SADIN HAMIL
Duta bertanya-tanya, kira-kira apa yang dirasakan oleh para lelaki berusia 23 tahun yang baru mengetahui kalau mantan pacar yang telah lama putus ternyata mengandung anaknya? Usia Duta 17 tahun waktu itu. Diusia itu, Duta mendadak menjadi Bapak.
Bapak dari anak yang entah dimana dan bagaimana rupanya.
Duta sadar, sepenuhnya menyadari bahwa waktu itu dirinya yang salah. Salah dirinya yang terlalu terlena dengan kebahagiaan setelah berhasil diterima di perguruan tinggi impian, tak mempercayai Sadin dan malah menuduhnya yang bukan-bukan. Dan terparahnya, Duta memutuskan hubungan mereka dan meninggalkannya begitu saja.
Dasar egois!
Dasar bodoh!
Duta merasa akan semakin bodoh lagi jika dirinya menutup mata dan tak mencari kebenaran yang meskipun telah diyakininya. Duta tetap ingin mendengar penjelasan Sadin langsung, dan jika itu memang sama seperti kesimpulannya maka Duta wajib meminta maaf dan bertanggung jawab akan Sadin dan anaknya. Maka disinilah Duta sekarang, berada di dalam toko tempat Sadin bekerja. Ia bertanya pada salah seorang pegawai disana apakah bisa menemui Sadin. Sayangnya Duta datang disaat tak tepat, hari ini Sadin sedang libur.
"Apa saya bisa mendapat alamat rumahnya?" Duta tak menyerah begitu saja.
"Mas ada hubungan apa dengan Sadin?"
"Saya temannya."
Ayu, pegawai yang melayani Duta saat itu memicing tak percaya. "Mengaku teman tapi tidak tahu alamatnya? Kenapa tidak anda hubungi Sadin sendiri dan menanyakannya langsung?" Awalnya Ayu sempat terhipnotis dengan wajah tampan Duta, beruntung akal sehatnya kembali bisa menguasai diri. Ayu merasa harus curiga, menginggat Sadin tak memiliki banyak teman. Anehnya akhir-akhir ini banyak yang datang dan mengaku teman Sadin, namun Sadin memperlakukan mereka dingin dan tak segan mengusirnya. Ayu takut orang-orang seperti Duta ini adalah orang yang berniat jahat pada temannya, pada ibu satu anak tanpa suami itu.
"Senadainya saja saya punya."
"Anda tidak punya kontak, Sadin?"
Duta memejamkan mata, menahan geraman. "Saya teman SMA-nya. Jadi tolong jangan bersikap seolah saya punya rencana jahat ke Sadin. Dan intinya, Anda ingin memberitahu saya atau tidak?"
"Maaf, tidak bisa. Sadin yang berpesan agar tidak memberitahu informasi tentangnya pada siapa pun."
"Baik, terima kasih." Duta berbalik pergi begitu saja dengan rasa kecewa yang tergambar jelas di wajahnya. Kemana dia harus mencari Sadin? Duta tak yakin bisa bersabar menunggu sampai besok pagi.
***
Dan Duta benar-benar melakukannya, sore hari bahkan saat jam masih menunjukkan pukul 2 siang, Duta sudah berdiri di depan butik. Jangankan jam dua, sejak semalam Duta sudah sangat gemas ingin menemui Sadin. Duta bisa saja menunggunya di pagi hari, tapi itu tak dilakukannya. Duta tahu, Sadin akan menggunakan alasan kerja untuk menghindarinya. Sepercaya diri itukah Duta bahwa Sadin akan menghindar darinya? Ya, mengingat kesalahan apa yang telah diperbuatnya.
Kadang Duta mondar-mandir di depan pintu, kadang juga bersandar pada pembatas lantai. Tak dipedulikannya lirikan curiga security terdekat, ataupun mata pengunjung mal yang mencuri - curi pandang.
Duta sedang bersadar di pembatas lantai, saat Sadin menatapnya dari dalam butik. Sudah berkali - kali Sadin melakukannya, menatapnya dengan sorot tak suka. Namun itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan kegalauan yang Duta rasakan. Duta balas menatapnya tenang, seolah menunjukkan bahwa Duta tak akan menyerah begitu saja hanya dengan sorot mata itu.
Sementara itu di dalam butik Sadin sedang berpikir keras bagaimana cara agar terhindar dari Duta. Sadin tak mau bertemu dengannya, atau perasaannya akan kacau. Sadin tak mau membongkar luka lamanya lagi. Sadin tak mau kembali merasakan benci dan rindu dalam sekali waktu. Sadin tak mau... perasaannya goyah.
"Din, sebenernya cowok itu siapa sih," bisik Ayu penasaran. Gadis itu sudah memberitahunya bahwa kemarin Duta juga datang untuk menanyakan alamatnya, Sadin berterima kasih karena Ayu masih bisa dipercaya.
"Bukan siapa - siapa."
"Dia ganteng banget, Din. Apa mungkin mantan kamu?"
"Tidak.. " Geram Sadin penuh penekanan. "Oh, apa yang bisa gue lakukan untuk ngusir dia?"
Melapor pihak keamanan? Sudah Sadin lakukan. Namun entah bagaimana dua orang security yang merespon laporannya itu langsung pergi setelah menghampiri dan berbicara entah apa dengan Duta. Oh, mungkin Sadin lupa kalau di mal ini nama Duta sudah banyak diperbincangkan sebagai orang yang akan menyulap rooftop mereka menjadi taman indah.
***
Pukul 3 lebih beberapa menit, barulah Sadin dan karyawan lain yang shift pagi keluar dari butik. Duta menegakkan tubuhnya, dan menghadang langkah Sadin.
Tak ada yang bicara, hanya saling bertatap mata dengan berbeda makna. Sampai Sadin yang lebih dulu mengalihkan pandangannya, "Minggir. "
"Apa yang bisa aku lakukan agar kamu bersedia berbicara empat mata denganku?"
"Tidak ada, karena sampai kapanpun aku tidak akan melakukannya."
"Ada banyak hal yang harus kita bicarakan." sejauh ini Duta bisa menguasai diri dengan mempertahankan sikap tenangnya, berbeda dengan Sadin yang tubuhnya kentara sekali menegang. "Apa aku harus memaksa kamu?"
Sadin menatap Duta tajam, "Punya hak apa kamu melakukannya? Sejak 6 tahun lalu, kita hanya orang asing."
"Setidaknya sebelum enam tahun itu, kamu masih menganggapku bagian dari hidupmu?"
"Minggir, biarkan aku pergi." Kali ini Sadin melawan dengan menepis d**a Duta. Lalu berjalan cepat meninggalkannya karena Sadin tahu Duta tak akan membiarkannya begitu saja. Hal itu terbukti dengan terdengarnya suara derap langkah, dan cekalan di pergelangan tangannya.
Sorot mata Duta menajam, kali ini berkilat penuh amarah. "Jadi aku benar - benar harus memaksa sepertinya."
Sadin merinding mendengar desisan Duta, tubuhnya melawan sekuat tenaga. Tapi tentu saja tenaga duta lebih kuat. Duta tak hanya mencengkeram sebelah pergelangan tangannya, tapi keduanya. "Ini tempat umum, Duta. Lepaskan aku, atau aku akan berteriak sekarang juga."
"Lakukan dan aku akan langsung membungkammu dengan bibir ku." ancam Duta membuat sadin benar - benar merasa terancam. Duta menyeringai. "Kenapa? Kamu tidak ingin? Sudah enam tahun kita tidak melakukannya."
"Aku tidak bisa bicara denganmu sekarang, aku harus pulang." Sadin tak berontak, usahanya kali ini hanya bergantung pada kata-kata. "Ada seseorang yang menungguku. Ku mohon, Duta."
"Siapa? Anak kita?"
Deg! Sadin melebarkan mata, nafasnya tercekat selama beberapa detik, dan matanya mulai berkaca-kaca. Oh Sadin, reaksi bodoh macam apa itu? Enam tahun lalu Sadin memang sangat berharap Duta mengetahui itu, bahkn beberapa tahun setelahnya ia masih berharap Duta akan mencarinya. Namun sekarang, setelah berhasil melewati masa-masa sulit sendirian, Sadin tidak berharap Mulya akan kembali.
"Anak? Kamu bercanda?"
"Sekarang aku tahu waktu itu kamu hamil, dan aku tahu aku sudah bersikap bodoh dengan tidak mempercayai kamu. Tapi aku mohon, Sadin. Tolong jangan hukum aku dengan cara menghindari aku seperti ini. Setidaknya kamu bisa maki dan pukuli aku."
Sadin memalingkan muka, ingin mengontrol perasaan agar tak menangis di hadapan Duta. Tapi ternyata hatinya berkhianat, air mata Sadin tetap saja menetes.
Melihat air mata Sadin, Duta merasa seperti sedang disayat silet tajam. Cengkeramanya terlepas begitu saja, tubuhnya mundur selangkah, dan matanya terpejam sesaat menahan perih.
"Boneka Barbie itu, itu untuk dia, kan? Anak kita perempuan, kan? " Duta bertanya bodoh.
"Lalu, sekarang apa maumu?" Tanya Sadin suara terisak tertahan. "Bertemu dengannya? Untuk apa? Selama ini kami berdua baik - baik saja tanpa kamu, dan selamanya akan begitu."
"Aku ayahnya, Din. Bagaimanapun juga aku punya hak atas dia. Dan aku juga harus menebus kesalahanku yang meninggalkan kalian."
"Kamu tidak salah, Duta. Tidak pernah salah karna semua letak kesalahan ada padaku. Tidak seharusnya waktu itu aku terbujuk dengan rayuan kamu dan melakukannya. Tapi jika kamu tetap merasa bersalah, maka lupakan kami. Itu cukup untuk menebus kesalahanmu."
"Itu tidak mungkin" Gumam Duta nyaris tak terdengar.
Sadin memanfaatkan keterpakuan Duta dengan berlalu meninggalkannya. Duta tak mengejar, karena rasanya seluruh tubuhnya lemas sekali. Beruntung tepat dibelakangnya ada kursi sehingga Duta duduk perlahan disana.
Ia benar - benar seorang Ayah sekarang.
Anaknya berusia 5 tahun, dan berjenis kelamin perempuan.
Fakta menyedihkannya, Sadin membencinya dan tak mengizinkannya bertemu anak kandungnya sendiri.
***
Duta marah, entah itu pada dirinya sendiri ataupun pada sikap Sadin. Meskipun sebenarnya Duta mengerti mengapa Sadin bersikap demikian. Pada akhirnya, semua akan berujung pada perbuatannya. Pada kebodohannya yang tak mempercayai Sadin.
Sesungguhnya yang paling disesali Duta dari perpisahannya dengan Sadin bukanlah kehilangan Sadin ataupun rasa sakit akibat patah hati. Melainkan, buah cinta mereka yang terlahir dari kenakalan remaja, lahir dari seorang anak muda tak mengerti apa, dan tumbuh tanpa seorang ayah. Usia Duta memang masih 23 tahun, sama sekali belum terlintas dibenaknya tentang pernikahan apalagi anak. Namun naluri seorang ayah muncul begitu saja saat mengetahui dirinya kini telah menjadi ayah. Nalurinya melarang Duta untuk membuat kebodohan yang sama. Anak itu berhak tahu siapa ayahnya, dan ia pun wajib bertanggung jawab atas materi dan kasih sayang terhadap anaknya itu.
Sungguh sangat besar keinginan Duta untuk melihat rupa anaknya.
Ketika Duta telah mendapatkan apa yang diinginkan, Duta tak sadar ketika itu juga ia melewatkan hal berharga dalam hidupnya. Duta mungkin memang terlambat menyadarinya, tapi kesempatan untuk memperbaiki tak pernah ada batasnya.
***
"Bun.. Bunda... Bundaaaa.. " Mika mengakhiri panggilan terakhirnya dengan lengkingan cukup keras. Sontak saja membuat yang dipanggil berlonjak terkejut, terbangun dari lamunannya.
"Mana, Bunda lihat PR kamu." Sadin menarik buku yang dihadapan Mika. "Mika, kok baru satu sih. Apa kamu nggak bisa?"
Mika mengerucutkan bibir, sambil meletakkan pensilnya di atas meja belajar lipat miliknya. "Mana bisa Mika ngerti kalau setiap Mika tanyain bunda nggak pernah jawab."
"Mika.. tapi ini gampang sekali, sayang" Sadin menatap sedih putrinya. Harusnya mengerjakan penjumlahan sederhana 1 - 10 Mika bisa melakukannya, seperti teman-teman Mika lainnya. Sadin jadi teringat lagi perkataan guru mika sore tadi, bahwa mika termasuk anak yang sulit menangkap pelajaran. Dan menyarankan agar sadin memeriksakannya ke dokter anak.
"Mika nggak mau ah, Bun. Mika mau main aja." Mika bangkit dari duduknya, merangkak naik ke atas tempat tidur dan bermain dengan boneka barbie rekondisinya.
Diumur 3 tahun Mika belum bisa bicara sebagaimana kebanyakan anak seusianya, sampai saat ini pun penggunaan kalimat Mika tak beraturan. Mika tak pernah bisa fokus belajar, dan selalu menangis jika Sadin sedikit menekan. Dan untuk berinteraksi dengan teman dan lingkungan sekitar juga tidak baik. Semua itu membuat Sadin mulai merasa takut. Mungkinkan ada yang berbeda dari Mika disbanding anak-anak normal lainnya?
***
"Anjing! Otak lo kemana, Duta?!” Bagas berteriak kencang tepat di depan muka Duta tanpa peduli sekitar.
Yang diteriaki tak merubah ekspresi, tetap tertunduk seolah keberatan dengan beban di punggungnya.
Bagas kembali bersandar di kursinya, menghela nafas panjang berkali - kali berharap api di dadanya segera padam dan tak membakar hatinya sampai habis. Karena jika ia tak memiliki hati lagi, pasti Bagas akan membunuh Duta saat itu juga.
"Sekarang gue mau tanya sama lo," ujarnya setelah mulai tenang, "apa saat Sadin bilang itu, lo ingat kalian pernah melakukannya?"
Duta hanya mengangguk, dan Bagas kembali tak terkontrol. "Terus kenapa lo nggak kepikiran sampai ke situ, bodoh?!"
"Gue bingung, Gas. Mungkin karena gue terlalu senang karena mau kuliah ke Amerika jadi gue lupa kalau melakukannya sekali saja sudah cukup untuk membuat seorang perempuan hamil."
"Dari awal semua ini salah kalian. Anak kecil sudah berani bikin anak kecil."
"Bagas, tolong. Lo adalah orang pertama yang gue kasih tahu. Gue harap bisa nemuin solusi dari lo, bukan marah – marah, karena gue sudah tahu gue yang salah."
Bagas membuang muka ke luar jendela kedai kopi. Sejujurnya ia sangat marah, dan membenci Duta. Bagaimana bisa Duta yang dikenalnya cerdas, ambisius, dan semua yang dilakukannya dipikirkan dengan baik bisa sampai melakukan hal itu. Kalaupun mereka melakukannya, harusnya mereka berhati-hati dengan memakai alat kontrasepsi. Meski itu tetap saja tidak bisa dibenarkan perbuatan mereka.
"Sadin hamil, saat dia memberitahu, lo tidak percaya dan memutuskan hubungan. Alasan masuk akal kenapa dia sampai benci sama lo. Masalahnya sekarang bukan terletak pada hubungan lo dan Sadin aja, tapi anak kalian. Cari dia, dan tebus semua kesalahan lo.”
***
Persamaan pikirannya dengan Bagas, membuat Duta semakin bersemangat dan bekerja keras untuk mencari alamat rumah Sadin. Jika cara baik-baik tak berhasil, maka cara penguntit mungkin bisa jadi alternatif.
Dari dalam mobilnya Duta melihat Sadin melemparkan lambaian tangan pada 2 orang temannya saat mereka akan berpisah di depan pintu keluar mal. Sementara kedua temannya itu berjalan ke arah jalan raya, Sadin berbelok ke parkir khusus karyawan. Duta bersabar menunggu, tak lama keluarlah seorang pengendara motor keluaran lama yang diyakininya adalah Sadin. Hati Duta sakit, jadi sedan mewah yang biasa mengantar Sadin kemana-mana, kini berganti motor butut?
Dari jarak yang dirasanya aman, Duta mengikuti laju motor Sadin dari belakang. Hatinya berdebar kencang selama perjalanan. Karena melihat Sadin meliuk-liuk dianatra kendaraan lain, rasa ngeri seandainya Sadin tak bisa menguasai motornya lalu tersempet, terjatuh, atau bahkan tertabrak. Sungguh Duta tak percaya Sadin yang dikenalnya manja bisa melakukan itu dengan selamat. Dan, debaran jantung Duta semakin keras saat Sadin memarkirkan motornya di depan sebuah bangunan dengan plat papan yang menunjukkan bahwa bangunan itu adalah taman kanak - kanak, sekaligus tempat penitipan anak.
Itu tempat anaknya, Sadin menjemput anaknya, anaknya akan keluar sesaat lagi.
Duta menegakkan duduknya, menyiapkan mata dan hati agar tetap bisa setenang ini. Sampai tampak seorang anak perempuan berambut panjang berlarian lalu menubruk pinggang Sadin dengan tawa menghiasi wajahnya. Sadin mendekap tubuh mungil itu, ikut tertawa lalu menciumi wajahnya berkali-kali. Duta sudah mulai resah di tempat duduknya.
Lalu keluarlah seorang wanita berhijab keluar dari sekolah, lalu berbicara dengan Sadin. Saat itulah anak kecil itu tanpa sengaja menoleh tepat ke arahnya.
"Mika... " Gumam Duta seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Anak kecil yang kini berada di pelukan Sadin, sama persis dengan anak kecil yang bersamanya di taman beberapa hari lalu. Duta menggeleng pelan, masih tak bisa mempercayai ini. "Tidak, tidak mungkin... "
Jadi, Mika adalah anaknya?
Takdir macam apa ini?