba-tiba dari samping Flo. Satu lagi nenek lampir abad moderen. Vidi tidak tahu akan berapa lama dia harus menahan dua gadis bermulut pedas ini.
“Minggir Lo! “seru Flo.
Vidi tidak bergeming dari tempatnya.
“Eh, Lo gak b***k, kan? “ geram Flo. “Minggir gak Lo?! “
“Gak!”
“Vidi ...!” pekik Flo kesal.
“Apa?!”
“Minggir!”
“Flo, Lo ngerti bahasa manusia, kan? Emang susah banget gak bikin Abdan kesal sehari aja?”
“Eh, jaga ya mulut Lo!” sahut Flores, murka. “Lo gak berhak menghina sahabat gue?! Lagian Lo siapa sih? Cuma salah satu orang yang beruntung dijadiin teman oleh Abdan. Kalo bukan karena Abdan, Lo sama sekali gak akan masuk kategori cowok tampan! “
“This right ! Lo gak sama sekali tampan. Udah pendek, hitam lagi! “ tambah Flo tanpa memikirkan sedikit pun perasaan cowok berlesung pipit itu. Eh, si nenek lampir body shaming.
“Tanpa Abdan pun gue tetap tampan,” sahut Vidi berusaha santai, meski kini hatinya sedang bergejolak. Ada rasa sakit dan insecurt yang tiba-tiba memenuhi hati cowok berdarah Aceh itu. Vidi berusaha untuk tidak terpengaruh, tapi apalah daya, Vidi yang belum bisa berdamai dan mensyukuri apa yang Allah berikan. Vidi selalu merasa kurang ... kurang dan kurang. Topik semacam ini sangat sensitif bagi Vidi, jika bisa memilih, Vidi lebih baik terjebak tawuran menegangkan ketimbang bullying semacam ini.
Tiba-tiba sontak keduanya tertawa besar—sejenis tawa yang dibuat-buat, guna merendahkan objek yang hendak mereka jatuhi mentalnya. Tawa yang lebih seram dari musik horor.
“Lo tampan?! “
“Gue rasa dia gak punya kaca di rumah. Maybe, entar kalo gue ke paris, gue beliin deh kaca buat Lo. Biar Lo nyadar.”
“Tahu nih, buriik kok ngerasa ganteng. Dari mana coba gantengnya? Halu,” cibir Flores makin menjadi.
Rahang Vidi mengeras, untuk sesaat Vidi hampir lupa kalo Flores dan Flo merupakan wanita. Satu pukulan hampir melayang ke arah Flores, namun terhenti begitu David segera menyadarkan sahabatnya itu.
“Kalian lagi, kalian lagi, mending kalian pergi dari sini. Jangan sampai gunung meletus dan merusak wajah cantik kalian,” desis David tajam.
Flores dan Flo saling melempar tatap, sejujurnya mereka berdua tidak berani menghadapi David yang terkenal sedingin es. Perkataan David barusan juga seketika berhasil membuat bulu roma mereka merinding, mereka jadi takut untuk tetap bertahan di sana. Dan akhirnya memilih mencari aman dan pergi.
“Lo, It’s okey? “ tanya David.
Vidi mengangguk samar. Rasa marahnya perlahan memang sedikit menurun, seiring perginya dua gadis itu, tapi tidak dengan perasaan insecurt-nya yang tetap ada di benak cowok bermata terang itu.
“Mending sekarang kita temui Abdan. Akan lebih baik kalo kita ke room aja. Di sini rawan gangguan Flo.”
Vidi mengangguk setuju. Keduanya kemudian berjalan menuju kelas.
“Eh, cewek buriik ...”
“Cewek buriik ...”
Vidi refleks menoleh, kata buriik yang Flo lontarkan untuk dirinya seketika kembali teringat. Apa iya gue buriik? batin Vidi.
“Woi! Buriikk! “ teriak seorang siswi yang Vidi kenali salah satu siswi dari sebelas IPA satu.
“Eh, buriik ! “ pekik gadis itu lagi karena orang yang dia panggil tidak berniat untuk menoleh sedikit pun. Tentu saja orang yang gadis itu panggil buriik adalah Miftah yang tengah berdiri tidak jauh dari gadis itu, mungkin hanya dua langkah darinya. Jadi mustahil Miftah tidak mendengar teriakan gadis itu, yang bahkan bisa sampai ke telinga Vidi yang notabennya berada dua puluh langkah dari posisi mereka.
