“Sini tas ember norak Lo!” Abdan tiba-tiba berdiri di depan meja Miftah. Wajah pucat cowok itu masih terlihat jelas, namun bisa Abdan sembunyikan dengan baik berkat bantuan sorot tajam mata dan alis tebalnya. Tangan Abdan dengan cepat merampas paksa ember merah yang Miftah letakkan di atas mejanya.
Mulut Miftah sudah terbuka hendak protes pasalnya buku-buku gadis berpipi bulat itu ada di dalam ember yang Abdan rebut. Namun terhenti saat Abdan dengan cepat mengeluarkan buku miliknya.
“Tuh pake tas gue buat bawa buku-buku jelek Lo ini!” ujar Abdan sembari terus mengeluarkan buku milik Miftah tanpa inisiatif sedikit pun untuk meminta izin pada sang pemilik—Miftah yang sudah melotot kesal akan kelakuan Abdan.
“Lo apa-apaan sih?! Datang-datang langsung main ambil punya orang aja!? Lagian siapa juga yang mau tukaran tas sama Lo?” protes Miftah, hendak kembali mengambil ember norak miliknya dari rampasan tangan Abdan. Jelas Abdan tidak akan mempermudah hal itu, Abdan yang dengan cepat langsung meninggikan lengannya. Miftah jadi kesulitan untuk menjangkau embernya itu.
Keributan keduanya, secara cepat langsung menjadi tontonan semua murid sebelas IPA dua. Semua orang—didominasi siswi, tentu saja langsung menghujati Miftah dengan cibiran pedas bin nyelekit. Sebenarnya kekesalan mereka sudah menumpuk sejak tadi di lapangan, ditambah pujian panjang dari pak guru yang membuat telinga mereka panas dan sekarang Miftah dianggap ‘mencoba' mendekati Abdan dengan modus bertengkar.
“Kenapa sih Lo selalu mempersulit hidup gue? Puas kan Lo sekarang liat gue kalah dan terpaksa pake ember jelek Lo ini?” sengit Abdan—membayangkan dirinya menggunakan ember norak dan aneh seperti ini saat pulang sekolah, sudah menjadi momok menakutkan bagi Abdan. Abdan membenci apa pun mengenai gadis bertubuh gemuk itu!
Miftah memicingkan matanya. “Bukannya kebalik ya? Lo yang udah jebak gue biar pake tas ember ke sekolah.”
“Sekarang balikin ember gue! “ Miftah dengan cepat langsung menarik kembali ember miliknya begitu Abdan sedikit lengah. “Gue gak mau pake tas Lo!”
“Dan satu lagi, gue gak nyuruh Lo pake ember gue. Toh itu juga taruhan Lo sendiri. Gue gak pernah bilang setuju. Lagian mana mau gue taruhan. Gue kasih tahu ya, taruhan itu dosa barangkali Lo lupa!“
Miftah yang sudah berhasil mendapatkan embernya kembali, lantas memasukkan kembali bukunya yang berserakan di atas meja akibat ulah Abdan.
Abdan mendengus. “Lo sengaja ya buat gue seolah-olah cowok yang gak bisa pegang omongannya sendiri ! Lo sengaja pengen buat citra gue buruk, kan?! “
Miftah mengangkat kepalanya. “Gue?! Lo gak salah nuduh, ha?! “
“Liat! Siapa yang buat semua orang sekarang jadiin kita tontonan? Lo kan yang tiba-tiba datang ngerampas ember gue dan seenak jidat marah-marah ke gue.”
“LO!”
“Jadi siapa yang buat Lo malu?” pandangan mata Miftah menyapu ke seluruh siswa-siswi yang memandang ke arahnya, sudah jelas mereka menutup mata akan kesalahan Abdan dan menumpahkan semua kesalahan pada Miftah.
“Lo sendiri,” ketus Miftah setelahnya. “Coba kalo otak Lo di pake dengan benar. Lo gak akan kejebak permainan Lo sendiri.”
“Gak ada yang tahu soal taruhan sepihak itu, selain gue dan Lo. Tapi karena kebodohan Lo sendiri, Lo yang bongkar semuanya. Semua orang jadi tahu. Sekarang seenak jidat Lo nyalahin gue?!”
“Lo sehat, kan? Lo gak dalam pengaruh obat maag, kan? Apa jangan-jangan kepala Lo habis kecium lantai kamar mandi? Makannya jadi eror gini? “
“Atau gue rasa pas pembagian otak, Lo gak datang. Makanya Lo gak punya otak ....”
