Ellen mematut diri di depan cermin kamarnya yang besar, ia sudah siap pagi ini untuk bekerja di Danuarga Group, ia memakai outfit kemeja wanita tanpa lengan berwarna krem dan mempermanisnya dengan blazer warna broken white, ia padukan dengan celana panjang berwarna abu abu dan sepatu high heels berwarna hitam. Tak lupa tas tangan warna hitam favoritnya, ia sudah memasukkan dua buku agenda di dalam tasnya, yaitu agenda milik Alisa dan agenda yang ia miliki.
Ellen kemudian keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga, ia menuju ruang makan dimana sudah ada kedua orangtuanya dan Alisa. Alisa duduk diam dan seorang art sedang menyuapinya, Ellen duduk disamping kakaknya dan mengambil menu sarapan yaitu nasi goreng tak lupa telor mata sapi kesukaannya.
"Kamu yakin dengan apa yang kamu lakukan El? " tanya pak Tyo.
"Ellen yakin pa, Ellen hanya mau tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kak Alisa, itu saja," jawab Ellen sembari menyuapkan makanan dalam mulutnya.
Dimulutnya Ellen mengatakan jika hanya ingin tahu saja kebenaran tentang keadaan Alisa tapi dalam hatinya ia ingin membuat orang yang menyakiti Alisa membayar apa yang sudah ia lakukan, entah dengan jalan apa Ellen masih akan memikirkannya tapi saat ini fokusnya masih pada apa yang menyebabkan Alisa depresi langkah selanjutnya akan ia lakukan nanti.
Setelah selesai sarapan, Ellen pamit pergi kantor walau jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi, masih sangat pagi untuk ukuran kantor di Jakarta yang biasa masuk sekitar jam delapan atau jam Sembilan. Ellen tahu jam kerja Danuarga Group jam Sembilan sampai jam enam sore, delapan jam kerja.
Ellen masuk dalam mobilnya, ia kemudian mengemudikan mobilnya menuju gedung Sora yang berjalarn satu jam perjalanan dari kediamannya.
Ellen membelokkan mobilnya ke gedung Sora dan masuk dalam basement dimana tempat parkir mobil berada, ia kemudian memarkirkan mobilnya dan segera naik menuju lobby. Ia berjalan mendekati rsepsionis yang kemarin ia temui, Ellen ingin bertanya apakah pak Anggara sudah datang karena Ellen diminta menemui pak Anggara.
“Selamat pagi,” sapa Ellen.
“Nona yang kemarin interview kan?”
“Benar,” jawab Ellen tersenyum, “Senang sekali bisa bergabung dengan Danuarga Group, pak Anggara meminta saya untuk menemuinya di hari pertama saya masuk hari ini, apakah beliau sudah datang?” tanya Ellen kemudian.
“Ini masih jam delapan lebih nona, tapi anda beruntung, pak Anggara memang selalu datang pagi walau beliau kepala divisi, jadi silahkan ke ruangan beliau,” jawab reseptionis itu.
“Terima kasih, oh ya kenalkan nama saya Ellen,” Ellen mengulurkan tangannya pada resepsionis yang sepertinya usianya lebih muda darinya.
“Nana.”
“Aku naik ke ruangan pak Anggara dulu ya,” pamit Ellen kemudian berbalik dan berjalan menuju lift, ia menekan angka lima, pintu lift akan menutup tapi sebuah tangan mencegahnya hingga lift terbuka kembali, kebetulan dalam lift hanya ada Ellen seorang diri.
“Sorry,” ucap pria itu.
Ellen mengangguk, ia melirik pria yang berdiri di sampingnya yang kembali menekan lift, ia menekan angka tujuh. Ellen seperti pernah melihat pria itu dan ingatannya melayang pada saat ia di lobby kemarin, dan juga foto pria itu ada di brosur profil perusahaan.
Lift berhenti di lantai lima, Ellen kemudian keluar meninggalkan pria itu, lift kembali menutup dan lift kembali naik. Ellen berjalan menyusuri lorong menuju ruangan pak Anggara.
“Selamat siang,” sapa Ellen pada sekertaris yang ia temui kemarin.
“Hai… bu Ellen, silahkan masuk ke ruangan pak Anggara,” ucap sekertaris pak Anggara.
“Bu Ellen, sorry panggil saja Ellen, kita akan menjadi rekan kerja bukan?” tanya Ellen.
“Bu Ellen akan menjadi kepala divisi marketing, tidak mungkin saya memanggil seperti itu.”
“Kenapa berbeda?”
“staf dan kepala divisi adalah status yang berbeda, panggilan bu untuk tanda hormat bawahan pada atasan.”
“Oh I see, thank you sudah memberikan informasi ini,” ucap Ellen.
“Sama sama bu Ellen.”
Ellen mengangguk, ia berjalan menuju ruangan pak Anggara dan mengetuk pintu ruangan pak Anggara, Ellen kemudian masuk saat mendengar suara pak Anggara yang mempersilahkan dirinya masuk.
Ellen membuka pintu dan masuk, ia kemudian menutup pintu dan berbalik, ia terkejut dengan siapa yang ada di ruangan pak Anggara.
“Arin?”
“Hai Ellen,” sapa Arin yng duduk di kursi yang berseberangan dengan pak Anggara, mereka dipisahkan meja kerja pak Anggara.
“Silahkan duduk nona Ellen,” pinta pak Anggara.
Ellen mengangguk, ia berjalan mendekat dan duduk di kursi yang berada di samping Arin.
“Karena kalian berdua sudah datang, saya akan mulai memberikan arahan untuk pekerjaan kalian, Nona Ellen selamat anda adalah kepala divisi marketing dan Arin ini adalah asisten anda.”
“Asisten?” tanya Ellen menatap pak Anggara dan Arin bergantian.
“Iya benar, mari saya tunjukkan ruangan anda dan memperkenalkan dengan beberapa kepala divisi,” ucap pak Anggara kemudian berdiri diikuti oleh Ellen dan Arin.
Pak Anggara berjalan keluar dari ruangannya diikuti oleh Ellen dan Arin, mereka menuju lorong lain di lantai lima itu, mereka sampai di sebuah pintu besar yang sama dengan pintu ruangan pak Anggara, ada meja dan kursi kerja di depan pintu ruangan itu.
“Ini meja kerja Arin,” ucap pak Anggara menunjuk meja dengan PC dan beberapa peralatan tulis lengkap di meja, Arin segera berjalan ke meja kerjanya dan duduk disana.
“Kamu pelajari saja dulu misi dan visi perusahaan kita, saya akan antar nona Ellen… maksud saya bu Ellen ke dalam ruangannya.”
Pak Anggara mendorong pintu dan membukanya, terlihat ruangan yang luas, sama dengan ruangan pak Anggara, letak kursi, sofa set dan lemari dokumen juga sama persis. Memang setiap ruang kerja kepala divisi di Danuarga Group akan sama, hanya beda job desk saja, Ellen mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, berjalan mendekati meja kerjanya dan meletakkan tas kerjanya disana.
Di meja kerjanya bukan PC tetapi laptop, untuk menunjang pekerjaannya. Walau ia datang dengan tujuan lain tapi Ellen adalah orang yang berdedikasi, akan memberikan seluruh kemampuannya untuk perusahaan yang akan menggaji dirinya.
“Baiklah bu Ellen, silahkan mulai bekerja, setelah jam makan siang akan ada meeting intern perusahaan di lantai sepuluh, kita meeting dengan semua direksi.”
“Baik pak Anggara, terima kasih,” ucap Ellen, pak Anggara kemudian berjalan keluar dari ruang kerja Ellen.
Ellen duduk di kursi kerjanya, ia masih mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kerjanya itu, sangat lengkap dengan lemari es, juga mini pantry. Ellen teringat sesuatu, ia kemudian meraih telepon parallel yang terhubung dengan meja asisten yaitu meja Arin.
“Halo Arin, kamu bisa masuk sebentar?”
“Baik bu Ellen.”
Ellen meletakkan kembali telepon parallel, pintu terbuka dan menunjukkan Arin yang berjalan masuk mendekati meja Ellen.
“Ada yang bisa saya bantu bu Ellen?” tanya Arin.
“Aduh jangan panggil bu deh Rin, saya risih nih.”
“Tapi kan memang seharusnya begitu.”
“Kita kan seusia, jadi panggil Ellen saja, kan tadi kamu juga memanggilku dengan sebutan Ellen.”
“Itu kan sebelum anda jadi atasan saya.”
“Ck… Oke baiklah, kalau ada karyawan lain atau kepala divisi lain kamu bisa panggil aku bu Ellen kalau kita berdua saja, panggil Ellen saja, bagaimana?”
“Tapi…”
“Sudahlah Rin, aku tidak nyaman.”
“Baiklah El, tapi aku tetap asisten kamu, kamu jangan sungkan memerintah aku.”
“Oke fine.”
Arin kemudian keluar dari ruangan Ellen menuju meja kerjanya, ia tersenyum penuh arti, ia kemudian meraih ponselnya dan mengetik sesuatu disana.
Sedangkan Ellen membuka beberapa file di laptop diatas mejanya, mempelajari sistem marketing yang sudah ada di Danuarga Group, Danuarga Group ternyata tidak memiliki satu bidang usaha saja tapi banyak, dan cabangnya juga ada di beberapa negara. Ellen mulai mencari cara untuk mengetahui informasi tentang Alisa, dan itu adalah mengenal dekat beberapa karyawan lama seangkatan Alisa. Ellen bertekad akan memberikan balasan setimpal pada orang yang membuat kakak yang ia sayangi menjadi pribadi yang sangat berbeda, jadi pasien seorang psikiater karena depresi dan bisa jadi ini karena cinta.
Lynagabrielangga.