Bayu Aksara
“Lho, Bayu?”
Kepalaku otomatis terangkat ketika sedang asyik membaca artikel bisnis di iPad sambil menunggu kedatangan Pak Jerome, yang katanya mau ambil camilan tapi tidak muncul-muncul lagi di ruang tamu rumahnya ini sejak lima belas menit yang lalu.
“Lekha?” sapaku setengah terkejut. “Hei! Kamu diundang makan malam juga sama Pak Jerome?”
Lekha mengangguk sambil duduk di salah satu sofa yang letaknya agak menyerong dari sofa yang tengah aku duduki. Aku sendiri meletakkan iPad, lalu mengajak Lekha mengobrol sambil menunggu kedatangan Pak Jerome.
“Sendirian? Atau sama temen?”
“Sendirian.” Lekha tersenyum kecil. “Sebenarnya yang mengundang saya Irza, istrinya Pak Jerome. Kamu sendirian atau?”
“Sendirian dan diundang Pak Jerome.” Salah seorang asisten rumah tangga mengantarkan beberapa toples camilan dan dua cangkir teh ke ruang tamu lalu meletakkan semua yang mereka bawa di atas meja kopi. “Mungkin ada hal penting yang mau diobrolin Pak Jerome tapi dengan suasana lebih santai. Makanya sampai mengundang saya makan malam di rumahnya.”
“Sepertinya kalian berdua cocok. Sama-sama workaholic,” tukas Lekha, dengan senyum yang tampak lebih lebar dari sebelumnya. Entah kenapa aku merasa malam ini dia lebih banyak tersenyum ketimbang ketika kami bertemu di Jepang.
“Memangnya kamu nggak workaholic ya? Lagi enak-enak liburan yang awalnya punya waktu unlimited tiba-tiba harus pulang gara-gara ada something urgent yang berhubungan dengan pekerjaan, apa seperti itu nggak disebut juga sebagai workaholic?”
“Bisa jadi,” jawab Lekha. Kali ini dia benar-benar tertawa. Bukan lagi tersenyum seperti beberapa saat yang lalu. “Gimana kalau kita bikin club, Workaholic Club namanya?”
“Jangan, ah. Nggak enak banget kedengarannya kalau disingkat inisial huruf depannya dari dua kata itu,” ujarku santai.
“Eh, bener juga, loh. Kok, saya nggak kepikiran?”
“Mungkin kamu kurang tidur. Jadi kemampuan fokus kamu sedikit berkurang.”
“Yang dokter di sini, saya atau Anda, ya, Pak?” ucapnya memasang tampang pura-pura sinis. Nggak usah pasang tampang pura-pura sinis. Dia diam aja udah kelihatan sinis. Sinis ya. Bukan yang judes apalagi galak gitu.
“Menurut artikel yang saya baca. Kebetulan saya baru saja membaca artikel kesehatan yang membahas tentang dampak kurang tidur bagi otak kita,” jawabku, meralat ucapan sebelumnya.
Setelah basa basi barusan Lekha memilih diam dan mengutak atik ponselnya. Aku sendiri juga tidak melanjutkan obrolan random kami tadi. Setelah basa basi barusan aku memilih diam dan kembali menyibukkan diri dengan iPad yang tadinya aku letakkan di sampingku. Bukannya tidak mau melanjutkan obrolan. Padahal ada hal penting yang bisa diangkat menjadi topik obrolan di antara kami. Membahas masalah cincinnya yang tiba-tiba saja ada di dalam sarung tanganku, menanyakan keberadaan cincin itu dan lain sebagainya. Jujur saja, semakin ke sini aku merasa bahwa Lekha adalah seseorang yang tidak membosankan diajak mengobrol apa pun untuk ukuran orang yang baru saja aku kenal beberapa minggu yang lalu dan kebetulan bertemu lagi di sini. Sayangnya memang tidak banyak hal yang bisa kami bicarakan lagi. Dan mungkin Lekha juga mempunyai pemikiran yang sama sepertiku. Terbukti dia sendiri juga tidak melanjutkan obrolan dengan pertanyaan basa basi seperti di awal kami bertemu tadi.
Baik Pak Jerome maupun istrinya sama sekali belum menunjukkan batang hidung masing-masing. Padahal aku sudah menunggu di ruang tamu ini selama hampir setengah jam lamanya. Aku melirik sekilas pada Lekha. Dia terlihat masih sibuk dengan ponselnya. Wajahnya tampak serius saat memandangi layar ponsel.
Saat sedang fokus menatap layar iPad yang menampilkan grafik pertumbuhan usaha garment di seluruh dunia, ujung mataku menangkap pergerakan Lekha yang tampak mulai bosan. Aku menoleh dan mendapati perempuan itu tengah menarik napas panjang lalu menyandarkan punggungnya dengan malas di sandaran sofa. Dia memijat pelipisnya sambil memejamkan mata. Tak lama kemudian dia sibuk mengaduk-aduk isi tasnya sambil meringis seperti sedang menahan sakit.
Aku kembali meletakkan iPad di sampingku dan sedikit mencondongkan badan ke arahnya. “Kamu sakit?” tanyaku pelan, berusaha tidak menunjukkan sikap sok perhatian yang bakal membuat Lekha merasa tidak nyaman.
