Tangan Minami terulur ke bibir Satya. Tubuhnya melayang mendekat. Bibirnya siap melahap bibir Satya.
"Tidak untuk kali ini Minami. Kamu baru makan." Satya mendorong bibir Minami dengan telunjuknya.
"Sedikit saja." Minami mengerjapkan matanya. Satya menggeleng.
"Aku butuh ingatanku untuk besok. Aku tidak mau pergi melamar kerja dengan ingatan yang ompong. Jangan merajuk Minami. Kamu tidak benar-benar lapar."
"Minami perlu camilan."
"Jangan bertingkah. Ayo bereskan bekas makan malam ini. Aku mau baca buku di kamar."
Minami menjentikkan jarinya dan semua makanan di meja menghilang. Minami menyusul Satya ke kamar. Dia berbaring di sisi Satya yang sedang duduk bersandar sambil membaca buku di atas kasur. Dia terlalu asyik memandangi wajah Satya yang serius menatap dan membolak-balik buku tebal di pangkuannya. Minami menelusuri garis wajah Satya. Kulit wajah Satya bersih. Tidak berminyak apalagi berjerawat.
“Apa liat-liat?” Satya melirik ke arah Minami yang asyik memandanginya sambil senyum-senyum.
“Wajah Tuan …, menarik juga, ya?”
“Apa maksudmu dengan menarik?”
“Tuan memang tidak setampan Pangeran Avalon. Tapi Tuan juga tidak jelek-jelek amat.”
“Kamu itu mau memuji apa menghina, sih sebenarnya?”
“Minami suka punya tuan seperti Tuan Satya. Minami sa … yanggg … sama Tuan Satya.”
Satya merasa wajahnya hangat dipuji Minami. Dia menaikkan bukunya hingga menutupi wajah untuk menyembunyikan rona merah yang muncul.
“Wajah Tuan memerah. Apa artinya Tuan suka dengan kata-kata Minami?” Minami memaksa turun buku yang menutupi wajah Satya. Tapi Satya menaikkannya lagi.
“Jangan kesenengan. Kata-katamu biasa saja.”
“Tuan suka dengan Minami. Minami juga suka dengan Tuan.” Tanpa ragu-ragu, Minami memeluk lengan Satya dan menyandarkan tubuhnya di bahu Satya. Untuk beberapa saat, mereka berdua tenggelam dalam perasaan masing-masing. Satya tidak bisa berkonsentrasi pada bukunya dengan Minami yang menyandar di bahunya. Dia juga tidak mau bergerak, takut Minami pergi dari sisinya. Satya ingin merasakan kehangatan tubuh Minami sedikit lebih lama lagi. Tapi lama-lama, bahunya terasa kebas.
“Minami? Bahuku kram.” Satya menggoyang sedikit bahunya. Minami diam saja.
“Bahuku kram. Kamu bangun dulu, dong sebentar.” Minami tetap geming. Sayup-sayup Satya mendengar dengkuran halus Minami.
Perlahan-lahan, Satya mengangkat bahunya dan membaringkan Minami di sisinya. Dia beringsut hendak pergi setelah menyelimuti Minami.
“Jangan pergi. Tetap di sini. Jangan pergi.” Minami mengigau. Satya mengelus dahi Minami perlahan. Tiba-tiba tangan Minami menarik tubuh Satya hingga dia terbaring di sisi Minami.
“Jangan tinggalkan Minami.” Tangan Minami memeluk tubuh Satya. Dia pun menggeser kepalanya hingga terbaring di d**a Satya. Nyaman. Minami lelap dalam rasa hangat dan degupan jantung Satya yang tak menentu.
Tidak akan terjadi apa-apa. Malam ini saja, kok. Besok-besok tidak akan terjadi seperti ini lagi.
Satya memejamkan matanya dan ikut lelap dalam mimpi Minami.
=*=
‘Tolong katakan jika semua ini tidak benar!’
Satya memandangi rumah kontrakannya dengan mata terbelalak.
"Kalian apa-apaan, sih? Ini gimana caranya jalan di dalam rumah kalau perabotannya besar begini?"
Dengan susah payah Satya berusaha lewat di antara ranjang kayu besar berukir indah dengan dua kursi besar yang sandarannya menjulang hampir menyentuh atap.
"Dan kalian! Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan di sini?" tunjuknya pada dua orang yang sedang asyik menikmati teh panas yang asap tipisnya terbang seperti kupu-kupu.
"Minami! Minami!" Satya berteriak berusaha mencari Minami di kontrakannya yang kecil. Kepalanya terantuk lampu gantung.
‘Yang benar saja! Lampu kristal di dalam rumah butut? Ini, sih kemewahan yang berlebihan.’
"Tuan kenapa, sih teriak-teriak kayak suporter bola? Malu sama tamu kita, Tuan!" Minami menarik Satya ke dalam kamar. Suaranya direndahkan. Memaksa Satya melakukan hal yang sama.
"Tamu siapa? Aku nggak kenal sama orang-orang itu!" Satya menolak merendahkan suaranya. Kedua tangannya mencengkeram bahu Minami.
"Kamu nggak ciuman sama mereka, kan?"
"Tuan ..., kok Tuan mikirnya gitu?" Minami menatap Satya sedih. Matanya berkaca-kaca.
"Semua perabotan yang berlebihan itu siapa yang bikin? Kamu pasti pake sihir besar buat bikin perabotan kayak gitu, kan? Trus energi dari mana? Aku belum kasih makan kamu hari ini."
Satya menatap manik mata Minami, mencari tanda-tanda kebohongan yang mungkin disembunyikan Minami.
"Tuan jahat! Minami benci Tuan!" Sambil menghentakkan kedua tangan Satya, Minami berlari keluar kamar dan tersedu-sedu.
Satya berusaha mengejar Minami untuk membujuknya. Tapi langkahnya tertahan ketika dilihatnya Minami berlindung di balik tubuh seorang pemuda bertubuh besar dan kekar. Pemuda itu berusaha menenangkan Minami sementara pemuda satunya yang berambut pirang keemasan masih sibuk dengan cangkir tehnya.
Dengan perlahan Satya melangkah mendekati mereka. Ada rasa tidak suka melihat Minami bergelung di d**a pemuda itu. Seharusnya hari ini dia dan Minami merayakan diterimanya Satya di salah satu perusahaan yang dia lamar. Satya pulang membawa kabar baik dan bahagia. Akhirnya dia bisa menghasilkan uang untuk membahagiakan orangtua dan tidak tergantung terus menerus pada sihir Minami.
"Minami?" Satya memanggil lembut dan mencoba menjauhkan Minami dari pemuda kekar itu.
"Sudah kubilang padamu, manusia biasa termasuk makhluk yang tidak stabil. Baik secara emosi maupun kekuatan. Kau menyia-nyiakan waktu dan bakatmu di dunia ini Minami." Pemuda berambut keemasan berkata sambil menyeruput tehnya.
Pemuda itu memiliki wajah yang luar biasa tampan. Rahang yang tegas. Hidung mancung. Bola mata tajam dibingkai alis yang gelap. Dari balik pakaiannya yang seperti jubah keagamaan, Satya bisa melihat kulit tangannya yang halus. Juga warnanya yang seperti madu cair. Satya berani bertaruh, jika dia menggunakan pakaian yang pas dia bisa sangat menarik perhatian agen modeling. Walaupun warna rambutnya terlalu mencolok untuk ukuran Indonesia.
"Kalian ini siapa, sih? Apa tujuannya datang ke rumahku. Dan apa-apaan perabot besar-besar ini?"
"Anda harus menjaga ucapan Anda jika berbicara dengan Pangeran Avalon!" Pemuda kekar tiba-tiba berdiri dengan sikap mengancam.
"Pangeran Av--, apa?! Kalian penyihir juga? Oh tidak, tidak, sudah cukup satu penyihir untuk membuat hidupku repot. Jangan ditambah lagi. Jadi sebaiknya kalian minggat dari rumahku."
Satya berkata dingin dan menunjukkan sikap tidak takut diancam. Dalam hati dia merasa gentar. Jangan-jangan kedua penyihir ini tidak suka dengan sikapnya dan mengubahnya jadi kodok.
"Anda tidak berhak mengusir kami. Anda tidak tahu berhadapan dengan siapa."
"Kenapa tidak? Ini rumahku. Suka-suka aku mau mengizinkan siapa untuk tinggal atau pergi."
Satya dan pemuda kekar itu kini berhadapan. Mereka saling mengintimidasi. Pemuda kekar memang memiliki badan lebih besar dari Satya, tapi tubuhnya lebih pendek beberapa senti dari Satya.
"Tuan ...." Suara Minami menyela sikap bermusuhan Satya dan pemuda kekar. "Mereka akan tinggal di sini. Mereka tidak punya tempat lain untuk pergi," kata Minami memelas.©