“Ck!” dengus gadis itu yang akhirnya terpaksa mengikis jarak antara dirinya dan Miftah.
“Lo manggil gue?” tanya Miftah setelah gadis itu berdiri di sebelahnya.
“Dari tadi gue manggil Lo! “ kesal gadis itu. “Lo sengaja kan gak noleh pas gue panggil, ha?! Dasar buriik !” cerca gadis itu lagi.
Vidi yang semula juga mendapatkan hinaan semacam itu, entah kenapa tiba-tiba merasa iba pada Miftah. Namun berbeda dari dirinya yang seketika marah, Miftah malah tersenyum sembari merogoh sesuatu di saku roknya. Rupanya Miftah menawarkan cokelat pada gadis yang sudah menghinanya.
“Gak perlu cemas. Cokelatnya aman kok. Gue beli di kantin, jadi gak mungkin gue racuni,” kata Miftah menyadari betul tatapan menelisik gadis yang belum Miftah ingat betul siapa namanya.
“Kata orang, cokelat bisa membantu memperbaiki mood. Lo tadi kesal sama gue karena gak noleh-noleh., kan? Makanya ini sebagai permintaan maaf gue.”
Minta maaf ? Vidi bergumam tidak habis pikir. Sejak tadi yang cowok berlesung pipit itu dengar hanyalah hinaan dari gadis itu untuk Miftah, tapi kenapa Miftah malah meminta maaf ?
“Btw, nama gue Miftah Cantika. Lo bebas panggil gue Miftah atau Cantik.”
“Cantik?! “ Gadis itu sontak terpingkal, menertawakan Miftah. “Gak cocok buat Lo. Orang bisa dikatakan cantik itu, kalo ada orang yang liat terus senyum. Nah itu baru cantik. Kalo liat Lo mah, bukannya senyum tapi langsung kabur.”
“Atas dasar apa gue gak cocok dipanggil cantik? Gue kan cewek dan setiap cewek itu cantik.”
“Tapi Lo gak masuk, secara Lo kan lebih mirip gentong ketimbang cewek,” sahut gadis itu s***s.
“BTW, tadi Lo panggil gue kenapa?” tanya Miftah.
“Tes telinga aja. Siapa tahu selain buriik, Lo juga budek.”
Bukannya marah atas hinaan gadis itu, Miftah malah tersenyum lebar.
“Kenapa Lo senyum-senyum gitu? Lo gak kesambet, kan? “ heran gadis itu.
“Gue senyum, karena gue yakin, gue cantik.”
“Ha?”
“Iyalah, mana ada gentong bisa senyum sehangat gue. Bahkan Lo yang katanya ‘cantik’ aja gak bisa senyum dari tadi.”
Diam-diam Vidi tertawa kecil mendengar jawaban Miftah yang menurutnya savage. Andai dirinya juga memiliki kepercayaan diri sebaik Miftah, mungkin Vidi tidak akan ambil pusing pada mereka yang mengategorikannya sebagai cowok ‘jelek’. Padahal dari sisi mana mereka bisa mengatakan Vidi jelek ? Vidi tampan dengan kulit sawo matangnya.
“Siapa bilang gue gak bisa senyum. Gue bisa kok.” Gadis itu refleks langsung menarik dua sudut bibirnya membentuk lengkung ke atas. “Nih, bisa, kan ...”
Senyum Miftah makin mengembang, pipi bulat gadis itu terangkat lebih tinggi. “Orang dikatakan cantik kalo ada yang senyum ke dia. Dan Lo barusan senyum ke gue. Itu artinya gue cantik no debat. Lo gak mungkinkan nelen ludah sendiri, kan?”
Wajah gadis itu seketika pias, bingung harus menjawab apa.
“Lo kenapa senyum?” tanya David bingung begitu menoleh ke samping dan mendapati Vidi tersenyum selebar hingga lubang di kedua pipinya terlihat.
“Karena gue tampan.” Kemenangan Miftah entah kenapa terasa seperti kemenangan bagi Vidi.
Bolehkan Vidi bangga pada gadis bertubuh gemuk itu?
.
.