Chandralekha
“Gimana bapak-bapak dari Jepang? Udah ketemu? Informasi dari mata-mata gue lo semalam diundang sama istri bosnya Bayu makan malam? Betul apa betul?” Syfo pagi-pagi sudah meneleponku untuk menanyakan hal random. Katanya dia sedang butuh teman mengobrol. Dia bercerita singkat katanya semalam baru saja fine dining dengan abangnya dan mereka membahas serius hubungan asmara yang terjadi antara Syfo dengan pacar brondongnya itu. Namun sepertinya Syfo lebih tertarik menggodaku ketimbang membicarakan persoalannya sendiri yang jauh lebih serius untuk dibicarakan itu. Sekarang aku semakin yakin. Asistenku adalah mata-mata Syfo. Habis gimana lagi, asistenku dan sekretarisnya Syfo itu kalau tidak salah teman sekolah apa teman kuliah gitu. Aku agak lupa. Nanti aku tanyakan lagi soal itu. Mungkin Syfo mendesak sekretarisnya untuk mencarikan informasinya soal aku dari asistenku. Aku memang selalu menekankan pada asistenku boleh memberi informasi apa pun pada Syfo asal bukan yang sifatnya persoalan pekerjaan dan rahasia pasien tentunya.
“Lo nelpon pagi-pagi buta cuma buat nanya itu ke gue?” tanyaku gemas. Meskipun jarang bertemu kami berdua selalu berusaha menjaga intensitas komunikasi di antara kami. Entah itu lewat telepon seperti ini, lewat chat, dan kalau punya waktu senggang kami menghabiskan waktu makan berdua.
“Ih, jawab aja, napa!”
Aku menyemburkan napas lalu meregangkan otot-otot tubuhku. “Bukan hal yang mesti dibikin heboh, lah, Fo. Gue itu beneran nggak sengaja ketemu Bayu semalam di rumah Pak Jerome. Jadi itu Bayu diundang makan malam sama bosnya itu. Nah, gue diundang sama Irza. Katanya mereka berdua nggak janjian juga waktu ngundang gue dan Bayu,” jawabku apa adanya. Aku memang cerita pada asistenku kalau akan mengunjungi rumah Pak Jerome. Tapi yang aku tidak sangka bisa-bisanya pikiran Syfo sampai ke aku bakal bertemu dengan Bayu di sana.
“Cincin lo udah dibalikin?”
“Ya nggak. Lagian nggak banget tiba-tiba gue nagih cincin sementara kita sama-sama tahu kalau ketemu di rumah Jerome karena kebetulan.”
Boro-boro nagih cincin. Baru pertama ketemu lagi aja sikapnya udah annoying begitu.
“Yap, masuk akal juga. Kirain lo lupa membahas soal cincin berlian lo karena terjerat pesona bapak satu anak itu,” komentar Syfo. Menyadarkan aku yang sempat teringat ulah Bayu saat di rumah Pak Jerome sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pulang detik itu juga.
“Ih, apaan, sih?” Aku mendengkus sambil memutar bola mata karena malas. Beruntung kami mengobrolkan hal ini tidak saling bertatap muka. “Udah, deh, Fo. Kenapa lo jadi demen banget bahas dia?”
“Nggak demen juga, sih. Gue itu cuma penasaran aja sama dia. Gue ngerasa dia orang yang tepat lo kenal di waktu yang tepat juga.”
“Oh, Ghosh!” seruku sambil menggeleng-geleng tidak habis pikir pada pernyataan sahabatku yang sebenarnya sedang galau itu. Bisa-bisanya dia berkata sebijak itu di kala hatinya sendiri tengah merasakan gundah.
“Lo jangan mikir kejauhan, deh, Fo! Please, stop!”
“Ya terus mau mikir apa lagi? Umur kalian udah sama-sama matang, sama-sama punya pekerjaan yang mapan, sama-sama single, dia udah berpengalaman dalam rumah tangga, ya, sekalipun pernah gagal. Tapi artinya dia pasti akan belajar dari pengalaman gagal itu, supaya kegagalan kedua nggak sampai terjadi lagi.”
