Malaikat Maut

1681 Kata
Sepasang kelopak mata yang dinaungi bulu mata lentik terbuka. Canna tidak dapat mengalihkan pandangannya kepada Felix dengan pupil matanya yang mengecil. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat sebelumnya. “Hebat! Apa itu sihir?” Kalimat pertama yang diucapkan Canna setelah kembali ke kenyataan. “Ya, aku melakukan sihir.” Canna terdiam, memaku, dan membisu. Meskipun sejak awal dirinya masuk ke dunia antah berantah ini adalah sebuah ke-irasional-an yang membuatnya tidak habis pikir, melihat hal baru di luar nalar seperti sihir tetap saja membuatnya tidak percaya. “Apa kamu bisa memperlihatkan yang lain? Seperti bagaimana hubungan kedekatanku dengan kedua orangtuaku atau momen bersama teman-teman yang lainnya.” “Tidak bisa. Aku hanya bisa menunjukkan gambaran di mana ada aku di dalamnya. Dalam artian, memori yang kamu lalui saat bersamaku.” “Hm, begitu rupanya, sayang sekali.” Canna bergumam rendah dengan wajah sedikit kecewa sebelum ekspresinya kembali ceria, “Tapi tetap saja, yang baru saja kamu lakukan itu keren!” imbuhnya dengan senyuman. Andai saja Felix bisa membuatnya melihat lebih banyak lagi, dia ingin melihat semua yang telah Cannaria alami sebelumnya. Senyuman yang mirip seperti Canna muncul di wajah Felix, “Kamu sesenang itu hanya karena melihat memori bersamaku?" "Ya. Itu luar biasa." Canna mengangkat dua jempol bersamaan sudut bibirnya yang juga terangkat, tersenyum manis. "Bisakah hilang ingatan mengubah kepribadian seseorang?" Dengan air muka keruh, Felix bergumam rendah. "Apa?" Canna tidak mendengar dengan jelas gumaman Felix yang seperti suara berbisik. "Tidak apa-apa. Kamu mau camilan?" Felix mengambil beberapa bungkus permen cokelat lalu menyodorkannya kepada Canna. "Terima kasih." Canna langsung memasukkan cokelat itu ke dalam mulut, tanpa rasa curiga, "Wah, rasanya lezat dan meleleh di mulut. Aku suka." "Benarkah?" Felix tersenyum dengan ekspresi yang sulit terbaca, "Padahal seingatku kamu tidak pernah mau memakan makanan manis." "Hah?" Canna membuka mata lebih lebar dan ingin meludahkan kembali cokelat itu dari mulutnya. "Lalu mengapa kamu tetap memberikannya padaku?" imbuhnya dengan ekspresi berubah sedikit kaku. ‘Apa dia menyadarinya? Apa dia tahu jika aku bukan Cannaria yang asli? Ayolah, itu tidak mungkin, 'kan? Aku tidak mungkin tertangkap secepat itu oleh pemeran pria kedua,’ benaknya dengan wajah menegang. "Dulu aku memang selalu memberikannya sebanyak kamu menolak cokelat yang kuberikan. Itu sebabnya aku cukup terkejut saat kamu bersedia menerima dan memakannya." "Hm, tidak ingin memakannya bukan berarti tidak akan memakannya. Terkadang aku juga ingin mencobanya." Canna memasang mode dingin yang sudah terlatih. Tiba-tiba, Felix tertawa. "Bicaralah dengan santai seperti tadi. Itu jauh lebih menyenangkan," katanya dengan bibir tersenyum ringan. "Ehm, aku ingin membaca buku." "Silakan. Nikmati waktumu." Canna berpura-pura membaca agar menghentikan pembicaraan di antara mereka. "... Canna." "Hm?" “Tidak. Aku hanya terkejut saat tidak menemukan buku-buku sejarah dan hukum yang sering kamu baca. Sejak kapan kamu mulai membaca n****+?" "Sejak tadi. Lagipula, ini buku milik Emma. Sepertinya dia tidak sengaja memasukkannya dan aku cukup penasaran. Apa ada larangan untukku membacanya?" "Bukan begitu. Hanya sedikit di luar dugaan." "Aku ingin konsentrasi. Jangan mengajakku berbicara dan tidurlah jika kamu merasa bosan." "Baik." Hanya beberapa menit Felix terdiam sebelum kembali membuka mulutnya, "... Canna?" "Apa lagi?" Canna mengerutkan kening. "Bukumu terbalik." "Ah, aku memang baru mau membacanya." Canna berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah di balik bukunya. "... Canna." "Astaga! Ada apa lagi?" "Sepertinya itu bukan n****+ biasa, melainkan n****+ panas. Apa dugaanku benar?" Di detik itu juga, bola mata Canna melebar, hampir keluar dari songketnya. Buru-buru dia menutup buku dan menyembunyikannya di belakang. Dia sudah tidak tahan dengan wajahnya