Chandralekha
Bisa-bisanya Irza melupakan bahwa dia telah mengundangku ke rumahnya sebagai ucapan terima kasihnya padaku. Karena berkat aku, Mami mertuanya jadi tidak takut untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Ya, aku harap maklum juga dia bisa lupa kalau ada janji denganku malam ini. Mami mertuanya tadi tiba-tiba pingsan tanpa alasan, sebelum aku datang. Irza panik dan begitulah lupa segalanya, termasuk lupa kalau mengundangku datang ke rumahnya malam ini. Berkat Bayu yang tadi kebingungan mencari obat untukku, dia seketika ingat kalau malam ini aku sudah ada di rumahnya untuk memenuhi undangan makan malam darinya. Sepertinya aku harus berterima kasih sekali lagi pada Bayu. Karena bantuannya bukan hanya sebatas mencarikan obat untukku.
“Maaf ya, gara-gara saya Dokter Chandra jadi terlalu lama menunggu sampai-sampai saya dengar katanya migrain-nya kambuh, ya?” Seorang wanita yang masih tetap tampak cantik dan anggun di usianya yang sudah tak lagi muda itu datang menghampiri meja makan. Wanita itu memelukku dan menatap ke arahku penuh rasa sesal, tapi tetap ramah.
“Irza juga nggak bilang apa-apa sama aku kalau mengundang Dokter Chandra ke sini,” timpal Jerome sambil menatap sungkan padaku. “Maaf, ya, Dok… Kesehatan Mami akhir-akhir ini tidak stabil gara-gara terlalu memikirkan anak kesayangannya itu.” Entah siapa yang dimaksud anak kesayangan oleh wanita itu. Aku sama sekali tidak berniat mencari tahu lebih jauh.
“Jey!” Nyonya Marieta, maminya Jerome, melayangkan protesnya hanya dengan menyebutkan sebuah nama panggilan yang kutebak panggilan kecil Jerome. Seketika itu Jerome tidak lagi melanjutkan omongannya.
Aku suka melihat interaksi dua orang kaya di hadapanku ini. Aku memang tidak terlalu mengenal baik siapa itu Nyonya Marieta selain riwayat kesehatannya. Begitupun dengan Jerome sebenarnya. Namun entah kenapa mereka berdua bisa jadi couple favorite ibu dan anak di mataku.
“Apa Dokter Chandra sudah selesai makan malamnya?” tanya Nyonya Marieta padaku.
“Sudah Bu Rieta,” jawabku sopan.
Lalu detik itu juga Nyonya Marieta mengajakku berpindah tempat mengobrol. Sebelum meninggalkan ruang makan, aku berpamitan pada Jerome dan Bayu.
“Saya pindah tempat ngobrol dulu, ya…” ujarku berpamitan, sambil tersenyum sopan pada Bayu. Laki-laki itu mengangguk sambil menunjukkan ekspresi yang tidak bisa kudefinisikan maksudnya. “Oh, iya. Sekali lagi makasih banget-banget ya, atas kebaikan kamu malam ini pada saya.”
“Iya, sama-sama,” ucap Bayu dengan senyum tipis. “Jangan sakit lagi ya.”
Aku tersenyum simpul dan mengangguk kemudian buru-buru mengikuti langkah Nyonya Rieta dan Irza yang telah lebih dulu meninggalkan meja makan. Aku tidak mau seperti anak ayam yang kehilangan induknya kalau sampai tersesat di rumah besar ini.
“Saya coba cek tensi darah Bu Rieta dulu, ya,” ujarku sembari mengeluarkan tensimeter aneroid lengkap dengan stetoskop dari dalam tas jinjingku. Aku meminta Nyonya Marieta untuk merebahkan tubuhnya di atas kursi malas lalu meminta dia supaya merilekskan jiwa dan raganya.
“Agak rendah ini tekanan darahnya, Bu. Bu Rieta sudah makan malam? Atau sudah cukup tidur hari ini?”
“Mami susah dibilangin, Dok. Sehari ini ada mungkin cuma satu jam tidurnya. Dari semalam padahal udah nggak tidur,” jelas Irza lalu mengusap punggung tangan mami mertuanya.
