'Hm, jadi begini ... penampakan Felix Theodore, karakter utama pria kedua. Ternyata wajahnya jauh lebih tampan daripada yang kubayangkan.'
Canna melamun dan menekuni garis bibir sensual Felix yang sangat cocok dengan wajahnya yang tampan. Saat dia tersenyum, kedua matanya akan menyipit seperti bulan sabit. Dia seperti berhadapan dengan Leonardo DiCaprio semasa muda, pria yang memerankan tokoh Jack dalam film Titanic.
'Bedanya, dia terlihat lebih tinggi dan tubuhnya juga sepertinya lebih oke.'
Pandangan Canna beralih pada paha Felix yang terlipat karena dalam posisi duduk. Celana kain yang dia kenakan seolah-olah memberitahukan jika ada otot-otot menakjubkan di sana. Karena dia seorang kstaria, otot-ototnya pasti terbentuk sempurna.
Dalam perjalanan, Canna justru sibuk menilai proporsi wajah, tubuh, d**a, dan paha Felix seolah-olah dia menjadi juri dalam ajang American Top Model. Otak cantiknya memang luar biasa unik.
"Apa ada yang salah dengan wajahku? Mengapa kamu terus melihatnya?" Felix mengusap pipi dan dagunya yang tidak mulus. Bukan karena jerawat, melainkan karena five o'clock shadow yang membuatnya terlihat semakin jantan. "Aku memang belum mencukurnya. Apa terlihat aneh?"
"Aneh? Ehm, tidak. Sama sekali tidak. Semua itu tetap terlihat cocok untukmu. (Aku bahkan baru melihat wajahnya sekarang)." Canna menjawab jujur dan kembali terhanyut dalam lamunan.
Dalam cerita, Felix adalah seorang penyihir hebat kedua setelah Ellios. Dia adalah ksatria tangguh yang juga melindungi pemeran utama wanita dari marabahaya.
Di sisi lain, kepopuleran Felix di antara para gadis bangsawan juga cukup mengejutkan. Mereka seperti ngengat yang mendambakan sekuntum bunga. Mereka berlomba untuk mendapat perhatian darinya.
Selain itu, Felix juga merupakan sepupu sekaligus sahabat Canna. Circle pertemanan Canna tidak hanya Felix saja. Ada Joanna dan Ellie yang mana sang protagonis wanita. Ya, Felix adalah satu-satunya pria di circle itu meskipun teman laki-lakinya juga tidak kalah banyak. Selain mudah bergaul, Felix juga ingin melindungi Canna seperti yang sudah dipesankan oleh Duke kepadanya.
Sedangkan untuk Ellie, layaknya karakter utama dalam cerita kebanyakan, Felix diam-diam menyimpan perasaan kepadanya. Namun, pemeran kedua tetaplah pemeran kedua. Pada akhirnya, pemeran utama yang akan menang dan bersatu dengan sang protagonis wanita.
Nasib Felix hanya sebagai pelindung Ellie di belakang. Dia terus menjaganya sebagai bentuk ketulusannya. Begitulah pengaturan klise yang sudah ditentukan.
‘Sayang sekali dia harus berakhir menjadi sadboy,' benak Canna yang mengingat-ingat jalan cerita.
"Apa yang sedang kamu pikirkan? Mengapa diam saja saat kuajak bicara?" Suara rendah Felix kembali membuat Canna tersadar.
"Aku tidak sedang memikirkan apa-apa." Canna menjawab sekenanya. Dia menundukkan kepala dan kembali menatap jendela.
“Apa kamu masih merasa sakit? Mengapa kamu tidak pernah membalas surat-suratku?” Felix belum memutuskan pandangan terhadap Canna dan membuat Canna kembali menoleh ke arahnya.
“Surat? Aku memang tidak menyentuh semua surat yang ada di kamar. Semuanya masih terasa begitu asing, begitu juga denganmu. Maafkan aku." Canna merasa sedikit menyesal.
“Tidak masalah. Kamu pasti akan segera mengingatnya.”
“Aku tidak yakin.”
“Apa kamu mau bertaruh?”
“Maaf?” Canna mengernyit heran.
“Ya, aku bisa membantumu mengingatnya lagi, mengingat kembali tentangku.” Felix berujar santai masih dengan senyuman.
“Bagaimana caranya? Bagaimana kamu bisa begitu yakin?”
“Kemarikan tanganmu.”
“Apa?”
“Kubilang kemarikan tanganmu.”
“Ba-baiklah.” Canna memberikan tangannya dengan ragu. Sebenarnya apa yang akan dilakukan oleh pria itu?
“Fokuslah dan pejamkan kedua matamu.” perintah Felix sambil menggenggam erat sebelah tangan Canna.
