Chapter 5Mulai Terungkap?
Author
"Menurut lo apa Merry juga dibully ya?" tanya Sabrina ke Amy setelah mereka tiba di Cafe flower. Cafe yang dekat dengan kampus mereka.
Sesuai namanya tema Cafe ini bunga-bunga. Sepanjang mata memandang banyak dijumpai bunga dari yang hidup sampai wallpapernya juga motif bunga. Bahkan baju pelayannya juga bermotif bunga-bunga.
Eh malah ngelantur enggak jelas. Back to Sabrina and Amy.
"Feeling gue sih gitu bri ... tapi kan lo yang lebih ngerti sepupu lo itu, emang orangnya kayak mana sih? pendiam apa ... kok bisa ada keluarga lo yang nerd secara gue tahu banget keluarga lo..." kata Amy sambil mengunyah makanan yang baru saja dihidangkan oleh pelayan disana. Siapa yang percaya keluarga Herlambang bukanlah keluarga biasa saja. Walau masih kalah dengan keluarga Stele tapi keluarga Herlambang juga keluarga terpandang di Indonesia. Jadi siapa yang berani bermain-main dengan keluarga mereka.
"Terakhir gue ketemu Merry tuh pas masih SMP udah gitu kan lepas SMP kan dia ikut oma di Jogja ... ya gak pernah ketemu paling kasih kabar lewat email aja atau video call tapi pas kita masuk kuliah kita sama-sama sibuk jadi ya gitu deh lost contack sampai terakhir gue denger berita dia meninggal," ujar Sabrina pelan sambil sesekali melahap red velvet pesanannya, " mmm ... jadi ya gue enggak tahu dia seperti apa setahun terakhir ini, tapi emang sih dia itu agak pemalu mungkin karna waktu SMA kan dia homeschooling jadi agak susah buat beradaptasi pas dia kuliah. Setau gue Merry tuh anaknya pinter selalu juara ya sebelas dua belaslah ama gue he ... he ... pas SMP aja kita pasti rebutan juara kelas kalo enggak gue ya dia yang rangking satu,” sahut Sabrina sambil mengingat sepupunya. Pikirannya menerawang, mengingat Merry yang baik hati dan selalu ceria meskipun sedikit pendiam.
"Apalagi pas liat foto terakhir dia yang lumayan culun, mungkin itu sebabnya dia gampang diintimidasi," gumam Sabrina menyimpulkan. Sabrina terakhir melihat unggahan foto Merry pas dia sudah mulai kuliah. Entah apa yang terjadi dengan Merry karena dia melihat banyak perubahan pada penampilan Merry.
Merry yang dia kenal itu memang tidak se fashionable dirinya tapi penampilannya masih wajar. Kadang mereka hang out bareng ke mall belanja baju atau dress. Atau kumpul bareng teman. Semuanya masih wajar menurut Sabrina. Lalu apa yang merubah Merry?
Ah entahlah, kepala Sabrina terasa pusing memikirkannya.
"Ntar kita mulai nanya gitu ya. Tapi sama siapa ya? kelas kita tuh dulunya kelas Merry. Emang gue sengaja minta ama om Barata buat dimasukkan ke kelas yang sama ama Merry,” Sabrina mengernyitkan dahinya tanda sedang berpikir, "ada enggak ya yang kira-kira teman dekat Merry? kita mesti mulai dari teman dekat Merry."
"Lo tanya om lo aja, om lo pasti kenal ama teman Merry sependiam-pendiamnya sepupu lo pasti punya teman kan?” usul Amy yang tumben brilian.
"Iya juga ya ... lo pinter juga," Sabrina setuju sekali dengan usul Amy yang dia rasa patut di coba.
"Iya dong ... Amy gitu loh, “ujar Amy berbangga hati, karena jarang-jarang Sabrina memuji dirinya pinter.
"Baru dipuji gitu aja udah ngefly lo," ejek Sabrina sambil mencibirkan bibirnya.
“Eh, ngomong-ngomong gimana rasanya menclok di d**a bidang Nathan? Kayaknya ada yang keenakan nih?” goda Amy tanpa menghiraukan ejekan Sabrina, dia balas menggoda Sabrina. Emang Sabrina saja yang bisa menggodanya. Dia bisa juga kali.
Sabrina merona tanpa bisa dicegah. Amy merasa takjub dengan hal itu. Pasalnya Sabrina jarang banget tersipu. Momen langkah nih, batin Amy.
“Cie, blushing,” goda Amy lagi.
“Apaan sih lo,” sembur Sabrina kesal.
“Hati-hati jangan main hati, setidaknya dia pacar seseorang,” kata Amy dengan nada yang serius, dia tidak mau Sabrina menjadi pelakor meski untuk orang keganjenan kayak si Nit-nit itu. Sabrina terlalu sempurna untuk melakukan hal hina macam itu.
“Iya gue tahu, Cuma gue merasa pernah mengenalnya entah dimana?” kata Sabrina dengan wajah masamnya. Dia setuju dengan apa yang di katakan Amy. Setidaknya Sabrina sadar harus menjaga jarak dari Nathan dan berusaha melupakan perasaan yang mulai bercokol dalam hatinya.
“Lagi pula sekarang gue dalam tampilan culun begini, orang populer macam Nathan pasti penampilan yang dilihatnya pertama kali, lo enggak lihat betapa jijiknya dia sama gue tadi?” entah saat mengatakannya hati Sabrina terluka.
“Gue ngomong kayak tadi Cuma ngingetin lo aja kok, lo berhak dapat yang terbaik,” kata Amy dengan nada lembut. Sabrina tersenyum manis.
"Balik yuk, kelas kita kayak mau mulai nih," kata Amy lagi berusaha mencairkan suasana yang mendadak kaku.
"Yuk cin!!" seru Sabrina dengan ekspresi ala-ala bencong, sepertinya dia juga tidak mau Amy merasa canggung.
"Ish jijai lo," desis Amy bergidik ngeri. Membuat Sabrina terpingkal-pingkal. Mereka keluar dari Cafe dengan tawa berderai mengiringi langkah mereka.
Sabrina pov
Sepanjang jalan menuju ke kelas aku merasa pandangan para mahasiswi disini menatapku jijik dan sinis. Ck, apa karena kejadian tadi ya. Tapi apa hubungannya dengan mereka? dasar aneh! Apa peduliku?
Dengan langkah santai aku dan Amy berjalan menuju kelas kami, aku masih bisa mendengar para mahasiswa masih saja bisik-bisik ada yang melihat sambil kasih tampang jijik kayak kami berdua tuh makhluk yang punya penyakit menular. Dasar berlebihan.
Tidak ada sedikit pun rasa terintimidasi dari tingkah mereka. Apa urusannya denganku. Dengan langkah masih santai aku dan Amy melewati beberapa mahasiswi. Ada senyuman mencurigakan dari mereka.
Aku yakin ada hal buruk yang akan terjadi. Tapi aku memang menanti hal ini. Mungkin kalian tidak ada yang percaya bahwa ada orang yang memang menunggu dibully.
Yes, orang itu aku. Sabrina Steele. Gadis yang menyamar menjadi Nerd. Demi Merry.
Meskipun aku tidak merasa gentar dengan hal buruk yang akan terjadi, tapi aku yang menyamar menjadi Nerd harusnya merasa ketakutan jika sedang di bully kan?
Aku harus menyiapkan ekspresi ketakutan yang sudah aku latih semalaman. Kini saatnya beraksi. Jangan sampai ada yang curiga dan membuat rencanaku gagal.
Tidak, itu tidak akan terjadi. Meski aku harus rela mendengar hinaan orang lain. Hal pertama yang aku alami semenjak aku menjadi Nerd. Dan kini aku harus siap di bully. Demi misi. Ayo Sabrina semangat!
Action!