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara tawa nyaring seorang cewek. Semua pasang mata langsung terbagi menjadi tiga, Abdan, Miftah dan sekarang gadis yang duduk di pojok paling belakang. Gadis berparas manis khas orang Jawa dengan mata bulat dan hidung mancung itu bahkan belum sadar kalo dia kini mendapat seperempat perhatian semua orang dan terus tertawa nyaring. Gadis itu sadar, setelah teman satu bangkunya menyenggol pelan lengannya, dengan cepat tawanya perlahan sirna.
“Apa Lo bilang?” Rahang Abdan mengeras.
Miftah mengangkat alisnya. “Itu cuman opini gue. Kalo Lo gak terima, gak masalah,” tambah Miftah tenang. Sejujurnya gadis bertubuh gemuk itu sudah sangat kesal dengan semua ulah Abdan. Namun Miftah mencoba untuk tidak lagi meladeni Abdan.
“Gue mau Lo tarik perkataan Lo tadi.”
“Gue bilang tarik perkataan Lo barusan, atau ...”
“Atau apa?” tantang Miftah—Miftah tidak suka diancam!
“Lo mau ngancam gue?! Lo pikir gue takut? Gak sama sekali! Gue diam bukan karena gue takut ya! Gue diam karena gue gak mau cari ribut sama orang kayak Lo.”
“Orang waras mana yang mau ladeni orang gila?”
Kembali suara tawa terdengar dari belakang. Suara itu masih berasal dari gadis bermata bulat itu. Bedanya, tadi gadis itu tidak sadar sudah menjadi pusat perhatian, kini gadis itu malah menatap balik setiap sorot mata yang mengarah padanya.
“Kenapa? Apa salahnya gue ketawa? Wajar kan kalo hal lucu ditertawakan? Emang ada pasalnya kalo gue dilarang ketawa? Lagian gue cuma ketawa, “ gumam gadis bernama tag—Wulanda, tidak terima akan tatapan peperangan para siswi.
“Lebih baik kecilin suara tawa Lo. Jangan ikut campur dalam hal ini,” desis David yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Wulanda—salah satu siswi yang tidak terkena kharisma Abdan. Sebenarnya dulu gadis itu sangat menyukai Abdan, sama seperti siswi yang lain. Namun semua itu berubah saat entah kenapa Abdan menghina gadis itu di depan semua orang dan secara terang-terangan menolak pernyataan cinta gadis itu. Semenjak saat itu gadis itu tersadar siapa sebenarnya orang yang dia sukai selama ini.
“Lebih baik sekarang Lo minta maaf sama Abdan,” titah David.
“Gue minta maaf? Atas dasar apa ? Gue gak buat salah. Toh, bukannya saling menertawakan itu biasa di lakukan di kelas ini? Gue cuma melakukan apa yang biasa kalian lakukan,” jawab Wulanda, lalu bangkit dari bangkunya dan memilih pergi dari kelas. David menghela nafas berat nampak wajah tak berdaya yang terpancar pada wajah datar David mengiringi kepergian Wulanda.
“Puas Lo sekarang, udah buat kelas ini jadi panas, Ha?! “
“Puas Lo sekarang?! “
“Dasar cewek buriik !”
Setelah kepergian Wulanda yang dianggap siswi ‘misterius' setelah insiden waktu itu, semua murid kembali berbisik mencibir Miftah. Miftah dianggap sudah membangunkan singa terluka dan menjadi dalang nyala kembalinya percikan api masalah.
Namun beragam cibiran itu Miftah abaikan, gadis itu malah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Meski sudah dua hari berada di kelas sebelas IPA satu, Miftah baru pertama kali melihat gadis bernama Wulanda itu. Sebelumnya Miftah hanya sering mendengar namanya—yang sempat heboh satu angkatan karena ulah Abdan.
Miftah jadi teringat sebuah kalimat yang cocok dengan situasi ini. Dalam mencintai hanya ada dua pilihan, kamu menghangat karena sikapku. Atau aku membeku karena sikapmu.
Miftah bisa melihat dengan jelas sorotan kebencian yang tertancap begitu dalam pada mata bulat gadis itu. Seolah tidak ada kata maaf yang mampu membayar rasa sakitnya.
Dari yang Miftah dengar, Wulanda langsung mengundurkan diri dari posisinya menjadi ketua OSISI setelah insiden itu. Gadis itu juga memilih menutup diri dan bahkan tidak pernah lagi tersenyum. Mungkin ini pertama kalinya gadis itu kembali tertawa setelah hampir satu tahun lebih hanya diam dengan wajah yang murung. Mencintai orang yang salah merupakan sebuah bencana yang sangat mengerikan. Wulanda tidak hanya patah hati, tapi juga mati rasa. Miftah tidak habis pikir terbuat dari apa hati Abdan, mengapa dia bisa sesantai itu setelah mematahkan hati yang hangat menjadi sedingin es ?
.
.