“Jaga kesehatan, ya, Bu. Kalau Bu Rieta tidak mau mendengarkan saran dari saya, mau tidak mau saya akan meminta Dokter Fathur supaya mengambil tindakan opname agar kami bisa lebih intensif merawat Anda.”
“Jangan, Dokter. Saya janji akan mendengar semua omongan Dokter Chandra, Irza juga Jerome,” ujar Nyonya Marieta penuh penyesalan. “Ngomong-ngomong saya tidak tahu kalau Dokter Chandra kenal Bayu.”
Aku mengangkat sebelah alis. “Ya, begitulah. Dunia kadang jadi terasa begitu sempit kalau dihadapkan pada sesuatu yang namanya kebetulan, Bu.”
“Bayu itu orangnya sabar, jujur dan nggak neko-neko. Ya, kan, Ir?” Tiba-tiba Nyonya Marietha menjelaskan karakter seorang Bayu padaku tanpa kuminta. “Ganteng juga, kan?” imbuh Nyonya Marietha.
“Masih lebih ganteng suamiku-lah, Mi,” celetuk Irza, lalu menatap Nyonya Marietha sambil menyeringai. “Sebenarnya saya tidak terlalu kenal dengan Bayu. Tapi satu hal yang saya tahu dia itu orang yang paling dipercaya Jerome untuk saat ini. Terlepas dia orangnya sabar atau jujur, pasti dia memiliki salah satu dari sifat bagus itu yang tentunya menjadi salah satu penilaian Jerome sampai bisa sepercaya itu pada Bayu,” sambungnya.
“Pantas Jerome menyerahkan kekuasaan tertinggi perusahaannya yang ada di Jepang pada Bayu, ya?” timpal Nyonya Marietha.
“Bener banget, Mi. Kadang-kadang aku penasaran kebaikan apa yang sudah dilakukan oleh Bayu untuk Jerome sampai sepercaya itu sama Bayu. Cuma memang dia terlalu pendiam dan tertutup. Dia pernah menemani aku di rumah sakit waktu aku baru melahirkan dulu. Meskipun Bayu itu ada di dalam ruang rawat inap, tapi aku sama sekali nggak merasakan kehadiran laki-laki itu di sekitarku.”
“Kenapa bisa begitu?” tanyaku penasaran.
“Demi apa pun, aku itu kayak ditemani patung, loh. Gilak! Ada ya, orang kayak gitu. Penasaran dia kalo berinteraksi sama pasangannya gimana. Jangan sampai dapat pasangan yang pasif juga. Nanti kalo kencan diem-dieman gitu. Mana seru?” komentar Irza sambil menggeleng keheranan.
Aku terkekeh geli mendengar cerita Irza soal pengalamannya berinteraksi dengan Bayu, yang ternyata tidak cuma dirasakan olehku saja saat awal-awal bertemu Bayu di Jepang waktu itu. Namun yang lebih menggelikan adalah komentar Irza soal interaksi Bayu dengan pasangannya. Otakku auto membayangkan kalau jalan sama Bayu jangan-jangan nanti ngobrolnya pakai bahasa isyarat. Eh, tapi ngapain juga aku mikir sejauh itu? Belum apa-apa udah mikir jalan aja.
“Jadi Dokter Chandra kenal Bayu dari mana?” tanya Irza melanjutkan rasa ingin tahu Nyonya Marieta.
“Kebetulan kenal aja waktu saya liburan bersama sahabat saya di Jepang,” jawabku sembari meraih cangkir teh yang telah disediakan untukku. “Kebetulan Bayu yang menyambut karena stafnya sedang banyak pekerjaan saat itu.”
“Oh, sepertinya Jerome pernah membahas soal itu. Berarti Dokter Chandra tahu soal kasus plagiarisme yang sedang menimpa hasil desain salah satu desainer yang dipekerjakan oleh Bayu, dong?”
“Yap, benar,” jawabku pendek. Berusaha tidak memperlebar detail kasus itu. Biarlah Irza menanyakan sendiri detail kasus itu pada Jerome atau bahkan Bayu sekalian. Aku tidak mau terlibat lebih jauh soal urusan itu.