yang mulai merah seperti kepiting rebus. “Jika kamu mengetahuinya hanya karena melihat judul di sampulnya, kamu salah besar! Jadi awalnya, Emma yang memasukkannya dan aku merasa sedikit penasaran. Meskipun judulnya "Permainan Panas Duke dengan Pelayannya" tetapi maksudnya adalah mereka bermain sihir bola api yang panas. Ya, seperti itu. Jadi kamu jangan berpikir yang tidak-tidak, ok!" Canna menjelaskan panjang lebar yang justru terlihat seperti pembenaran. Bukannya memperbaiki isi pikiran Felix, dia justru memperjelas isi pikiran Felix. Felix tersenyum ringan, “Ya, aku mengerti.” Canna bernapas lega karena sepertinya Felix percaya dengan kebohongannya. Entah karena dia terlalu terlalu baik atau terlalu bodoh yang penting dia terbebas dari krisis. Dia tidak ingin mengubah image Cannaria yang dingin dan elegan, menjadi Cannaria yang nakal dan m***m. Brugh! Buku n****+ yang disembunyikan tiba-tiba terjatuh hingga halaman acak terbuka. Terlihat lukisan yang menggambarkan permainan panas Duke dengan Pelayannya dalam artian yang sesungguhnya. Entah berapa lebar diameter bola mata Canna saat ini. Semesta seolah-olah selalu mempermainkannya. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Apalagi Canna yang tidak pandai melompat. Kini dia sudah tidak dapat mengelak. Buru-buru Canna mengambil buku itu dan memasukkannya ke dalam koper. Dengan wajah kikuk, dia benar-benar ingin melompat dari jendela kereta. "Aku tidak melihatnya." "Lupakan saja." "Sungguh aku tidak melihatnya." "Kamu tidak perlu berbohong." "Hm, hanya terlihat sedikit." "Apa kamu mau kubunuh?" Canna kontan mendelik dengan wajah kesal saat Felix menggodanya secara terang-terangan. Felix terkekeh seolah-olah geli di tempat. Dia tidak dapat lagi menahan tawanya. Canna mengerutkan kening dengan wajah semakin kesal. Dia tidak percaya akan ada seseorang yang berani menertawainya dengan kencang tepat di depan matanya sendiri. “Hentikan, Felix!" "Maafkan aku." "Kamu sungguh menjengkelkan.” “Oh, tidak. Tapi bolehkan aku meminjam bukumu? Pfffftttttt!” “Sepertinya kisah pertemanan kita yang indah sudah cukup sampai di sini.” *** Beberapa minggu sebelumnya, di Gilda Four Night. Clemente memasuki ruangan dengan wajah pucat. Selain karena diare yang menyiksanya, sosok Pangeran berjubah hitam yang sedang duduk di kursi kerjanya juga membuat perutnya semakin melilit. "Selamat malam, Yang Mulia. Apakah Anda sudah menunggu lama?" Clemente melakukan salam penghormatan. "Lama." Suara dalam dan rendah Ellios membuat usus-usus Clemente semakin menjerit. "Maafkan kondisi saya yang tidak memungkinkan untuk berada di ruangan, Yang Mulia. Saya memang pantas dihukum." Clemente memelas dengan wajah lesu. "Bagaimana dengan hukuman penggal?" "Ampuni saya, Yang Mulia. Tolong jangan hukum saya," pintanya dengan tidak konsisten. Padahal sebelumnya dia sendiri yang meminta untuk dihukum. Ellios berdecak. "Sudahlah, cepat duduk dan serahkan laporan bulanan. Aku ingin tahu tikus-tikus itu tetap membangkang atau tidak," katanya dengan suara malas. Gilda Four Night adalah satu-satunya gilda yang sengaja dia sisakan. Berkat itu, transaksi apapun yang ada di gilda berada dalam kendalinya. Sebagai pusat informasi, tentu saja tempat itu cukup berguna dan bisa dia manfaatkan sebagai monitor kekaisaran. "Baik, saya akan mengambil laporannya." Clemente beranjak menuju rak buku dan mengambil sebuah buku laporan. Namun, pandangannya bersirobok kepada buku yang tergeletak di tempat sampah dan berada tidak jauh darinya. Iya, itu adalah buku yang sebelumnya digunakan Canna untuk memukul tawon besar sekaligus menampol kepala Ellios. Buku itu juga berisi kriteria pria yang dipesan olehnya. Setelah membaca semua ciri-ciri yang merujuk padanya, Pangeran itu langsung melemparnya ke tong sampah. "Yang Mulia, apakah Anda membuang buku itu?" "Aku justru berniat untuk membakarnya." "Maaf? Dibakar? Apakah ada masalah dengan buku itu, Yang Mulia?" Clemente bertanya-tanya sembari berjalan mendekat setelah mendapatkan buku