Canna pun dengan patuh mengikuti apa yang diperintahkan. Dipejamkan kedua matanya hingga mata emerald yang indah perlahan tertutup. Dia mulai berkonsentrasi.
Detik demi detik berlalu tanpa terjadi sesuatu. Hingga tiba-tiba, dia dapat melihat sebuah gambaran layaknya kaset hitam putih yang berputar dalam ingatan.
Sebuah pemandangan asing yang tampak seperti sebuah hutan belantara. Salju turun deras hingga menyelimuti daratan dan sebagian pohon-pohon besar yang tinggi menjulang.
“Wuah! Apa yang baru saja kulihat?” Canna tiba-tiba membuka mata dan menatap Felix dengan raut wajah terperangah.
Felix juga ikut terkejut saat Canna tiba-tiba membuka matanya, tanpa aba-aba dan perintah darinya. “Memori. Baru saja yang kamu lihat adalah memori.”
‘Hm, memori? Memori Cannaria 'yang asli'?’ Terkejut. Tentu saja. Dia baru saja melihat hal yang mustahil dilakukan oleh orang biasa, di kehidupan asalnya.
Mau tidak mau, Canna harus percaya jika hal irasional di dunia ini memang nyata. Siapa yang akan percaya dengan kekuatan magis dan sihir menyihir? Dengan wajah yang masih terperangah, dia sampai tidak mampu berkata-kata.
“Pejamkan kembali matamu dan mari kita lanjutkan.” Felix memberi perintah dengan senyuman.
Canna yang masih dipenuhi keterkejutan mulai mengangguk kemudian dengan patuh kembali memejamkan kedua matanya. Kotak pandora milik Cannaria 'yang asli' pun terbuka dan berputar layaknya kaset hitam putih.
✨✨✨
Suasana dan latar yang terlihat seperti hutan belantara. Lapisan salju menyelimuti pepohonan yang tinggi menjulang di malam yang dingin. Ya, semua itu berputar begitu saja seperti kotak pandora yang terbuka.
"Pergilah monster, Sialan!” Canna berteriak saat tubuhnya jatuh di atas lapisan salju.
Dengan memakai seragam akademi yang terbasahi oleh salju, Canna menatap tajam kepada sosok monster beruang gila yang berdiri di depannya.
Badannya yang besar layaknya beruang pada umumnya, bulu panjang dan lebat berwarna putih, serta kedua mata merah menyala-nyala seperti ada kobaran api di dalamnya. Itu semua pertanda jika dia adalah klan monster.
“Hocus Pocus!” Canna membaca sebuah mantra dengan nada bergetar ketakutan.
Akan tetapi, tidak ada perubahan. Monster sialan itu tetap mengaum dengan keras dan justru berjalan ke arahnya dengan wajah lapar.
BRUKKH!
Tiba-tiba, seseorang melempar kepala monster itu dengan batang kayu besar. Orang itu adalah Felix dan saat itu adalah semester pertamanya di akademi, sama seperti Canna.
Awalnya, Felix sedang berjalan-jalan di hutan untuk mencari kayu bakar sebelum dia mendengar suara jeritan.
Monster beruang itu berbalik dengan wajah marah. Erangannya semakin nyaring dan dengan cepat dia berlari menghampiri Felix.
Dengan gerakan kilat monster itu melayangkan cakaran ke arah Felix yang jatuh terlentang, bersiap untuk mencabik-cabik daging manusia yang tentu terasa lezat di lidahnya.
Felix berhasil menghindar. Dia bergulung-gulung di atas salju meskipun cakaran beruang itu mendarat di punggungnya.
Canna yang melihat Felix dalam bahaya lantas mengambil batang kayu berukuran cukup besar yang sebelumnya dilempar Felix, “Hei! Tangkap!” pekiknya yang kemudian melemparkan batang kayu dengan cepat.
Felix menangkapnya dan bersiap menyerang dengan bantuan sihir di ujung batang kayu.
Diayunkan dengan kuat batang itu dan ditusukkan ke pundak monster dalam sekali serangan. Darah hitam monster itu pun mengucur keluar. Akan tetapi, dia tidak mudah tumbang dan tetap mengerang.
“Hocus Pocus!” Sentuhan terakhir, Felix merapalkan mantra yang sebelumnya juga dirapalkan oleh Canna.
Mantra itu bukanlah mantra untuk membunuh monster melainkan untuk menjinakkannya.
Monster beruang yang sebelumnya dipenuhi amarah, perlahan menjadi tenang. Warna merah di matanya pun berubah menjadi warna hitam, seperti seekor beruang normal pada umumnya. Hingga akhirnya, beruang itu tertidur.
Felix berjongkok dengan gerakan tangannya yang ringan mengelus lembut bulu putih beruang yang terkapar di depannya.
“Apa kamu tidak apa-apa?” Felix bertanya dengan pandangan yang masih tertuju kepada beruang.
“Seharusnya kamu tidak perlu membantuku," kata Canna dengan suara dingin.
"Bagaimana bisa begitu? Paman akan membunuhku jika membiarkanmu terluka."
"Tapi sekarang punggungmu yang terluka.”
“Tidak masalah.”
“Aku tidak suka melihat orang yang terluka karenaku. Aku tidak ingin merasa berhutang."
Felix menyunggingkan senyum, “Bukan itu yang harus kamu katakan di saat seperti ini. Kamu hanya perlu mengatakan terima kasih. Lalu untuk punggungku, kamu bisa membantuku mengobatinya. Dengan begitu kita impas.”
Canna terdiam dan masih tetap menunjukkan wajah datar. Meskipun demikian, dia sedang menyembunyikan kedua tangannya yang gemetar di balik punggungnya.
Dia merasa bersalah saat melihat punggung Felix yang mengeluarkan darah segar karena bekas cakaran yang merembes di seragamnya.
Beranjak berdiri, Felix mengalihkan perhatiannya kepada Canna, “Mantra itu, kamu harus mengucapkannya dengan berirama agar mengesankan tekanan kuat yang eksotis. Dengan begitu, mantranya akan bekerja.”
Canna melebarkan sedikit mata sebelum memalingkan wajah, “Aku tahu. Kamu tidak perlu memberitahuku karena yang terjadi barusan hanya sebuah kesalahan,” ujarnya sedikit angkuh.
Felix terkekeh, “Baiklah,” jawabnya sebelum kembali berbalik dan menyeret kaki beruang dengan kedua tangannya.
“Ke mana kamu akan pergi membawanya?”
“Dereck. Kudengar rumahnya ada di sekitar sini. Mungkin dia bisa mengobatinya.” Dereck adalah salah satu guru di akademi.
“Ck! Menjadi terlalu baik terkadang juga cukup merepotkan,” cibir Canna meskipun dia tetap membantu Felix menyeret kaki beruang dengan kedua tangannya.
Felix tersenyum, “Terima kasih sudah membantu,” ujarnya di tengah perjuangan mereka yang bersama-sama menyeret kaki beruang.
“Ya,” jawab Canna singkat, tanpa minat.
“Berbeda dengan yang mereka katakan tentangmu, menurutku kamu adalah anak yang baik dan manis." Felix kembali bersuara.
"Apa kamu gila?" Penilaian Felix tentangnya justru membuatnya mendelik.
Felix cekikikan dan tidak menghiraukan wajah marah Canna.
"Memangnya apa yang mereka katakan tentangku?" Canna sedikit penasaran meskipun ekspresinya tetap dingin.
Felix hanya tersenyum. Dia tidak mungkin mengatakan sesuatu yang buruk tentang Canna dengan mulutnya sendiri. Rumor-rumor yang beredar tentang Canna di antara murid akademi memang tidak sedikit.
Canna dikenal sebagai wanita dingin dan sombong yang suka semena-mena, wanita tidak tahu diri yang mengerikan, dan wanita Iblis yang hanya terbungkus kecantikan luarnya saja. Ya, itu semua yang disematkan kepada Canna tanpa mengenal Canna yang sebenarnya.
"Apapun rumor itu, aku tidak peduli."
"Ya, aku juga tidak peduli.“
"Memang apa hubungannya denganmu?"
"Aku kan sepupu sekaligus temanmu."
"Memangnya siapa yang mau menjadi temanmu?"
“Jika begitu, maukah kamu menjadi temanku mulai dari sekarang?”
Canna sedikit terkejut. Felix memang pria yang paling kebal dengan sikap dinginnya.
"Aku tidak butuh kebaikanmu dan cukup berikan kebaikanmu pada beruang ini saja.” Canna menjawab datar dengan perjuangannya menyeret kaki beruang. Dia mulai bernapas tersengal-sengal, kelelahan.
“Tapi kamu memiliki hutang padaku.”
Canna menatap Felix penuh tanda tanya. Hutang apa? Seingatnya dia tidak pernah merampas apapun milik pemuda tersebut.
“Mengobati punggungku. Aku terluka karena menolongmu.”
“Ya, untuk itu aku akan mengobatimu. Dasar pamrih,” cibir Canna lirih dengan wajah mencebik kesal.
Felix tersenyum, “Kamu juga akan membantu membawa beruang ini pada Dereck?”
“Ya. Tentu saja.”
“Dan mengobatiku di rumah Dereck?”
“Ya.”
"Dan membantu memasang perban juga?"
"Ya."
“Dan menjadi temanku?”
“Ya." Canna seketika tersadar, "Ah! Tidak!”
Felix terkekeh, “Kamu sudah menyetujuinya. Mulai hari ini kamu adalah temanku, Canna.”
***