bc

Mika | Malaikat Kita

book_age18+
176.0K
IKUTI
636.9K
BACA
family
second chance
independent
brave
confident
single mother
drama
bxg
city
like
intro-logo
Uraian

Kebodohan masa remaja membuat kehidupan Sadin dan Duta tak berjalan sebagaimana umumnya. Ini seperti karma atas apa yang mereka lakukan sebelumnya.

Sadin harus menjadi Ibu tunggal di usia begit muda untuk malaikat kecilnya bernama Mikayla. Mereka hanya memiliki satu sama lain untuk menguatkan melewati hari-hari berat.

Karma Duta baru dirasakan enam tahun kemudian. Disaat Duta berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan, dia baru sadar ada hal lebih besar yang ia lewatkan.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 01 Noda dan Luka
Tampak sebuah ruangan sepi yang jelas sekali sudah tak digunakan lagi sebagai ruang belajar mengajar. Terletak di belakang sekolah, ruangan cukup luas itu berdiri sendiri tanpa bangunan tetangga. Pak Yusri, salah seorang petugas kebersihan mengatakan tidak pernah lagi membersihkan tempat itu karena sebentar lagi pihak sekolah akan membongkarnya dan menjadikannya lapangan basket dalam ruangan. Sementara ruangan itu digunakan sebagai gudang bangku-bangku rusak yang dipenuhi debu dan sarang laba-laba di beberapa sudutnya. Tidak ada siswa yang iseng nongkrong di sana di jam istirahat. Saking sepinya, sampai-sampai ada yang mengaku pernah melihat hantu di sekitar situ. Di antara sepi itu, samar-samar terdengar suara desahan erotis yang berpacu dengan deru napas memburu. Bergeser sedikit, tampak sepasang siswa-siswi sedang b******u dengan mesranya. Jangan bayangkan ciuman malu-malu ala anak SMA, karena yang mereka lakukan adalah mempraktekkan adegan film dewasa. Sang gadis ditekan oleh sang pemuda hingga bersandar di tembok, menerima dengan pasrah setiap serangan berupa kecupan, sentuhan, gigitan, dan tiupan menggoda. Mereka tampak begitu menikmati. Entah menyadarinya atau tidak, pakaian mereka sudah tak terpasang sebagaimana mestinya. Seluruh kancing terbuka, begitu pun ritsleting celana. Keadaan rok si gadis tak kalah mengenaskan, terangkat di pinggang dengan celana dalam turun menyentuh mata kaki. "Duta..." gadis itu mendesah saat merasakan batang keras digesekkan ke k*********a. Matanya terbuka, menatap pemuda yang juga menatapnya sayu. Sesaat mereka hanya saling memandang, menghantarkan perasaan masing-masing. Duta, pemuda itu mengecup kening Sadin lembut lalu mengusap titik air mata di sudut mata kekasihnya itu. Sadin kemudian mengangguk sekali dan memejamkan mata kembali, saat itulah Duta mulai begerak menuntaskan hasrat mereka. Kegiatan nekat yang dilakukan di sekolah di saat semua warga sekolah sedang sibuk melakukan class meeting akhir semester. Ketika gelombang besar itu datang menerjang rahim sadin, ketika itulah mereka tak lagi sama seperti saat mereka keluar dari rumah pagi hari tadi. "Aku sayang kamu." "Aku juga sayang kamu." *** Sudah beberapa hari ini Sadin merasakan kepalanya pusing, perutnya mual setiap pagi hari, dan tubuhnya entah mengapa mudah sekali lelah. Sadin jadi tak bersemangat melakukan apa pun. Liburan kelulusan sekaligus menunggu ijazah keluar dan pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi dilewatinya hanya dengan bermalas-malasan di rumah. Terkadang Duta datang bersama teman-teman. Bersama teman. Ya, bersama teman-teman karena ayahnya yang seorang anggota TNI begitu keras mendidiknya dengan menerapkan disiplin tinggi. Salah satu disiplin yang hampir setiap hari ingatkan Papa berulang-ulang padanya adalah jangan pacaran. Tapi bagaimanapun juga Sadin tetaplah remaja yang memiliki jiwa pengembara sebagaimana remaja pada umumnya, ia ingin mencoba banyak hal baru. Ia malah makin penasaran pada hal-hal yang dilarang, ingin tahu sendiri mengapa hal itu terlarang. Itu seperti menembus goa gelap yang entah ke mana ujungnya, entah itu buntu atau akan ada cahaya di dalam sana. Penasaran, itu lah yang mengantar Sadin sampai sejauh ini. Sadin selalu merasa iri melihat teman-teman yang bercerita tentang pacar-pacar mereka. Bak gayung bersambut, Duta, pemuda sempurna idola sekolah, menawarkan cinta dan ingin jadi pacarnya. Sadin tentu tak berpikir dua kali untuk menerimanya. Meski harus kucing-kucingan dengan Papa, Sadin sama sekali tidak menyesal melanggar larangan Papa. Pada Duta, Sadin menemukan sosok sahabat yang perhatian, teman sekolah yang selalu mengajaknya meningkatkan nilai di setiap ujian. Dan pada Duta pula, Sadin banyak mengkhayal tentang masa depan. Saat sedang memikirkan keanehan dalam tubuhnya, tanpa sengaja Sadin melirik kalender. Pikirannya sontak diantar ke tanggal berapa hari ini, lalu dikembalikan ke tanggal terakhir kali ia mendapatkan menstruasi. Sadin tersentak, terduduk dari rebahannya. Pikirannya nyalang, memikirkan satu kemungkinan. "Tidak mungkin...," gumamnya menyentuh perutnya yang rata. Ini lewat sebulan dari tanggal biasa ia mendapat tamu bulanannya. Sadin bisa saja berpikir yang dialaminya wajar karena beberapa orang temannya juga pernah bercerita tenang tidak lancarnya siklus menstruasi mereka. Iya, Sadin bisa menganggap ini sepele jika saja ia tak ingat ia pernah melakukan larangan itu. Ia sangat paham, meskipun hanya sekali, bisa saja itu langsung jadi. Kecurigaan itu membuatnya gelisah, Sadin  tidak bisa tidur semalaman. Ia takut sekali. Dan keesokan harinya, Sadin memberanikan diri datang ke apotek untuk membeli testpack. "Kenapa mbaknya lihatin saya seperti itu?" Sadin merasa risih pada apoteker yang melayaninya, Sadin tentu mengerti apa yang ada di pikiran wanita lebih tua darinya itu. Sadin memutar bola mata jengkel. "Ini bukan buat saya, ini buat mama saya. Dia malu beli karena udah terlalu tua untuk hamil.” Ia sengaja bohong karena tidak ingin terlihat buruk. "Ini, Dek. 30 ribu." Apoteker itu tampak tidak peduli dengan penyangkalan Sadin. Usai menyerahkan lembar uangnya, Sadin pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih. Sadin segera pulang, dan mencobanya di kamar mandi kamarnya. Tujuh buah test pack dijajar Sadin di atas wastafel kamar mandi. Percobaan satu tak membuatnya puas sehingga berlari lagi ke apotek untuk membeli 6 sekaligus dengan merek berbeda. Tubuhnya lemas menyerupai agar-agar kebanyakan air. Tubuhnya bergetar dan dadanya terasa sesak. Semua itu karena dua garis merah pada ketujuh test pack yang katanya paling akurat. Sadin, Hamil. Ratusan kali Sadin bergumam tidak mungkin, tetap saja satu garis merah di test pack itu tidak hilang. Ini bukan mimpi di siang bolong, ini petir di siang bolong. *** Siang itu, Sadin pamit pada orang tuanya untuk jalan-jalan dengan teman-temannya untuk melepas salah satu dari mereka yang akan kuliah di luar kota. Sadin bohong. Siang itu ia janjian dengan Duta. Duduk seorang diri di dalam sebuah kafe langganan, Sadin bersabar menunggu Duta yang katanya akan sedikit terlambat karena kemacetan lalu lintas. Duta mengatakan kebetulan ada kabar gembira yang juga ingin disampaikannya, ketika Sadin menelpon mengajaknya bertemu. Sebaliknya, Sadin memiliki kabar buruk untuk Duta. Sadin tidak mau menanggung beban ini sendirian. Beban? Ini bahkan layak disebut bencana. Mereka melakukannya berdua, menikmati nikmat itu bersama, Sadin tak sebodoh itu mau sendirian menderita menanggung akibatnya. Sadin akan memberitahu Duta, memberitahu semuanya agar mereka bisa mencari jalan keluar bersama. Entah itu dengan menggugurkan kandungan, atau melompat dari gedung tinggi sambil bergandengan tangan. Dua buah telapak tangan besar masing-masing menutup mata sadin dari belakang. Sadin menyentuhnya lembut. “Kamu iseng banget sih, Yang." Lalu tawa renyah Duta pecah bersamaan dengan pemuda itu beranjak duduk di seberang Sadin. Mereka hanya dibatasi sebuah meja bundar berukuran kecil. "Sorry, pasti kamu udah nunggu lama." Mungkin karena haus, dengan santainya Duta meminum minuman Sadin. Sadin memperhatikan jakun Duta yang bergerak naik-turun menelan minuman, lalu naik ke wajah pemuda yang baru beberapa bulan ini menjadi pacarnya. Hingga Duta meletakkan gelas kosong di tengah meja sambil nyengir kuda. Sadin tak keberatan berbagi minuman dari gelas sama dengan Duta, toh mereka sudah melakukan pertukaran lebih dari itu. "Kamu kelihatan bahagia sekali,” ujar Sadin mendapati senyum Duta tak kunjung hilang di wajah tampannya. Berbeda dengannya yang sudah lupa cara tersenyum. Rasanya untuk menarik sebelah sudut bibir saja berat. Duta mengangguk, lalu mengeluarkan sebuah kertas print out berisikan tulisan dalam bahasa Inggris. "Aku diterima di Harvard." Kedua bola mata Sadin melebar, Sadin mengambil kertas itu dan membacanya sekilas. Meskipun kemampuan berbahasa Inggrisnya tidak bisa dibandingkan dengan Duta, tapi Sadin tidak terlalu buta. "Sumpah, aku seneng banget. Tadinya aku sudah punya plan B kalau tidak diterima, aku akan ke Singapore atau Jepang. Jurusan arsitekur di Indonesia juga bagus sih, cuma aku ingin bangun jaringan lebih luas di luar negeri. Karena diterima di Harvard, aku akan menjadikan itu satu -satunya pilihan sekarang." Pandangan Sadin mulai mengabur oleh air mata yang keras ditahannya. Itu jelas bukan air mata haru. Duta terlihat sangat bahagia. Apa Sadin sampai hati menghancurkannya dengan kabar kehamilan sialan ini? Tapi, jika Duta tak diberitahu, bagaimana dengan nasibnya? Sadin juga memiliki cita-cita yang ingin diraih, sama seperti Duta. "Sadin, kamu kenapa?" Duta mengenggam tangan Sadin cemas. “Kamu nggak terlihat senang.” Sadin menggeleng pelan, "kapan kamu berangkat?" "Mulai kemarin aku udah mengurus urusan kuliah dan lain-lainnya. Tapi rencananya dua minggu lagi aku akan ke sana untuk urus masalah tempat tinggal.” Sadin tahu, harusnya saat ini ia mengucapkan 'selamat' lalu memeluk Duta erat. Tak ada apa pun yang keluar dari mulut Sadin, kepala Sadin tertunduk dalam menyembunyikan tangis. “Din?” “Jangan pergi.”   "Apa?" gumam Duta tidak yakin dengan apa yang didengarnya, lalu kemudian tertawa. "Segitunya kamu takut pisah sama aku? Tenang saja, Sayang. Toh sekarang alat komunikasi sudah semakin canggih. Seberapa pun mahalnya, aku akan menghubungi kamu setiap hari. LDR bukan masalah lagi sekarang. Aku juga nggak akan selingkuh, kamu tahu banget kalau aku sayang sama kamu." "Enggak, Duta. Kamu nggak boleh pergi. Kamu harus menemani aku disini. Kamu harus nikahin aku." Kening Duta berkerut dalam. “Kamu ini ngomong apa, sih? Menikah? Sadin, kita masih 17 tahun. Jangan bercanda.” Duta tidak ongin menganggap ucapan Sadin serius, tapi aktinh Sadin tidak seperti sedang main-main. “Aku ingin kuliah di Amerika, lalu menjadi arsitek hebat. Dan kamu, bukannya kamu ingin jadi designer? Kalau kamu nggak mau aku pergi karena takut LDR, lebih baik kita putus,” putus Duta tanpa ragu. Sejak dulu Duta tak pernah menyukai orang-orang berpikiran sempit seperti itu. Duta tak mengerti mengapa Sadin yang selama ini selalu mendukung rencananya, tiba-tiba jadi seegois ini. Demi Tuhan mereka baru akan beranjak 18 tahun! Isakan Sadin semakin keras, Duta semakin bingung apalagi saat Sadin merobek-robek kertas salinan yang sengaja ia print dari e-mail surat pemberitahuan penerimaanya sebagai mahasiswa baru. Duta memegangi kedua tangan Sadin agar menghentikan aksi cukup memalukan itu. "Kamu ini kenapa sih, Din? Kamu nggak suka aku diterima kuliah di kampus impian aku?7” "Aku hamil, Duta,” lirih Sadin sangat pelan. "Nggak lucu, Sadin!” Bentak Duta. "Aku hamil!” Sedetik, dua detik, tiga detik, dan pada detik selanjutnya Duta baru benar-benar bisa mencerna ucapan Sadin. "Ini benar-benar nggak lucu. Di mana Sadin yang waktu itu mendukung aku? Bahkan saat mengirimkan aplikasi, kamu ada di sampingku. Hanya karena kamu nggak ingin aku pergi, bisa-bisanya kamu..." Duta kehilangan kata - kata. Pemuda itu melepaskan genggaman tangannya, dan bangkit berdiri. "Aku memang sayang kamu, Din. Tapi  kalau kamu pikir aku akan memilih kamu dibanding cita-citaku, maaf, aku akan memilih membangun masa depanku, dibandingkan menuruti perempuan berpikirkan sempit seperti kamu. Kita masih muda, kalau pada akhirnya cinta monyet cuma jadi penghalang, maka aku akan menyingkirkan penghalang itu. Berbahagialah, kita nggak perlu LDR karena mulai sekarang kita nggak ada hubungan apa-apa lagi."

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Mengikat Mutiara

read
144.4K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Undesirable Baby 2 : With You

read
164.2K
bc

Penjara Hati Sang CEO

read
7.1M
bc

LARA CINTAKU

read
1.5M
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.9K
bc

Dependencia

read
194.4K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook