Hatsyiinn!

1209 Kata
"Kamu tidak bilang kalau rumah ini bocor Minami!!!" Satya berteriak dari atap rumah. Peluh membanjiri tubuhnya. Dia menggerutu tak habis-habis. Sejak pagi hingga matahari naik di atas kepala, Satya masih belum juga selesai membereskan atap yang berlubang di sana-sini. Satu selesai diperbaiki, muncul celah baru di tempat lain. Begitu terus hingga hampir seluruh atap selesai diperbaiki. "Jangan menggunakan sihir untuk melakukan hal yang sia-sia, Tuan. Minami bisa sering-sering minta makan nantinya. Apa Tuan sanggup?" kata Minami saat Satya bertanya mengapa dia tidak memperbaiki atap dengan sihirnya. Wajah Satya memerah. Makanan Minami tidak seperti makanan kebanyakan. Minami memakan lapisan ingatan dengan ciuman. Satya ingat bagaimana rasa ciuman itu. Begitu manis dan menggairahkan. Seolah tubuhmu diangkat begitu tinggi hingga ke awan dan pikiranmu di ditiup-tiup hingga begitu ringan. "Tuann ...." Minami memanggil lirih ketika Satya memijakkan kakinya di lantai setelah turun dari tangga. "Ya, aku sudah selesai. Kenapa?" "Tuan ...." Satya menoleh ke arah Minami. Terkejut melihat wajah Minami yang begitu pucat. "Minami? Kamu kenapa? Sakit?" Apa penyihir bisa sakit? Jika ya pasti obatnya bukan obat biasa. Bagaimana ini? "Minami la-par." "Ahh-- Hhmmpptt." Satya tidak sempat menyelesaikan perkataannya. Mulutnya dibungkam Minami. ‘Apa harus seperti ini caranya? Bagaimana, bagaimana jika aku tidak bisa bertahan nantinya? Aku laki-laki normal. Dengan nafsu dan emosi seorang perjaka. Bagaimana caranya aku tidak terpikat olehmu?’ "Terima kasih." Minami melepas bibir Satya dan menjilati bibirnya sendiri. "Apa harus selalu begini?" tanya Satya lirih. "Tuan?" "Aku lelah. Aku ingin istirahat." Satya melangkah gontai ke kamar dan menjatuhkan dirinya di atas kasur. Minami mengikutinya dari belakang. Menatap tubuh Satya yang telungkup dengan tangan dan kaki terentang. Seperti pesawat terbang. Minami duduk di pinggiran kasur. Tangannya terulur pada rambut Satya yang acak-acakan. Ada rasa hangat dalam dirinya ketika mencium bibir Satya yang lembut. Kenangan Satya beraroma arum manis dan begitu lengket di lidahnya seperti madu. Jenis kenangan yang tidak pernah Minami rasakan di dunianya. Kebanyakan lelaki yang membiarkan dirinya dicium, beraroma anyir. Rasanya rupa-rupa. Kadang pahit, getir, atau masam. Ada juga beberapa yang manis, tapi tidak seperti manisnya Satya. Mencium Satya tidak hanya memberi Minami energi tapi juga membuat Minami candu akan rasanya. Dia tidak bisa menahan rasa laparnya. Ingin terus mencium, mencium, dan mencium Satya. Bahkan jika bisa ciuman itu dia lumat, akan dikunyahnya berlama-lama hingga rasa manisnya hilang. Minami memandang wajah separuh Satya dengan mulut yang sedikit terbuka. Mengusap lembut bibirnya dan menjilati bibirnya sendiri. Apakah rasa ciuman semua manusia itu sama? Seperti rasa manisnya ciuman Satya? Dia ingin mencobanya pada manusia lain. Tapi kini Satya tuannya. Dia tak bisa mencium manusia lain tanpa seizin Satya. Tapi untuk apa dia merasai ciuman dari tuan yang lain jika Satya saja sudah cukup? Minami menarik tangannya. Rasa takut menjalari dadanya tiba-tiba. Minami takut. Takut jika tidak bisa menahan dirinya ketika sedang mencium Satya. Takut akan merenggut ingatan Satya hingga ke intinya. Takut jika Satya celaka dan dia ... dia ... Ahh!!! Apa ini? Minami menatap wajah Satya yang kini mendengkur. Laki-laki itu tidak setampan putra mahkota Negeri Cahaya, Pangeran Avalon. Tidak sekuat pemahat patung kerajaan, Sheeva. Dia juga tidak segagah Pangeran Negeri Kelabu, Pangeran Shabay. Tapi dari setiap kenangan yang Minami makan, Minami bisa merasakan kelembutan dan kebaikan tuannya. Dan Satya tidak pernah mengambil kesempatan dari setiap ciuman mereka. Minami berjalan meninggalkan kamar. Membiarkan Satya beristirahat dan merajut kembali sel-sel ingatan yang telah diputuskan Minami. Dia akan melakukan sesuatu untuk membalas kebaikan Satya. Minami berjalan ke arah pintu. Membuka perlahan pintu bobrok yang hampir lepas engselnya. Angin dingin menerpa tubuh Minami. Langit sedikit gelap, mungkin hujan akan turun lagi. Minami mendekap tubuhnya dengan kedua tangan. Hidungnya tiba-tiba gatal. "Hatsyinnn!!!" Bunyi berkelotak terdengar bersamaan dengan tergeletaknya sebuah pena bulu di depan pintu yang terbuka. =*= Satya terbangun dengan tubuh sedikit kedinginan. Angin gigil menerpa tubuhnya entah dari mana. Bunyi berdebum berulang-ulang mengganggu pendengarannya. Satya bangkit dari tempat tidur dan memandang sekelilingnya yang gelap. Berapa lama dia tidur? Satya menyalakan saklar lampu. Seketika cahaya menyilaukan pandangannya. Dilihatnya sedikit kekacauan di rumah kontrakannya yang mungil. Pintu depan terbuka. Hujan deras menerpa daun pintu tanpa ampun. Air mencuri masuk ke dalam rumah. Belum lagi jendela dekat pintu yang berdebum-debum di hempas angin. Rupanya pengaitnya patah. Satya menutup dan menguncinya rapat. Di ruangan yang terbatas ini, Satya tidak menemukan Minami. Tidak biasanya. Biasanya sosoknya mengambang ke sana ke mari dan berceloteh begitu bising. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Perutnya lapar. Dan Minami menghilang. Biasanya Minami yang menyediakan makanan dengan sihirnya. Satya mulai menyesali ketergantungannya pada Minami. Jika Minami pergi seperti ini, Satya menjadi tak berdaya. Kalah pada kemiskinannya. Dipandanginya pintu rumah yang masih terbuka. Apa Minami sungguh-sungguh pergi? Satya melangkah menuju pintu hendak menutupnya. "Aw!" Sebuah jeritan kecil terdengar dari ... ujung kaki Satya. Di bawah telapaknya sebuah pena bulu terlihat kuyup tanpa daya. "Astaga Minami! Apa yang terjadi padamu?" Satya buru-buru mengusap tubuh pena bulu itu dan bum! Asap pink mengepul dengan Minami di dalamnya. "Tuan ..." Minami buru-buru menggerakan jarinya dan seketika tubuh telanjangnya tertutupi pakaian. "Kamu malu? Aku sudah pernah melihatmu telanjang. Dan kamu juga sudah pernah melihatku telanjang," kata Satya kalem sambil menutup pintu. "Tuan genit!" Minami menggembungkan pipinya dan membalikkan badan membelakangi Satya. "Jangan merajuk. Aku hanya bercanda. Aku senang melihat kamu telanjang." "Tuan!" Minami membalikkan badan dan berkacak pinggang. "Eh, maksudku, aku senang melihatmu Minami." Satya memamerkan sederet giginya yang cemerlang. Pandangannya teduh. Minami pun luluh. "Kupikir kamu pergi meninggalkan aku." Satya menundukkan wajahnya. "Minami tidak mungkin meninggalkan Tuan kecuali Tuan yang membuang Minami." "Be-benarkah?" Satya mengangkat wajahnya. Memandang wajah Minami yang kini tersenyum manis. "Begitulah cara kerjanya. Tuan menemukan Minami. Memberi makan Minami. Dan Minami membalasnya dengan melayani Tuan." Minami mendekati Satya dan mengalungkan tangannya pada leher Satya. Bibir mereka begitu dekat. "Baguslah jika begitu. Karena aku lapar sekali. Bisa kamu siapkan makanan? Aku mau mandi dulu." Satya melepas tangan Minami dan beranjak ke kamar mandi. "Tuan ..." "Apalagi? Ada yang salah?" Satya berbalik dan memandang Minami tanpa dosa. Minami menggeleng. Hatinya sedikit kecewa karena gagal menyambar bibir Satya. Dia tidak sedang lapar, tapi memeluk Satya membuat tubuhnya bereaksi lebih. Minami ingin Satya membalas reaksi itu. "Aku harus cari kerja Minami. Besok aku akan mulai melamar lagi." Satya berkata sambil menyuapkan potongan-potongan kecil ayam yang disiram kuah kental seperti kecap tapi tidak pekat warnanya. Dia tidak tahu nama masakannya. Minami selalu menyajikan makanan yang tidak familiar di lidahnya tapi rasanya enak-enak. "Untuk apa Tuan bekerja? Minami bisa memenuhi kebutuhan Tuan selama Tuan memberi Minami makan." Minami menyendok sayuran dan meletakkannya di piring Satya. "Apa kamu bisa menyihir uang?" "Uang? Apa itu uang? Jenis masakan?" Satya mengembuskan napas. "Di tempatmu berasal, bagaimana caranya membeli barang." "Kami tidak membeli. Kami bertukar. Minami membantu orang-orang yang tidak bisa sihir dan mereka membalasnya dengan ciuman. Dengan sihir Minami bisa melakukan apa saja." "Aku mengerti. Tapi di sini, kita harus punya uang untuk memenuhi kebutuhan kita." "Tuan punya Minami!" "Tapi aku tidak bisa mengirimmu pada orangtuaku Minami. Aku ingin membantu mereka dan mengirimi uang. Setidaknya membalas budi karena mereka telah menyekolahkanku hingga lulus Sarjana." "Minami tidak tahu semua ucapan Tuan. Tapi jika menurut Tuan itu harus dilakukan, Minami akan membantu." Minami menatap Satya dengan sungguh-sungguh. Matanya yang bulat bergoyang-goyang lucu. Satya tersenyum memandangnya. Dan Minami memandang bahagia pada senyum Satya. Apakah pernah ada yang bilang jika senyum Tuan Satya begitu menawan?©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN