Kereta yang tiba di tujuan akhir, Stasiun Pusat Schwerin, berhenti. Canna buru-buru mengepak barang bawaannya dan meninggalkan kabin di antara para penumpang lainnya.
Pita topinya, diikat erat di bawah dagu dan rambutnya yang dikepang rapi bergoyang saat dia mengambil langkah beratnya. Namun, ekspresi optimis itu tidak bertahan lama saat Felix tiba-tiba menggenggam tangannya seperti anak kecil.
Kerumunan besar dan suara kesemutan membuat Canna kewalahan untuk sesaat. Dia terjepit dan didorong untuk turun dari kereta hingga koper yang dia jinjing hampir jatuh. Karena itulah Felix menggandeng tangannya dan membawanya menuju pintu keluar dengan selamat.
Di sisi lain, hingar bingar penduduk yang ada di stasiun disertai asap hitam yang mengepul di cerobong asap kereta api, menjadi pemandangan unik yang bisa dinikmati.
Saat sibuk menikmati keindahan sekitar, dahi Canna tanpa sengaja membentur punggung Felix, “Ah, maaf!”
“Tidak masalah.” Bibir Felix melengkung ringan dan kembali berjalan beriringan.
Mengetahui alamat Akademi Hoover tentu tidak banyak membantu bagi Canna. Beruntung dia datang bersama Felix hingga tidak mungkin tersesat. Kelegaan dari fakta yang jelas itu ternyata cukup besar.
Kegelapan yang jelas perlahan turun di atas kota tempat matahari terbenam. Lampu gas di alun-alun mulai menyala. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, penjaga lampu jalan kembali mengayuh sepedanya dan berangkat ke area gelap berikutnya.
Canna kembali tenggelam dalam pemandangan aneh dan klasik itu untuk pertama kali dalam hidup. Dia dan Felix terus berjalan di sepanjang jalan yang diwarnai cahaya lampu gas, membuat suara langkah kaki bergemerincing. Jalanan di malam hari yang sunyi, dengan kelopak-kelopak yang berguguran ditiup angin yang berterbangan seperti salju.
"Apakah masih jauh?" Canna terhuyung-huyung karena rasa sakit di kaki dan tungkainya.
"Tinggal sebentar lagi. Apa kamu mau aku menggendongmu?"
"Tidak perlu." Canna buru-buru menolak. Bahkan kopernya saja sudah dibawa oleh Felix. Dia tidak ingin lebih menjadi beban.
Setelah mengatur napas, Canna mulai berjalan dengan langkah yang lebih sedikit bertenaga. Kegugupan tiba-tiba terasa saat castil kuno berdiri di ujung barat Tara Boulevard, yang mana adalah letak Akademi Hoover.
Well, Hoover adalah akademi sihir yang biasa dimasuki oleh keturunan bangsawan atau anggota keluarga kerajaan. Setelah memasuki akademi itu, semua murid akan diperlakukan sama meskipun mereka adalah bangsawan atau Pangeran sekalipun. Dalam artian, tidak ada kasta.
"Apa kamu gugup?" Felix menatap Canna yang berdiri di sampingnya dengan wajah terpaku.
"Tidak. Aku hanya masih merasa baru. Kamu tahu 'kan kalau aku sedang hilang ingatan."
"Jangan cemas, ada aku." Felix mengerling jenaka, dan mendapat decakan dari bibir Canna.
Meskipun demikian, Canna kembali merasa sebuah kelegaan karena setidaknya ada Felix di sampingnya.
“Ikutlah denganku.” Felix memandu dan diikuti anggukan oleh Canna.
Mereka berdua memasuki aula Hoover dan disambut dengan cahaya lilin yang bergelantungan di wadah kuningan bercabang tiga, patung-patung berseni tinggi, dan arsitektur yang kental dengan gaya Romawi Kuno.
Berbagai spanduk besar juga terlihat menempel di dinding dan berbunyi SELAMAT DATANG DI HOOVER SCHOOL, HOOVER MEMANG BAGUS, KITA SEMUA ADALAH KELUARGA, dan aneka slogan bahagia lain juga digunakan untuk menyambut para murid baru sekaligus semester ajaran baru.
Setelah masuk lebih dalam, Canna melihat para murid berseragam akademi yang berlalu lalang. Air muka mereka terlihat jernih ketika berkumpul bersama teman-teman mereka.
“Sepertinya kita sudah harus berpisah di sini.” Felix tiba-tiba berhenti di sebuah lorong pertigaan castle.
Canna tampak sedikit bingung. Ke mana dia harus pergi?
“Kamu harus beristirahat di asrama wanita. Atau kamu ingin terus bersamaku?” Suara rendahnya terdengar lembut, tetapi kontras dengan ekspresinya yang nakal.
“Hentikan candaanmu, Felix. Di mana aku harus pergi?”
“Di sana, di setiap pintu sudah tertulis masing-masing nama murid dan kamu tinggal mencari namamu di sana,” jelas Felix sambil menunjuk lorong sebelah kanan, “Dan di sebelah sana, asrama pria. Kamu bisa mencariku di sana jika membutuhkanku,” imbuhnya yang tentu saja menunjuk ke lorong sebelah kiri.
“Baiklah, terima kasih.”
"Sampai jumpa di makan malam nanti."
Canna mengangguk dan tersenyum tipis. Kini, dia berjalan sendirian melewati para murid yang secara terang-terangan menatap ke arahnya. Mereka juga berbisik-bisik dengan wajah sinis.
Mengetahui ketidaksukaan mereka, mendadak Canna dapat merasakan jadi pemeran antagonis yang sesungguhnya. Meski dia hanya diam saja, mereka seperti melihat seorang penyihir jahat pemakan anak kecil yang sedang berjalan.
'Sambutan yang luar biasa,' benaknya dengan langkah yang tidak berhenti.
Canna mengedarkan pandangan, mencari tulisan namanya di setiap pintu kamar yang dilewati. Tiba-tiba, terdengar suara melengking yang memanggilnya dari belakang, “Canna!”
Berbalik, netra emerald Canna bersirobok kepada sosok gadis cantik. Dengan tubuh mungil, rambut pirang keemasan, mata karamel, dan wajah menggemaskan, gadis itu berlari ke arahnya.
“Astaga, aku merindukanmu.” Gadis itu tiba-tiba memeluk Canna sambil mendusel seperti seekor kucing manis yang merindukan pemiliknya.
Canna mematung di tempat. Tubuhnya mendadak kaku, “Maaf, apakah kita saling mengenal?” Dia memang tidak tahu siapa gerangan gadis mungil nan menggemaskan tersebut.
Bola mata karamel gadis itu seketika membulat dilengkapi dengan pupil mata bergetar. Tiba-tiba, matanya yang indah itu berkaca-kaca. “Canna, kamu sungguh tidak mengenalku? Berita tentang hilangnya ingatanmu itu tidak mungkin benar, kan?"
"Maaf, tapi aku sungguh tidak mengenalmu."
"Aku Ellie, sahabatmu."
Canna membuka matanya lebih lebar lagi. Setelah dipertemukan dengan Felix si pemeran pria kedua, ternyata kini sudah waktunya dia dipertemukan dengan karakter utama wanita, Ellie Phillies.
***