“Lo kenapa seyakin itu sama dia? Nggak ada yang bisa jamin dia single setelah divorce dari mantan istrinya, Fo. Laki-laki sesempurna itu-”
“Dan gue juga sedang ngobrol dengan seorang perempuan yang sempurna tapi masih saja berkubang dengan trauma masa lalu,” balas Syfo dengan nada bicara tegas. “Sorry, Lek. Gue bukannya mau ikut campur urusan lo. Tapi emang lo kalau nggak dipecut dikit aja, nggak gerak lo, sumpah! Gue juga bukan tanpa alasan se-excited ini sama Bayu. Menurut feeling gue, dia itu sebenarnya juga tertarik sama lo, kok.”
“Dan gue bakal percaya begitu aja sama feeling lo?”
“Kalau gue maunya gitu. By the way, gue sore ini mau ketemuan sama tim legal Orland’s Fashion. Join, yuk!”
Mendengar kata Orland’s Fashion, sekelebat bayangan muncul di benakku. Entah kenapa ada sedikit bagian dari diriku berharap bahwa Bayu akan ikut datang dalam acara pertemuan Syfo dengan tim legal Orland’s Fashion. Meskipun jelas tidak mungkin, mengingat Bayu semalam sudah pamitan pada Jerome hari ini dia hendak pulang ke daerah asalnya di Bandung.
Sadar akan fakta itu aku hanya bisa menggeleng sambil menertawakan ketololanku. Ya ampun, apa yang sedang aku harapkan saat ini? Bertemu lagi dengan dia secara tidak sengaja? Sepertinya aku mulai termakan ucapan Syfo yang menurutku asal bunyi itu. Akhirnya aku menolak ajakan Syfo bergabung dengannya dalam pertemuan itu. Mengingat hari ini aku ada operasi tiga pasien. Alasan yang cukup logis ketimbang menolak tanpa alasan.
“Fo, udahan ya. Gue mau siap-siap. Satu jam lagi ada operasi,” kilahku, demi segera mengakhiri obrolanku dengan Syfo. Aku pengen nge-gym dulu sebelum berangkat ke rumah sakit untuk tiga operasi hari ini.
“Ya, udah. Nanti gue salamin salam lo ke Bayu.”
“Astaga! Serah lo aja, deh, Fo.”
Syfo tertawa lalu mengakhiri panggilan teleponnya.
Karena sudah terlanjur kecewa pada makhluk yang namanya laki-laki, aku jadi punya rules-rules soal makhluk satu itu. Yang pertama, kalau ada laki-laki yang mendekati tidak usah berekspektasi akan menjadi pasangan, kalau cuma sekadar buat nambah-nambah teman boleh-boleh aja.
~~~
Bayu Aksara
Sudah lama aku tidak melakukan aktivitas olahraga yang dulu pernah jadi rutinitasku saat masih di Bandung. Berteman dengan Teguh yang memiliki mimpi punya body atletis membuat aku jadi kebawa hobi dia yang rutin jogging, treadmill dan aktivitas gym yang lain. Setelah disibukkan oleh pekerjaan di posisi baru dan akhirnya juga membuka diri pada sosok perempuan yang notabene nggak terlalu suka olahraga, aku jadi ikut kebawa kebiasaan dia juga. Membiarkan Teguh dengan hobi lamanya, sementara aku sibuk pacaran. Aku masih ingat waktu itu Teguh kesal karena aku berhenti treadmill menemani dia ngegym, “Maneh enak, Bay. Meski body nggak atletis tapi tampang manis, tetap gampang laku. Nah, aing Udah tampang pas-pasan masa iya, punya body juga nggak enak dipandang.” Ada-ada aja temanku satu itu. Suka bener kalau ngomong.
Pagi ini sebelum pulang ke Bandung aku memutuskan untuk pergi ke pusat kebugaran yang masih berada di wilayah kompleks apartemen yang merupakan apartemen yang pernah menjadi tempat tinggalku sebelum menerima pekerjaan di Jepang. Ya, aku kembali ke apartemen ini dengan banyak pertimbangan. Yang paling utama adalah aku malas beradaptasi di tempat baru. Jadi, ketika Pak Jerome menawarkan unit apartemen pribadinya yang lebih mewah dari apartemen lamaku, aku menolak dengan dalih di apartemen lama masih banyak barang-barangku dan aku malas memindahkan semuanya sementara di apartemen pribadi Pak Jerome sudah lengkap isinya. Lagipula aku belum ada niatan untuk kembali menetap di Jakarta dalam waktu dekat.
“Bayu?”