Aku seakan mendengar sutradara berteriak karena saatnya aku beraksi. Dia mulai merekam aksiku, saat aku melihat gerakan salah seorang mahasiswi yang mencurigakan. Aku menghela nafas panjang siap beraksi.
Pluk
Sesuatu sengaja dilempar tepat mengenai kepalaku, terasa basah dan lengket saat Aku menyentuhnya. Cairan yang menjijikkan sangat kekanakan, sinisku.
Aku menciumnya, terasa amis. Apa mereka pikir aku ini adonan kue? Seenaknya melemparku pakai telur. Dasar tidak kreatif. Apa mereka tidak tahu harga telur yang meroket? Dasar anak orang kaya bisanya menghamburkan uang orang tua mereka saja. Tidak peduli di luar sana ada yang kelaparan.
Sambil menahan marah aku melihat perbuatan siapa yang sangat kekanakan ini? ‘Ingin rasanya ku mengumpat’ saat mengetahui siapa pelakunya.
Kalian pasti bisa menebak karena sejak pertama menginjakkan kaki di kampus ini aku selalu terkait dengannya. Yap, si Nit-nit dan para pengikutnya. Ck, hari gini masih musim aja bikin geng. Masih aja doyan membully. Mereka pikir keren?
Lihatlah wajah menyebalkan mereka. Berasa dunia ada dalam genggaman mereka. Padahal aku yakin kalau mereka semua itu cemen, beraninya kalau sudah bergerombol begitu. Kalau watu lawan satu pasti mereka langsung kabur. Ck, merepotkan saja. Coba aku enggak harus menyamar segala sudah habis mereka. Kubuat wajahku layaknya anak yang ketakutan karena di bully.
Oh, untuk mendalami peranku ini aku sampai streaming video di mbah Youtube ya. Agak kaget juga sebenarnya.
Ternyata disana banyak sekali orang mengupload kekerasan di sekolah. Betapa kita terlalu menutup mata bahwa ada kekerasan di sekitar kita.
"Itu peringatan buat cewek sok kecakepan kayak lo,” bentak Nit-nit
"Jangan lo berani-beraninya godain Nathan ... dia cowok gue, kalo lo gue liat ngedeketin Nathan mampus lo,” kata si Nit-nit dengan gerakan tangan di lehernya. Dan semua orang pasti akan faham dengan kode itu. ‘Mampus lo’
"Gue udah biasa mampusin cewek nerd yang kegatelan macam lo,” aku terbelalak kaget dengan lanjutan ucapannya. Apa itu artinya si Nit-nit memang pembunuh Merry? Aku masih terpaku tak bergeming.
"Yuk girls,” ajak si Nit-nit berlalu diikuti oleh anak buahnya. Aku tak menghiraukannya. Aku masih membeku akan ucapannya barusan.
"Lo gak Pa-Pa?” tanya sebuah suara yang menyadarkanku akan keterpakuanku barusan. Aku mengerjapkan mataku. Menatap seorang gadis manis berkaca mata. Tadinya kupikir Amy yang menyadarkanku tapi ternyata orang asing. Aku tidak pernah melihatnya. Apa dia beda jurusan ya?
"Gue gak Pa-Pa ... Makasih, apa kita sekelas ?gue belum pernah ngelihat lo, eh ya gue Sabrina ini teman gue Amy. Ehm lo siapa?" tanyaku sambil mencoba membersihkan rambutku dengan sapu tangan pemberian Amy barusan.
"Gu gue Mayang," kata cewek itu terbata. Kenapa dengannya? kayak ketakutan atau kaget gitu deh. Enggak tahu ah, bau amis ini membuatku mual.
Dia menatapku seakan menilai. Apa dia curiga padaku? Jangan sampai dia curiga, batinku. Aku pun berakting ketakutan lagi. Mungkin dia melihatku aneh. Karena langsung tenang setelah di lempar telur. Aku memang sempat shock karena ucapan Nit-nit, tapi setelah dia menegurku tadi aku kembali tenang.
"Gue boleh panggil lo May aja kan?" kataku Sambil mengulurkan tanganku yang gemetar, apa dia sudah tidak curiga? Aku masih berakting seakan aku masih ketakutan dengan sikapku yang seakan tidak tenang dengan melirik sekeliling dengan tatapan takut-takut.
"I ... iya boleh,” katanya masih terbata. Apa anak ini memang terlahir nerd? Kenapa dia begitu tegang padahal didepannya kan aku yang berpenampilan nerd. Apa dia juga pernah di bully?
"Lo jangan cari masalah sama Anita and the geng apalagi sama Nathan and the geng ya, orang kayak kita yang masuk ke sini lewat jalur beasiswa mesti sadar mereka tuh beda kasta dengan kita," kata Mayang dengan nada serius. Entah aku merasa ada yang aneh dengannya. Tapi aku tidak tahu apa itu?
"Emang disini ada ya yang ngebully gitu,” tanya Amy dengan pandangan ingin tahunya. Iya bener, mungkin Mayang bisa kasih kita petunjuk. Selama ini kami hanya meraba-raba saja, tanpa tahu apa atau siapa yang harus kita hadapi. Selain selalu berurusan dengan si Nit-nit itu.
“Yang tadi itu Anita, dia itu ratunya bully,” kata Mayang dengan suara berbisik sambil matanya melirik ke kanan dan kiri. Seakan takut ada yang mendengar ucapannya.
“Oh jadi yang tadi itu Anita,” sahutku bergumam. Selama ini kami memang sering berinteraksi tanpa aku mengetahui namanya. Yang kutahu hanya Nit-nit aja.
"Iyalah ... Dan yang paling ditakuti ya gengnya Nathan dan Anita, apalagi sekarang mereka pacaran makin merajalela saja mereka enggak cuma sama nerd saja sama anak biasa yang masuk gak pake beasiswa pun kalo bikin masalah sama mereka pasti dihabisi sama mereka,” kata Mayang lagi, masih dengan suara pelannya.
"Paling cuma dilempar telur atau disiram air kotor kan, gue sih udah biasa,” kataku sok berpengalaman di bully. Ih amit-amit. Yang ada aku yang selalu membela para anak yang jadi korban bully.
"Mereka kadang juga lebih seram apalagi kalo mereka ngerasa pacar mereka mulai ngelirik cewek lain pasti dihabisi," kata Mayang sambil mendekat ke telingaku dan berbicara sepelan mungkin. Lebih tepatnya berbisik. Bahkan mungkin Amy juga tidak bisa mendengar.
"Dihabisi gimana maksud lo,” tanyaku semakin penasaran.
"Dibawa ke gudang terus dipukul sampai mereka yakin kalo korban gak berkutik," jelas Mayang menceritakan penyiksaan yang dialami di kampus ini. Apa Merry juga mengalaminya? Aku semakin penasaran saja.
"Emang gak ada yang lapor?"
"Semua pada takut ... kalo mereka lapor beasiswa mereka pasti dicabut," kata Mayang dengan raut wajah sedihnya.
"Sayang banget,” kataku mendesah lelah. Coba ada satu korban yang melapor pasti tidak akan ada yang berani membully. Tapi mengetahui fakta kalau Anita anak dekan kampus kurasa siapa pun tidak akan berani melapor. Karena konsekuensinya sudah jelas. Penarikan bea siswa mereka.
"Eh kita dah sampai, omongan gue tadi jangan kasih tahu yang lain ya,” kata Mayang penuh peringatan.
"Ya, “ jawabku dan Amy dengan nada tegas.
Kami pun memasuki kelas dengan langkah pelan, aku bisa melihat nada mengejek dari penghuni kelas. Apalagi Anita dan teman-temannya. Mukanya sungguh menyebalkan. Tak kuhiraukan mereka.
Aku dan Amy duduk dikursi paling belakang. Aku mendesah lelah. Baru hari pertama sudah melelahkan begini. Apa ini yang selalu dirasakan Merry di kampus ini. Kasihan dia harus sendirian menghadapi ini.