Selesai memeriksa Nyonya Marietha aku meminta wanita itu untuk segera beristirahat dan memanfaat waktu yang baik untuk beristirahat. Tak lupa aku memberinya resep dan sedikit wejangan untuk membuatnya tetap sehat. Irza mengantarku keluar rumah. Ternyata Bayu dan Pak Jerome masih bertahan mengobrol di ruang tamu. Demi menghormati tuan rumah yang sudah mengundangku makan malam akhirnya aku memutuskan untuk bergabung sebentar. Sekadar mengobrol ringan, nggak ada salahnya juga. Setidaknya begitu pikirku ketika melihat Bayu tampak dengan senang hati bergeser seolah memberi space duduk untukku di sofa yang sama dengan yang diduduki oleh laki-laki itu.
“Sistem informasi manajemen baru di Orland’s Hospitals bagaimana, Pak? Apa berjalan dengan baik?” tanya Bayu pada Pak Jerome di sela-sela obrolan kami.
Bicara soal sistem informasi rumah sakit yang ditanyakan oleh Bayu tiba-tiba mengingatkanku kembali pada sosok Galih yang saat ini berada di bawah payung perusahaan yang sama denganku. Aku bukan melupakan soal itu. Namun berusaha untuk tidak terus mengingatnya. Kalau saja aku tidak segera menyadarkan diri bahwa ini bukan waktu yang tepat dan tidak sepantasnya hariku dipenuhi perasaan takut karena mendengar nama orang itu, mungkin suasana hatiku akan berubah buruk. Beruntung aku masih punya pengendalian diri yang cukup baik. Setidaknya, aku tidak terlalu menunjukkan ketakutanku yang sebenarnya di depan banyak orang.
Aku mengatur kembali perasaanku yang kacau balau dengan pura-pura tetap fokus mengikuti obrolan antara Bayu dan Pak Jerome.
“So far berjalan dengan baik. Saya belum sempat bertemu dengan kepala IT yang baru. Saya dengan dia membawa banyak perubahan pada sistem yang sudah ada. Ya, seperti biasa kalau ada sesuatu yang baru pasti menimbulkan pro dan kontra,” jelas Pak Jerome. Sepertinya semua orang yang ada di ruang tamu ini, terutama Bayu yang jaraknya paling dekat denganku, tidak ada yang menyadari perubahan suasana hatiku.
“Yang penting tidak ada kendala yang berarti dan membawa perubahan yang lebih harusnya pro dan kontra itu bisa diminimalisir,” komentar Bayu.
“Atau mungkin saja yang menimbulkan kontra itu karena sifat orang yang membawa perubahan itu. Sehingga membuat dia tidak disukai banyak orang dan akhirnya kontra itu mulai bermunculan,” ceplosku, benar-benar di luar dugaanku.
Gerakan Bayu hendak meminum kopi dari cangkirnya terhenti. Kurasakan dia menoleh ke arahku. “Entah kenapa saya mikirnya Dokter Chandra mengenal dengan sangat baik sifat orang yang membawa perubahan baru di Orland’s Hospitals itu.”
Giliranku yang menghentikan gerakan menyeruput teh dari cangkir di tanganku dan memutar tubuh menghadap Bayu. “Maksud Anda?”
Bayu menatapku selama beberapa saat dengan tatapan tajam lewat mata sendunya itu. Tatapan yang aku yakini menjadi salah satu senjata andalannya untuk menghadapi para perempuan yang sempat jatuh hati padanya. Namun hanya beberapa saat sebelum tatapan tajam itu sedikit melunak.
“Nggak ada maksud apa-apa? Lupakan saya pernah berkata seperti itu,” jawab Bayu dengan entengnya.
Aku mengangkat alis mendengar jawaban Bayu. Ini orang ada masalah apa, sih? Waktu di Jepang juga gitu. Bikin statement sendiri, berasumsi sendiri. Giliran dikejar untuk menjelaskan maksud dari asumsinya itu, tiba-tiba bilang nggak ada maksud apa-apa. Annoying banget.
~~~
^vee^