Lekha menoleh lalu menggeleng pelan diikuti senyum ramah. “Saya baik-baik aja. Cuma agak pusing. Mungkin migrain. Biasanya saya selalu bawa obat migrain ke manapun. Kebiasaan sejak kuliah, selalu bawa obat jenis analgesik ke manapun karena sering membutuhkan obat itu.”
“Analgesik? Semacam anti nyeri gitu? Apa kamu ada riwayat sakit tertentu sampai harus membutuhkan obat jenis analgesik setiap saat?”
Lekha seperti ketakutan dan tidak nyaman ketika aku bertanya soal jenis obatnya. Dia melihat ke sekitar seperti mencari kebingungan mencari sesuatu. Namun belum sempat aku bertanya lebih jauh, dia tersenyum kikuk lalu berkata, “Oh, nggak ada sakit apa-apa. Cuma kebiasaan aja. Tapi sekarang kayaknya obat itu habis dan saya lupa beli lagi,” jawab Lekha ragu sambil meletakkan tasnya kembali di sampingnya. “Nanti sepulang dari sini saya mampir apotek terdekat.”
Mendengar penjelasan singkat itu ditambah wajah Lekha yang mulai terlihat gelisah menahan sakit, aku langsung beranjak dari sofa dan berjalan menuju ke lebih dalam rumah hendak mencari keberadaan asisten rumah tangga yang tadi mengantar camilan ke ruang tamu.
“Kamu mau ke mana, Bayu?” tanya Lekha melihat pergerakanku.
“Saya coba tanyakan ART, mungkin menyimpan obat jenis yang sama dengan yang biasa kamu gunakan. Daripada masih nunggu pulang dari sini ke apotiknya.”
Lekha tampak takjub saat mendengar alasanku. Dia mengangguk beberapa kali. Sepertinya dia kehabisan alasan menolak bantuan yang ingin aku lakukan untuknya. Persis seperti orang hilang saat aku celangak celinguk mencari seseorang yang bisa membantuku di rumah mewah milik Pak Jerome ini. Tak lama kemudian aku lihat Pak Jerome bersama istrinya sedang menuruni tangga sambil mengobrol.
“Maaf, ya, Bayu. Tadi ada urusan kecil yang harus saya selesaikan. Tapi sekarang sudah selesai. Mau langsung makan malam, mengobrol dulu atau makan sambil mengobrol?” ujar Pak Jerome setelah berdiri di hadapanku. Sementara istrinya berjalan menuju ke arah bagian lain yang jelas bukan ke arah ruang tamu.
“Nggak masalah, Pak Jerome,” jawabku sambil tersenyum sopan. “Tapi saya boleh minta sesuatu pada Pak Jerome?”
“Apa itu?”
“Di ruang tamu ada Lek- eummh… maksud saya Dokter Chandra sedang sakit kepala. Mungkin Pak Jerome menyediakan obat sakit kepala khusus untuk sakit kepala jenis migrain?”
“Dokter Chandra ada di sini? Ada kepentingan apa, ya?” gumam Pak Jerome menunjukkan ekspresi wajah seperti bingung pada sesuatu.
“Bukankah diundang untuk makan malam juga? Seperti saya? Tapi bedanya yang mengundang Dokter Chandra bukan Pak Jerome, melainkan istri Pak Jerome,” jelasku.
“Oh, begitu ya? Coba sebentar saya tanya istri saya dulu. Mungkin dia melupakan janjinya dengan Dokter Chandra.” Lalu dengan langkah panjang Pak Jerome menyusul istrinya.
Tidak lama kemudian dia kembali lagi bersama istrinya. “Ya ampun aku bener-bener lupa kalau mengundang Dokter Chandra makan malam di sini? Ini obatnya. Aku atau Pak Bayu yang mau memberikan obatnya?” tanya istri Pak Jerome.
“Terima kasih banyak. Biar saya saja yang memberikan pada Dokter Chandra,” ujarku kemudian mengambil satu strip obat dari tangan istri Pak Jerome dan bergegas kembali ke ruang tamu.
Sesampainya di hadapan Lekha aku memberikan satu strip penuh obat yang dibutuhkan oleh perempuan itu. Sekali lagi Lekha menunjukkan ekspresi takjub saat menerima obat tersebut. “Wow, hebat sekali kamu. Saya nggak nyangka kamu sebaik ini orangnya, Bayu.”
“Saya cuma nggak bisa lihat orang kesakitan, apalagi orang itu saya kenal. Udah kebiasaan aja dari kecil. Ajaran orang tua juga yang selalu mengajarkan supaya menaikkan rasa empati ketika melihat orang sedang kesakitan dan kesulitan,” terangku. “Tapi apa kamu sudah makan kalau mau minum obat sekarang?”
“Nggak apa-apa nggak perlu makan dulu. Kebetulan saya nggak punya riwayat penyakit maag ataupun lambung,” jawab Lekha. “Terima kasih banyak, ya, Bayu.”
Aku mengangguk dan Lekha tersenyum tulus sebelum memasukkan memasukkan obat ke mulutnya, kemudian meneguk teh untuk melancarkan jalur masuk obat ke dalam tenggorokannya. Tak lama kemudian Pak Jerome dan istrinya juga bergabung dengan aku dan Lekha di ruang tamu. Kami berempat ngobrol sebentar lalu makan malam.
~~~
^vee^