Aku yang semula sedang asyik berlari di atas treadmill spontan menoleh dan menghentikan aktivitasku saat menemukan siapa yang sedang berdiri di sampingku treadmill dengan wajah tanpa riasan, rambut diikat jadi satu di atas puncak kepalanya dan terakhir kening dan leher yang dipenuhi oleh keringat.
“Lekha?” sapaku setengah terkejut. “Kamu ngapain di sini?”
“Ini tempat nge-gym kan? Apa iya saya harus menjabarkan pengertian dan hal-hal apa saja yang dilakukan oleh orang-orang di tempat ini.”
Aku cuma bengong menanggapi jawaban Lekha. Ternyata pertemuan kesekian kali nggak membuat dia jadi sedikit ramah. Atau mungkin bicara dengan nada sarkas dalam diri Lekha sudah mendarah daging. Atau mungkin lagi udah bawaan dari lahir. Who’s not?
Baru aku mau menjawab saat tiba-tiba ada seseorang menyerukan namanya. Seorang laki-laki yang kalau dilihat dari penampilannya seperti seorang pelatih gym. Mungkin personal trainer-nya Lekha, pikirku sederhana.
“Yang semangat olahraganya. Kecepatannya ditambah, dong. Segitu doang udah ngos-ngosan. Kalah itu sama Opa-Opa di ujung sana,” ujarnya dengan nada bicara terang-terangan mengejekku sambil menunjuk ke arah seorang pria paruh baya yang tetap bugar dan mampu berlari di atas treadmill dengan kecepatan yang lebih cepat dariku tadi.
“Tadi cuma pemanasan aja,” candaku.
“Udah gobyos gitu masa masih pemanasan, sih?” sindirnya.
“Kelamaan mungkin pemanasannya jadinya malah kepanasan,” balasku.
Lekha tersenyum miring merespon jawaban bernada bercanda dariku. Yang entah kenapa aku merasa senyumnya itu mampu membuat orang bisa merasa terintimidasi hanya karena sebuah senyuman.
“Eh, saya duluan ya, Bayu. Bye…” ucap Lekha.
Aku tersenyum tipis dan mengangguk sebelum Lekha berbalik badan dan berlari ke arah laki-laki bertubuh gempal yang sudah berada di samping salah satu alat olahraga angkat beban yang mungkin akan digunakan oleh Lekha.
~~~
Chandralekha
Aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutku akan bertemu lagi dengan Bayu di tempat gym ini. Dari sekian tempat gym yang ada di kota Jakarta ini, kenapa dia mesti nge-gym di sini? Di sebuah pusat kebugaran yang berada di dalam kompleks apartemen. Cuma satu kemungkinannya, dia salah satu penghuni kompleks apartemen ini dan malas jika harus pergi ke pusat kebugaran di luar kompleks apartemen seperti diriku.
Sejak melihat Bayu, aku jadi sama sekali tidak bisa berkonsentrasi dalam aktivitas gym pagi ini. Ada beberapa pertanyaan yang ingin aku ajukan padanya terkait kemunculannya di pusat kebugaran ini. Namun aku lihat tadi Bayu buru-buru pergi setelah menerima telepon entah dari siapa.
Beberapa kali aku kelihatan lebih berjuang keras untuk menyelesaikan repetisi terakhir ketika mengangkat beban. Sampai ada momen dimana aku sudah tiba pada repetisi tertentu untuk sekuat tenaga mengangkat beban dan bahkan minta bantuan coach untuk membantuku.
“Kenapa lo?” tanya Roby, personal trainer yang ada di pusat kebugaran ini.
“Lagi gampang capek. Umur nggak bisa bohong.”
“Kemarin juga nggak apa-apa. Jam tidur lo diatur lagi, Lek. Percuma lo nge-gym, makan dan minum yang sesuai standar kesehatan tapi kalo pola tidur lo berantakan. Tetep aja bikin elo mati muda.”
“Doain gue mati muda lo?”
“Nggak juga. Gue cuma ngingetin elo.”
“Iya, thank you udah diingetin. Latihannya udahan dulu ya, Rob. Gue ada operasi pagi ini.”
“Coba cari temen yang se-frekuensi sama lo urusan olahraga. Gue yakin olahraga jadi akan terasa lebih menyenangkan kalo lo ada temennya.”
“Kan, udah ada lo.”
“Suka-suka lo aja, deh.” Lalu Roby tidak melanjutkan perdebatan soal kebutuhan teman yang tadi disarankannya untukku.
~~~
^vee^