Sore itu Duta memberanikan diri datang ke alamat rumah yang diharapkannya masih ditempati pemilik yang sama saat enam tahun lalu. Duta berdiri di depan gerbang rendah bercat hitam itu, menatap bangunan yang tak banyak mengalami perubahan. Hanya taman depan yang kini lebih kosong, tak ada lagi tanaman hias berbagai bentuk dan warna menghiasinya. Rumah itu terkesan dingin dan hampa.
Itu adalah Rumah keluarga Sadin. Duta sengaja datang, untuk mencari Sadin. Meminta maaf, dan membicarakan semua masalah yang belum terselesaikan.
Tidak ada yang salah memang dari pekerjaan seorang pegawai toko pakaian. Hanya saja itu sedikit tak masuk akal jika mengingat latar belakang keluarga Sadin, prestasi Sadin di sekolah, serta semangat Sadin ingin segera lulus SMA agar cepat mencapai cita-citanya. Sebelum semangat itu berubah digantikan menjadi rengekan kekanakan, melarang Duta untuk meninggalkannya. Gilanya, Sadin meminta Duta menikahinya dengan berbohong mengaku hamil. Konyol sekali.
"Kak Duta?"
Duta menoleh ke belakang dan menemukan seorang gadis berjas almamater sebuah perguruan tinggi negerti di Indonesia. "Nadia?" Gadis bergaris wajah mirip Sadin itu tersenyum tipis.
***
Tak jauh dari rumah Sadin terdapat perempatan yang biasa digunakan abang tukang bakso mangkal menjajakan jualannya. Disanalah mereka sekarang, atas ajakan Nadia dengan sengaja agar jangan sampai Duta masuk ke dalam rumah dan bertemu papanya, atau urusan akan menjadi panjang dan rumit. Tujuan Duta kesana sudah tertebak, untuk mencari Sadin.
"Kak Duta nyari kak Sadin?"
Pandangan Dua menunduk pada gelas bening berisi teh hangat yang dipesannya dari abang tukang bakso. "Ya, dia masih tinggal disana kan?"
"Kenapa tiba-tiba?"
"Baru beberapa minggu aku kembali ke Indonesia. Sejak lama aku memikirkannya, jadi ini bukan tiba-tiba."
"Apa urusan Kakak disana lebih penting daripada Kak Sadin?"
"Aku hanya ingin fokus pada pendidikanku."
"Dengan meninggalkan Kak Sadin?"
"Itu yang terbaik saat itu. Apalah arti pacaran, kalau cuma akan menjadi penghambat kesuksesan. Belajar dan bekerja, itu yang dibutuhkan anak berusia 17 tahun untuk masa depannya sendiri."
Duta mengeryit, mempertanyakan apakah ada yang salah dengan jawabannya saat Nadia tertawa sumbang. Sebagi seorang mahasiswa yang artinya orang terdidik, harusnya jawaban Duta bisa diterima Nadia dengan masuk akal. Di usia mereka, prioritas pertama haruslah mengejar cita-cita. "Ada yang salah dengan jawabanku?"
Masih dengan senyuman mengejeknya, Nadia sedikit memutar tubuh hingga bisa menatap penuh Duta. "Iya, jawaban Kakak menunjukkan bahwa Kakak lebih naif dari Kak Sadin."
"Apa maksud kamu?"
"Kakak egois."
Egois? Ada bagian hati Duta menolaknya. Atas dasar apa Nadia berkata seperti itu. Oh, atau ini masih ada kaitannya dengan hubungannya dengan Sadin? tentang pertemuan terakhir mereka. "Egois? Apa ini karena aku memutuskan kakak kamu?"
"Meninggalkan dia lebih tepatnya."
Kali ini Duta lah yang tertawa sumbang, “ternyata kakak beradik sama saja ya, cara pandang kalian sama. Menanggap pacaran segalanya. Sayangnya aku bukan orang seperti itu, aku nggak mau melepaskan impianku hanya demi seorang gadis. sekalipun gadis itu Sadin, gadis yang aku cintai."
"Jangan ngaku cinta, kalau Kakak nggak tahu dimana Kak Sadin sekarang."
"Karena itulah aku mencarinya."
"Terlambat." Desis Nadia muak. "Kalau memang peduli, harusnya sudah sejak enam tahun lalu Kakak mencarinya. Kak Sadin sudah hancur sejak enam tahun lalu. Benar - Benar hancur. Aku ragu sekarang kita masih bisa melihatnya utuh atau tidak."
Duta menarik nafas gusar, beberapa lama memikirkan perkataan Nadia, Duta tetap tak mengerti maksudnya. Disini Nadia yang terlalu berbelit - belit, atau malah Duta yang terlalu bodoh.
"Kalau maksud aku menghancurkan Sadin adalah dengan memutuskannya, maka aku sarankan agar kamu bisa belajar tentang kehidupan. Apa yang harus kamu lakukan, apa yang akan kamu dapat, dan apa yang akan kamu berikan. Sia - sia sekali hidup, kalau hanya untuk pacaran."
"Jangan mengajari orang lain bagaimana seharusnya hidup baik itu, nyatanya Kakak tidak tahu apa-apa." Teriak Nadia emosi. Gadis berusia 20 tahun itu tak bisa lagi membendung kemarahanya pada Duta. Itu membuat matanya memerah, dan perlahan mulai mengabur oleh genangan air mata.
"Kalau begitu katakan apa yang tidak aku tahu itu." Tanpa sadar Dura terbawa emosi, belakangan ini dirinya sudah terlalu lelah memikirkan perubahan sikap Sadin. "Katakan apa yang membuat Sadin menolak teman-teman, bekerja jadi SPG, dan menangis hanya karena sebuah boneka Barbie."
"Apa? Kak Sadin...," gumam nadia tercekat, bersamaan dengan air matanya yang mulai menetes. Perkataan Duta bagai petir di musim kemarau, sangat mengejutkan. Setelah sekian lama tak mendengar kabar tentang Sadin. Sungguh Nadia tak berharap kabar itu yang didengarnya. SPG dan boneka barbie? Menolak teman - teman. Menjadi SPG. Dan boneka Barbie. Yah, Nadia tahu mengapa Sadin melakukannya.
"Dimana? Kak Sadin jadi SPG dimana, Kak?"
Kening Duta berkerut dalam. "Kamu tidak tahu? Dan, kenapa kamu menangis seperti ini?"
Nadia tak menjawab, karena pikirannya nyalang membayangkan kehidupan kakaknya saat ini. Pasti berat dan kesepian. Saat mendengar Duta memanggil-manggil namanya, Nadia mengerejap cepat. Lalu bangkit berdiri, "Semua ini gara-gara kamu, Kak. Kak Sadin mengalami hidup berat karena kakak. Aku senang dia membenci kakak, tapi aku sedih karena dia juga membenci kami semua. semua ini gara-gara kamu, kak Duta."
"Nadia tunggu..." Duta berhasil mencekal lengan Nadia yang berjalan cepat meninggalkannya.
"Aku benar-benar bingung, tolong jangan buat aku semakin kacau seperti ini." ucapnya penuh permohonan. Sementara itu abang pedagang bakso dan 2 orang pembelinya menatap mereka, sekedar mengawasi jika saja hal buruk terjadi. Seperti Duta berbuat jahat pada gadis cantik itu.
Nadia menghapus air mata cepat. "Enam tahun lalu. Jika kakak memang mencintai Kak Sadin, tolong ingat-ingat apa yang Kak Sadin katakan pada pertemuan terakhir kalian. Hari terakhir kak Sadin bertemu denganmu, itu juga menjadi hari terakhir kami bertemu dengannya. Ingat-ingat, Kak. Kalau Kakak masih belum menemukan jawabannya, berarti kakak tidak layak disebut pria, tidak pantas menjadi seorang ayah seumur hidup Kakak."
Duta membatu ditempatnya, tubuhnya kaku dan cengkeramannya di lengan Nadia terlepas begitu saja. Tanpa mengucapkan selamat tinggal, Nadia berlari meninggalkan Duta. Gadis itu sedih memikirkan Sadin, dan marah pada Duta.
Sebelum hal iu terjadi, Sadin adalah anak baik bagi kedua orang tuanya. Tidak pernah banyak menuntut, tak pernah membantah ucapan orangtua. Sikapnya terkenal hangat dan ramah pada siapapun. Aktif pada setiap kegiatan sekolah dan selalu menjadi bintang kelas. Dan Sadin adalah Kakak yang baik baginya. Selalu membantunya mengerjakan PR, tak segan berbagi barang, serta pendengar yang baik untuk semua keluh kesahnya. Intinya, Sadin tak pantas menanggung seorang diri penderitaan ini. Itu tidak adil.
***
Duta sedang berada di ruang hampa yang seluruh penjuru berwarna putih. Duta berjalan lurus kedepan namun tak kunjung menemukan ujungnya. Akhirnya Duta lelah dan hanya berdiri menatap sekeliling dengan perasaan takut.
Semakin lama di sana, semakin membuat Duta pusing. Sambil menahan tangis, Duta berteriak minta tolong. Namun yang terdengar hanya pantulan suaranya saja yang menggema beberapa kali dan terdengar menyeramkan. Di saat Duta berada di ujung batas kekuatannya, sebuah kabut tebal muncul di depannya. Kabut itu bergerak perlahan seolah mengajaknya untuk ikut bergerak. Air mata Duta terhenti, ketika kakinya mulai mengikuti kabut itu.
Semakin lama, kabut itu semakin menipis. Yang tadinya kehitaman, perlahan menjadi putih, dan tembus pandang. Di balik kabut itu, Duta bisa melihat seseorang. Seorang wanita berambut panjang dan memakai gaun putih selutut. Kakinya telanjang tak beralas, dan rambut lurusnya sedikit kusut. Duta ingin sekali berteriak memanggilnya, namun anehnya suaranya tiba-tiba saja hilang. Kabut itu nyaris hilang, pandangannya semakin jelas. Dan selain wanita itu, ternyata ada seorang anak kecil sedang bergandengan tangan dengan wanita itu. Anak kecil berjenis kelamin perempuan dengan pakaian serupa dengan wanita itu, bedanya hanya terletak pada rambut mereka. Anak itu memiliki warna rambut kecokelatan.
Siapa mereka? Duta bertanya - tanya. Apa mungkin mereka orang yang terkena sial dengan terdampar di tempat ini? sama sepertinya.
"Tunggu..." panggil Duta lantang. Duta hanya ingin memberitahu bahwa tempat ini tak berujung.
Wanita dan anak kecil itu menghentikan langkahnya. Lalu di wanita memutar kepala, menoleh padanya, hanya si wanita saja.
"Sadin?" Gumam Duta hanya terdengar oleh telinganya sendiri.
Wanita itu, Sadin menatap Duta sengan, tak terbaca. "Aku hamil, Duta. Jangan pergi. Nikahi aku."
***
Duta tersentak bangun dari tidurnya. Pada hembusan nafas ketiga, barulah ia baru benar-benar sadar bahwa situasi mengerikan itu ternyata hanyalah mimpi.
Nafasnya masih tersengal, saat Duta menyadari tubuhnya terduduk di atas ranjang. Keringat dingin terasa mengucur dari pelipis dan bagian tubuh lain, membuat bajunya basah oleh keringat. Duta melirik sekelilingnya, ya, ini benar kamar tidurnya. Duta menarik nafas panjang, lalu menyugar rambut dan turun ke wajahnya.
"Tadi itu apa?" bisiknya bertanya pada diri sendiri.
"Aku hamil, Duta."
"Nikahi aku."
"Jangan pergi"
"Aku hamil."
"Aku hamil."
"Aku hamil."
Suara itu terus saja berdengung ditelinganya, seperti gerombolan nyamuk dalam kegelapan. Menganggu, menyakitkan, dan membingungkan. Duta ingin mengusirnya, namun ia tak tahu memakai apa dan dimana sumber penganggu itu. Hingga Duta menyerah dan hanya bisa menjambak rambut sebagai pelampiasan.
Apa benar Sadin hamil? Jika iya dan itu karenanya, itu berarti enam tahun lalu Sadin tidak berbohong. Perkataan yang Duta pikir adalah alibi konyol Sadin untuk tetap bersamanya bukanlah omong kosong. Maka Duta mengerti sekarang mengapa Sadin jadi sangat membencinya, kebencian Sadin masuk akal.
***
Mika menangkup kedua tangannya di d**a yang dilapisi apron kedodoran, apron milik Sadin dan seharunya dipakai oleh Sadin pula. Hanya karena ingin terlihat seperti chef beneran, Mika memaksa untuk memakainya meskipun apron itu sudah seperti daster ditubuh mungilnya. Apron yang awalnya berwarna pink itu kini menjadi putih, belepotan oleh tepung, cokelat dan telur. Wajahnya juga tak sebersih saat ia keluar dari kamar mandi sehabis mandi. Mika menunggu dengan sabar Sadin yang sedang membuka oven kompor miliknya, mengeluarkan sebuah loyang alumunium tempat cookiesnya dipanggang.
Aroma cokelat langsung menyerbak, Mika memekik senang dan meminta Sadin untuk segera meletakkannya di atas meja. Mika naik ke atas kursi untuk menjangkau tinggi meja, menatap kagum cookies yang bentuknya tak sama. Beberapa ada yang bulat sempurna, beberapa lagi malah tak berbentuk. Cukup sebagai penanda siapa yang membuanya.
"Mika, panas..." Beruntung Sadin bisa menahan tangan mika yang hendak mencomot satu cookies, "tunggu sebentar lagi sampai dingin."
Mika mengerucutkan bibir lucu, "Ah, Bunda, Mika kan mau nyoba."
"Nanti, setelah cookies-nya dingin dan setelah kamu membersihkan badan kamu. Yuk, cuci muka dulu."
Mika menyambut uluran tangan Sadin dan pelan-pelan turun dari kursinya, saat akan memasuki kamar mandi, terdengar suara ketukan pintu. Sadin menyuruh Mika untuk melakukannya sendiri, sementara ia membuka pintu.
Sadin tak perlu memutar batang kunci untuk bisa membukanya. "Oh, kamu datang diwaktu yang tepat."
Seorang lelaki berkulit sedikit gelap tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya. "Karena aku mencium aroma cokelat hangat, jadi aku langsung mampir."
Sadin mencibir candaan lelaki yang tak lain adalah Martin. "Mika sedang di kamar mandi, duduk di sini saja nggak papa kan?" Sadin menunjuk dua buah kursi plastik dengan kerlingan matanya.
Disini merupakan perkampungan padat penduduk, para tetangga mengenal Sadin sebagai seorang janda beranak satu. Martin menangguk mengerti. "Baiklah."
Sadin balas tersenyum dan masuk ke dalam rumah lagi, tepat ketika Mika keluar dari kamar mandi dengan wajah bersih. Sadin membantu melepaskan apron yang sentengah basah. "Diluar ada Om Martin, tuh."
"Oh ya?"
"Kamu ke sana, Bunda akan siapkan cookies-nya."
Mika berlari keluar, dan Sadin kembali ke dapur. Cookiesnya masih terasa hangat, namun justru itu temperatur kesukaanya. Satu persatu Sadin meletakkannya ke dalam piring, lalu menuangkan sari jeruk ke dalam tiga gelas berukuran sama. Dari dapur saja Sadin sudah bisa mendengar suara tawa Mika dan Martin. Dari semua anak-anak tante Diana, hanya Martin lah yang tidak pernah memandang Sadin dan Mika sebelah mata.
"Cookiesnya datang..."
***
Bagi Mika, seorang anak kecil dengan keterbatasan finansial bundanya, tidak sulit untuk membuatnya senang. Hanya dengan dibukakan aplikasi game kesukaan di ponsel pintar dan membiarkannya bermain sampai puas. Mika langsung larut dalam kesenangan yang barangkali telah disepakati seluruh anak kecil di seluruh dunia.
Sadin mengalihkan pandangannya dari Mika kepada Martin. "Lihat, Mika sangat asyik, aku takut dia tidak mau mengembalikannya nanti."
"Mika anak penurut, dia bisa mendengarkan kamu dengan baik."
Dalam hati Sadin mengucap syukur, ternyata bukan dirinya saja yang merasa demikian. "Itu karena dia masih kecil, dia masih polos."
"Ngomong-ngomong soal polos," Martin mengingat sesuatu, "tidak seharunya kamu dan Mama mempercayakan Mika bermain bersama orang asing itu."
"Orang asing? Oh, maksud kamu Kakak sepidermannya Mika?" Martin tak perlu membenarkan, dan Sadin pun memang tak membutuhkannya. "kamu tenang saja, buktinya Mika tidak apa-apa. Sebaliknya, Mika malah kelihatan senang sekali."
"Bagaimanapun juga dia tetap orang asing, Sadin." terselip nada geram disana.
Sadin malah tertawa. "Astaga, bahkan Mama kamu tidak selebay itu. Bukankah dulu kamu juga orang asing untuk aku dan Mika."
"Kamu tidak tahu kenapa Mama bisa sepercaya itu sama dia."
"Kenapa?" bibir Sadin berkedut menahan tawa. Baginya selalu menyenangkan setiap kali mengobrol dengan Martin. Sayangnya Martin tidak tinggal bersama tante Diana, pekerjaan Martin mengharuskannya tinggal di luar kota sementara waktu.
"Karena... " ucapan Martin tertahan di ujung lidah, lelaki itu mendesah kasar. Kentara sekali ia tak mau mengatakannya. "Karena dia genteng." Pada akhirnya kalimat itu terucap juga, meskipun sangat pelan hingga nyaris tak terdengar.
Tawa sadin seketika meledak, "Merasa kalah ganteng nih ceritanya"
"Kamu tahu aku orang yang suka berterus terang. Ya, ku akui dia memang lebih ganteng dari aku."
"Oh, ya?" Sadin berusaha agar tak melukai perasaan Martin dengan menekan kuat tawanya. "Seganteng apa dia?"
“Bisakah kita hentikan pembahasan tidak penting ini?"
"Okay, jadi hal penting apa yang perlu kita bahas?" Sadin masih bernada jenaka.
Namun sikap jenaka Sadin tak disambut Martin sebagai mana mestinya. Air muka Lelaki yang tahun ini usianya akan memasuki usia 30 tahun itu mendadak serius. Seperti memang ada hal penting yang ingin diungkapkannya. Dan tarikan panjang nafasnya, menjadi pembuka. "Hal penting yang belum juga kamu jawab hingga detik ini."
Sadin, wajah jenakanya langsung memudar. Ia mengerti betul apa maksud lelaki yang menolak dipanggilnya Kakak itu. "Itu, aku - "
"Masih memikirkannya?" Tebak Martin Tak sepenuhnya menebak, Martin hanya sudah hafal jawaban Sadin setiap kali Martin menyinggung hal ini. Kepala Sadin yang menunduk seolah menyesal, membuat martin tersenyum miris.
"Sampai saat ini tawaran ku masih berlaku, tapi aku tidak tahu sampai kapan bisa menunggu. Sudah setahun lebih, selama itu aku bersabar menunggu jawaban kamu untuk menerima atau menolak lamaranku."