laporan. Selain sebagai ketua gilda, dia juga kaki tangan sang Putra Mahkota. "Tidak, aku hanya merasa aneh." "Aneh? Jika boleh tahu, bagian mananya yang aneh?" "Aku tidak membunuh seseorang." Tatapan Ellios tanpa emosi, terlihat tenang. Namun, siapapun yang mendengar hal itu tentu bergidik ngeri. Sejak kapan tidak membunuh seseorang adalah suatu keanehan? Clemente terdiam dan membatin, 'Gila! Apakah Yang Mulia sedang membicarakan Putri Perdana Menteri alias wanita yang baru saja keluar dari ruangan ini?' Clemente berdeham karena mendadak tenggorokannya kering, "Apakah Anda menginginkan laporan tentang Putri Perdana Menteri itu, Yang Mulia? Kebetulan saya sedikit memilikinya," ujarnya begitu peka. Beruntung sebelum memasuki ruangan, Clemente sempat mencari data-data tentang Cannaria dibantu oleh Benedict. Dia tidak ingin masuk ke dalam kandang predator tanpa memiliki persiapan. Pintar juga dia. Ellios mengembuskan asap rokok perlahan sebelum menatap Clemente dengan sedikit minat, "Katakanlah." "Lady Cannaria Swan, dia adalah salah satu wanita dari sedikit wanita di kekaisaran yang memiliki kecantikan tak terbantahkan. Meskipun memiliki reputasi cukup buruk, tetapi dia bisa menjadi kandidat istri yang sangat pantas mengingat Ayahnya adalah seorang Per—" "Apa kamu mau kehilangan lidahmu? Jangan mengatakan omong kosong." Ellios menyela dengan wajah dingin dan alis menyatu. Clemente seketika menutup mulutnya rapat-rapat. Dia lupa jika sosok Pangeran di hadapannya adalah Pangeran Neraka yang tidak suka berbasa-basi dan memiliki temperamen tinggi. "Maafkan saya, Yang Mulia. Saya akan lanjut ke intinya." "Hmph." Ellios kembali berdeham dengan wajah malas. "Beberapa bulan yang lalu, Putri Duke mengalami krisis karena kecelakaan jatuh dari sungai. Saya juga mendapat laporan dari salah satu staf menara sihir jika Matthew alias dokter di keluarga Duke mengajukan permintaan tentang penelitian obat untuk hilang ingatan. Matthew tidak mengatakan obat itu untuk siapa, tetapi bisa dipastikan jika obat itu untuk Lady Cannaria." "Hilang ingatan?" Ellios bergumam rendah, "Apa kehilangan ingatan juga bisa menghilangkan kepribadian seseorang? Dia tidak terlihat seperti rumor-rumor yang terdengar." "Entahlah, Yang Mulia. Apakah Anda ingin saya menggali lebih dalam lagi tentang Lady Cannaria?" Clemente bertanya dengan sedikit ragu. Menurutnya, baru kali ini sosok Pangeran Neraka itu merasa tertarik dan bersedia mendengar laporan tentang seorang wanita. Entah ketertarikan itu bersifat suka atau tidak suka, dia tetap merasa tidak biasa. Selama ini, Ellios memang selalu menghindar dari wanita karena kutukan anehnya, 'sentuhan wanita'. Tubuhnya akan terbakar oleh kekuatan sihir api yang dia miliki sendiri. Siapapun wanita yang mencoba mendekatinya selalu berakhir dengan kepala menggelinding ke tanah. “Aku tidak merasakan apa-apa saat dia menyentuhku." Ellios berujar datar dengan pandangan kosong. Dia mengingat kembali saat-saat wanita itu jatuh di atas tubuhnya. Anehnya, dia tidak merasakan sesuatu yang menyiksa seperti yang biasa terjadi. Kekuatan sihir api yang seharusnya melalap dirinya, justru tidak bereaksi apa-apa. Hal itu juga yang membuatnya membiarkan wanita itu keluar dari ruangan hidup-hidup. Clemente bergeming untuk berpikir sejenak, “Bagaimana jika kita bicarakan ini dengan Dokter Corbis? Biar bagaimanapun ini adalah kondisi langka.” Corbis adalah dokter kepercayaan Ellios, satu-satunya dokter kerajaan yang mengetahui tentang rahasia kelemahan sang Putra Mahkota tersebut. Ellios mengangguk datar sebelum beranjak berdiri, “Aku akan menemuinya sendiri di istana. Dan untukmu, tetap selidiki pergerakan wanita itu mulai dari bagian terkecil sekalipun," titahnya berlalu pergi. Oh, Malang sekali nasib Cannaria. Niat hati ingin menjauh dari pemerah utama pria bagaimanapun caranya, tanpa disadari, dia justru mendekat pada malaikat mautnya sendiri. Clemente mengangguk patuh, “Baik, Yang Mulia.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN