Gadis itu mendesah putus asa di tengah guncangan serbuan rudal tuannya. "Aahhh, maafkan saya, Tuan .... oohh, ini terlalu nikmat sampai saya lupa diri. Oohh, hmmmhh, Tuannn Grishaaamm, uuhh, lebih keras lagi Tuan ... hmmmhhh ...."
Sialan, gadis ini membuatnya menggila. Grisham melupakan batas kewajaran dan hati nuraninya. Jika aku mati setidaknya aku mati dalam kenikmatan, batin Grisham. Ia menggojlok Esteva tanpa ampun dan mengerang bersamanya bagai hewan liar di hutan belantara di musim kawin mereka.
***
Well, ternyata ia masih hidup. Puji Tuhan. Grisham bisa menikmati makan pagi keesokan harinya dan makannya luar biasa lahap sampai para pelayan tercengang, jadi bertanya-tanya, siluman apa yang merasuki tuan terhormat mereka sehingga makan serakus itu.
Muka Britanny berkedut-kedut menahan tangis. Tidak ada lagi sepupunya yang elegan dan berwibawa. Grisham seperti gembel tapi berbaju bangsawan. Semua ini karena gadis piaraannya! Esteva tersenyum semringah sepanjang waktu dan menyuapi Grisham sesekali kalau tidak meletakkan aneka makanan ke piring tuannya.
"Tuan, makan yang banyak, Tuan," ujar Esteva. Grisham tampak tidak tahu diri menikmati dimanjakan seperti itu.
Britanny tidak tahan melihat tingkah memuakkan dua orang itu. Ia mengempas serbetnya dan beranjak dari meja makan. "Aku sudah kenyang. Permisi," katanya.
Grisham tidak menyahut karena sibuk mengunyah. Ia menghela napas dalam. Britanny pasti menukasnya dalam hati. Lihat, Grisham, akibat ulah gadis yang kau bela mati- matian. Kau mendatangkan masalah untuk dirimu sendiri. Akan tetapi melihat senyum manis Esteva, kemanjaannya, dan kilatan mata penuh nafsu menatapnya, Grisham merasa itu semua sepadan. Gadis ini akan membuka pintu surga untuknya setiap saat.
Esteva mencoba mengalihkan perhatian Grisham dari sepupu sewotnya. Ia mengusap lembut pipi pria itu, lalu menyentuh dagunya agar menghadapnya. "Tuan, terima kasih untuk malam yang sempurna di kastel ini. Saya semakin menyukai tempat ini dan tentu saja, ehm, saya semakin suka Tuan. Saya tidak sabar menunggu tuan pulang," katanya lalu mengecup pipi Grisham.
Grisham menjatuhkan sendok garpunya dan menjambak gelungan rambut Esteva sehingga gadis itu terdongak dan mendesah kesakitan. "Ahssh, Tuan!"
Grisham mendesis di telinganya. "Ingat ucapanku, manis, jangan berani-berani menyentuh dirimu tanpa kehadiranku. Kau mengerti?"
Gadis itu menyahut disertai senyuman semanis mungkin. "Iya, Tuan, Eva akan mengingat- ingatnya."
Grisham melepaskan Esteva lalu lanjut menghabiskan sisa makannya. Matanya memicing gadis itu yang berlagak merapikan rambutnya, tetapi mengulum senyum penuh arti. Gigitan di bibirnya cukup memberitahu Grisham bahwa Esteva sedang bergai.rah. Gila, kenapa bisa nafsunya tetap naik meskipun dikasari? Esteva memang tidak ada takut-takutnya. Apakah karena dia terbiasa mengendarai gelombang di lautan lepas? Bagaimana caranya membuat gadis petualang liar ini terkendali? Haruskah ia bertanya pada Andreas?
Ugh, bodoh jika ia mendatangi Andreas karena masalah perempuan. Andreas sialan! Baji.ngan berengsek! Apa ia sengaja mengirim gadis ini untuk menjebaknya? Ahhh, kurang ajar!
Grisham harus pergi mengurus pekerjaannya yang tertunda kemarin. Meskipun malam tadi sangat melelahkan, setelah makan banyak ia cukup bertenaga lagi. Sisanya, ia akan beristirahat selama di perjalanan menuju London. Untung kereta mewahnya dilengkapi tempat duduk yang empuk dan posisi nyaman untuk tidur-tiduran.
Esteva dan Alfred mengiringinya ke teras depan untuk melepas kepergiannya. Jonathan, asistennya sudah menunggu di depan kereta.
"Semoga hari ini urusan Anda lancar, Tuan," kata Esteva.
Grisham senang mendengar ucapan itu. Ia naik ke kereta bersama Jonathan. Sebelum pintu kereta ditutup, Grisham mengubit Esteva agar mendekat. Gadis itu patuh mencondongkan tubuhnya ke kereta. Grisham mencengkeram lengannya, menarik untuk membisikinya ancaman kecil yang membuat Esteva tertantang. "Jangan sentuh dirimu! Aku akan tahu jika kau melakukannya. Kau akan mendapat hukuman jika melanggar peringatanku!"
Gadis itu tidak menyahut. Bola mata kelamnya mendelik tajam seakan bicara menyangsikannya. Oh ya?
Grisham melepaskan Esteva lalu gadis itu mundur dari kereta. Pintu wagon ditutup rapat dan terdengar Grisham berujar pada kusirnya agar kereta berangkat.
Esteva memandangi kereta itu sampai keluar gerbang dan tidak terlihat lagi. Ia semringah berbalik ke dalam rumah, akan tetapi agak tersentak ketika berhadapan dengan Alfred.
"Tuan menyuruh saya untuk mengatur jadwal kegiatan Anda selama Tuan tidak ada, Nona," kata Alfred.
Esteva terperangah. "Jadwal kegiatan?"
"Ya, pagi ini Anda punya acara melukis, Nona Esteva. Nona Britanny akan menjadi pembimbing Anda."
"Apa?? Britanny?" Esteva buru- buru mengubah reaksinya menjadi gelagapan kikuk. "Ehm, Nona Britanny tidak menyukai saya. Apa Anda pikir ide yang bagus mengumpulkan saya dengannya? Saya rasa tidak."
"Ya, saya juga merasa tidak, Nona, tetapi Tuan ingin Anda dan Nona Britanny mengakrabkan diri, jadi mari kita usahakan keinginan Tuan terkabul. Bagaimana menurut Anda?"
Esteva tidak menemukan cara menghindar. Padahal tadinya ia ingin ke kamar dan ... entahlah, mungkin mencari kesenangan sendiri. Ternyata malah harus buang- buang waktu bersama perempuan yang paling membencinya. Kalau begitu, sambil jalan ia pikirkan apa yang bisa dilakukannya untuk lepas dari Britanny. Ia berujar pada Alfred. "Baiklah, aku akan menemui Nona Britanny dan belajar melukis darinya."
"Bagus," sahut Alfred. "Silakan, Nona!"
Mereka lalu pergi ke ruang sanggar seni. Di sana Britanny berdiri berhadapan dengan kanvas, membubuhkan warna warni indah melukiskan pemandangan taman bunga. Lukisan Britanny indah, tetapi sayangnya Esteva tidak punya jiwa atau selera seni. Lukisan tidak lebih dari khayalan orang kurang kerjaan.
Alfred menyapa Britanny. "Nona, ini Nona Esteva. Dia siap mengikuti kelas melukis Anda."
Britanny menghunuskan tatapan menentang pada Alfred. "Apa Grisham mencoba membuatku gila juga dengan mengurus piaraannya? Ini benar- benar konyol!"
"Nona, mohon pengertiannya. Tuan ingin Nona Esteva terdidik dan terjaga prilakunya. Anda contoh yang baik untuk mengajarinya."
Britanny mendelik Esteva dan wajahnya langsung mencemooh. "Dia seperti ini karena keinginannya sendiri. Grisham menyuruhku melukis di atas air. Tidak akan ada hasil apa pun mengajari gadis ini kecuali ia ingin aku gila dan mengungsi ke rumah sakit jiwa seperti Caitlin Chemlsford."
"Nona, please," pelas Alfred.
Britanny menarik napas berusaha menyabarkan diri. Akhirnya ia mengalah. "Baiklah, baiklah. Akan aku coba. Demi sepupuku. Semoga Tuhan menolong dia lepas dari segala masalah," gerutu Britanny. Ia lalu berujar pada gadis yang pura- pura lugu itu. "Ayo, Eva, ikuti aku. Ambil peralatan melukis di sana. Kita akan lihat dulu kemampuanmu. Lukis saja apa yang kau sukai."
Esteva berjalan ke arah nakas yang dimaksud Britanny sambil bergumam, "Saya suka alat kelamin Tuan Grisham. Bisakah saya melukisnya?"
Britanny langsung meradang dan menjambak Esteva. "Aku bunuh kau jika melakukannya!" teriak Britanny.
"Gyaaah, berengsek!" teriak Esteva, lalu balas menjambak Britanny.
"Dasar ja.lang!"
Kanvas- kanvas dan peralatan lukis berjatuhan oleh perkelahian mereka. Alfred menghela napas dalam menyayangkan kejadian itu. Ia mengusap wajahnya sendiri. Apa yang harus dilaporkannya pada tuannya nanti?
***
Alfred sedapat mungkin memastikan tugas dari tuannya terlaksana. Britanny dan Esteva dipisahkan oleh penjaga keamanan kastel. Kedua gadis itu disibukkan menghadap kanvas masing-masing. penjaga berjaga tidak jauh dari mereka kalau- kalau hendak berkelahi lagi.
Setelah 1 jam mencoret- coret kanvas tidak karuan, Esteva mendengkus kesal. Ia tidak bisa berdiam diri melakukan hal yang itu- itu saja. Ia butuh ketegangan, keseruan, tantangan, dan kenikmatan. Ia jadi terbayang cengkeraman Grisham, pukulannya, gempurannya, suara berat pria itu tatkala menyetubuhinya, kejantanannya, aroma tubuhnya, keringatnya, seluruh badannya yang berat menindihnya. Segalanya, yang mewujudkan sensasi menggelenyar di dalam tubuhnya. Ooh, daripada melukis, lebih baik ia menggunakan tangannya untuk tindakan yang lebih nyata.
Kaki Esteva mengempit gelisah. Rasanya ada biang di dalam celah sana dan dia harus mencoleknya supaya berhenti. Aah, meresahkan! Esteva mengempas kuasnya hingga berhamburan di lantai. "Aku tidak mau melakukan ini lagi!" sungutnya, membuat Alfred dan Britanny tersentak. "Terserah kalian mau melaporkan apa pada Tuan Grisham. Melukis bukan panggilan jiwa saya. Saya membenci kegiatan ini." Esteva berlari keluar sanggar.
"Nona!" seru Alfred. Ia ingin mengejar Esteva, tetapi Britanny menahan lengannya.
"Biarkan saja dia. Kamu tidak usah menyakiti kepalamu dengan mengurus gadis itu. Gadis manja itu susah diatur. Biar dia kena batunya. Grisham akan menyesal sudah membawa gadis itu ke sini."
Alfred pun akhirnya diam saja. Lagi pula, Esteva bukan anak kecil lagi. Akan jadi masalah jika ia memaksa gadis itu.
Esteva berlari menuju kamarnya, akan tetapi, sampai di sana ia hanya dibuat mabuk kepayang oleh hawa- hawa percintaan liarnya. Esteva meninggalkan kamarnya dengan gusar. Ia berjalan- jalan melihat- lihat ruangan kastel, berpapasan dengan para pelayan dan penjaga. Lambat laun ia merasa gerah karena sorot mata mereka tidak lepas darinya dan berbisik- bisik menggunjingkannya. Sayangnya, ia bukan nyonya rumah itu. Jika ya, maka sudah pasti ia akan mengusir mereka semua ke jalanan.
Ia tidak punya teman di kediaman itu, tetapi teringat ada kuda milik Andreas tertinggal di istal. Esteva pun segera pergi ke istal menemui Blacky.
Di istal, Martin, pemuda berusia 25 tahunan pengurus kuda sedang sibuk menyekop jerami. Ia berhenti sejenak karena kedatangan Esteva, yang sudah dikenal sepenjuru kastel sebagai piaraan tuannya. "Apa yang bisa saya bantu, Nona?" sapa Martin berseri- seri.
"Saya butuh kuda ini," kata Esteva sambil membelai surai Blacky. "Saya ingin mengendarainya, boleh 'kan?"
"Kuda itu milik Viscount Andreas Bradford Bournemouth sebenarnya. Saya rasa tidak akan ada yang melarang Anda karena Anda berasal dari kediaman Viscount," ujar Martin sambil mata nyalang menatap tubuh Esteva.
Esteva tahu arti tatapan itu, tetapi ia pura- pura tidak menyadarinya. "Kalau begitu saya akan mengendarainya." Ia menarik kekang Blacky agar keluar dari kandang, lalu menaiki punggung kuda itu dan siap memacunya.
Martin memperingatkannya. "Nona, Anda tidak mengenakan pelana di kudanya?"
Esteva tersenyum sengiran genit. "Untuk apa? Saya ingin lebih dekat dengan alam dan menikmati berkuda secara alami," katanya.
"Oh." Martin tercengang. Belum sempat ia menasihati, kuda hitam itu sudah melaju bersama penunggangnya. "Nona!" seru Martin. Ia bergegas mengambil seekor kuda warna cokelat, menungganginya dengan pelana, lalu memacunya mengejar Esteva, piaraan tuannya.
Martin berhasil menyusul Esteva karena gadis itu memang menunggunya. Esteva tidak tahu wilayah, Martin akan menjadi pemandunya menjelajah kawasan Winterwall.
Angin sepoi-sepoi menyejukkan siang cerah itu. Esteva membuka gelungan rambutnya sehingga tergerai disapu angin. Roknya tersingkap memperlihatkan sepasang kaki halus mulus. Berguncang di punggung kuda dan di bawah siraman mentari, seluruh kulit Esteva berona bergai.rah. Matanya nanar memandang ke alam sekitar yang dijejeri pepohonan dan sungai kecil. Burung- burung beterbangan, bunga- bunga mekar dihinggapi silih berganti oleh kupu-kupu aneka warna.
Jika Esteva menikmati pemandangan hutan seputaran Winterwall, pemandangan Martin terpusat pada gadis yang menikmati alam bebas. Rambut berantakannya membingkai sensual wajah cantik alami Esteva. Senyum tipis dan kerlingan sayu memiliki satu arti. Menggodanya. Tubuh Martin berdesir hangat oleh sinyal- sinyal yang dikirim Esteva.
"Anda pengendara yang handal eh?" seloroh Esteva terkesan kagum pada kemampuan berkuda Martin.
"Saya tidak akan membiarkan Anda berkendara sendirian, Nona. Saya rasa sudah jelas, Tuan Grisham sangat menjaga Anda." Martin berujar berusaha mengingatkan diri sendiri posisinya.
Grisham. Ah, ya, nama itu mengingatkannya kalau ia terikat sumpah tuan dan piaraan pada pria itu. Bagaimana ini? Ada pria muda yang tertarik padanya. Hmmh, sayang sekali kalau tidak dicoba. Tidak ada seorang pun di sekitar sini, jadi, tidak akan ada yang tahu 'kan kecuali mereka berdua.
Esteva mengarahkan kudanya ke semak belukar dan turun di sana lalu berjalan kaki menuntun kudanya sambil melihat sekeliling. Martin mengikutinya, sebagaimana dirasakan Esteva, pria itu juga penasaran.
"Nona, apakah ini tidak terlalu jauh ke dalam? Mungkin ada ular atau beruang. Saya tidak membawa senjata untuk melindungi kita berdua," ujar Martin.
Esteva tidak menggubrisnya. Ia sering bertarung dengan badai dahsyat di lautan, bertarung dengan hiu dan banteng mengamuk. Ular dan beruang tidak lagi menakutinya. Ia tetap berjalan sampai menemukan tempat yang dirasa cukup mendukung. Ada batang pohon yang cukup besar, melandai di tanah. Bisa bersandar atau duduk santai di situ. "Anda bisa pergi jika takut, Tuan Martin," katanya menyindir pemuda itu.
"Bukannya saya takut, tapi apa yang hendak Nona lakukan di sini?"
"Urusanku sendiri," kata Esteva seraya memutar tubuh menghadap Martin. "Saya tidak mengajak Anda untuk mengikuti saya, Tuan Martin. Ini keinginan Anda sendiri."
Mata Martin memicing tiba- tiba merasa dijebak oleh gadis belia itu. Gadis itu mendekat dan berbicara mendesis di telinganya. "Saya kemari untuk melegakan diri. Jika Anda benar menjaga saya, pastikan ini menjadi rahasia kita berdua saja."
Martin tercengang dan tiba-tiba merasa kering kerontang tenggorokannya. Gadis itu duduk bersandar di pohon dan mengangkat roknya seraya melepas celana dalamnya, menampilkan belahan halus nan menggiurkan di antara dua tungkai kakinya. Belahan itu dibuka lebar dan perlahan tapi pasti, Esteva mengulik lubang halus di situ dengan jarinya.
***
Bersambung ....