Tak mampu kah aku menjaga hati istriku untuk tidak membuncah melalui proses ini?
Sudahlah, andai aku berbicara tentang harga diri, nama baik juga kewajiban, bicara saja tentang hati, apakah aku akan tega membiarkan hati Raisa yang 'pasti' menyimpan harap diantara penolakannya?
Bagas berkubang dalam rasa bersalah yang tiba-tiba saja timbul tenggelam. Gelisah menarik-narik pemikirannya untuk menjadi laki-laki yang tidak lagi rasional.
AKU HARUS MENYELAMATKAN KE DUANYA..! Ini harga mati. Arum juga Raisa mereka sama-sama punya jiwa juga rasa, tak ada yang patut dikorbankan atas pilihan yang telah ku pilih.
Arum masih memilih sendiri melewati malam ini.Membiarkan Bagas dalam kegelisahannya yang juga sendiri.
Bismillah aku pasti bisa bila memang inginku di amin kan oleh NYA.
Subuh tiba, suara muazin di mushollah kecil blok sebelah mulai masuk memenuhi atap-atap rumah, aku beringsut menarik kepalaku yang letih karena berfikir semalaman di depan laptopku.
Kulihat secangkir kopi telah terhidang, uft..mungkin Arum sudah bangun lalu ku arahkan pandang pada pintu kamar 'kami'
Pintu kamar itu masih tertutup rapat, mungkin Arum tadi terbangun sejenak mengambil wudhu dan hanya menyuguhkan kopi untukku.
Inilah kelebihan Sekar Arum istriku, dua belas tahun menikah se marah apapun ia atas tingkahku tak pernah sekalipun ia meninggalkan tugasnya, membuatkan secangkir kopi, menyiapkan makan atupun menemaniku bekerja, dirumah aku sering tak memperhatikannya, ia tak pernah lalai akan tugasnya apalagi sekedar untuk merajuk. Ia nyaris tak sempat melakukan itu.
Ia demikian dewasa.
Ya Tuhan, ia sudah demikian baik, hanya aku saja yang tidak pandai menikmati sekian banyak kelebihannya.
Arum sangat mengerti, ia tidak pernah berniat membeli baju baru sebelum semua kebutuhan rumah tangga kami terpenuhi.
Ia lebih memilih membelikan anak-anak kami dari pada memanjakan dirinya sendiri.
Ia sosok wanita mandiri, ia mengerti mengatur rumah tangga, bahkan terlampau mandiri.
Sedangkan Raisa, Raisa begitu butuh pertolongan, suara merdu dan lembutnya membuat nafas kelelakian seorang Bagas merasa tertantang. Merasa dibutuhkan.
Saat Raisa meminta tolong Bagas merasa teramat berarti terlebih ketika pertolongan itu berhasil ia lakukan. Bagas merasa sangat bangga.
Bagas sangat membutuhkan itu, teramat butuh bahkan. Bagas butuh diakui ke lelakiannya. Semua lelaki membutuhkan hal itu untuk menguatkan hatinya.
Hingga Bagas teringat sesuatu,
"Oh...hari ini aku ada janji dengan Erika mengantar si kecil ke dokter karena badannya panas sejak dua hari yang lalu, Raisa bukan manja tapi memang rumahnya yang di desa itu tak memungkinkan untuknya pergi ke kota setiap saat apalagi karena ia gak bisa naik kendaraan, hmmn "suara Edo menggumam.
"Aku harus bicara dengan Arum" suara dalam hati Bagas selagi hari masih pagi.
Di bukanya pelan kamarnya mereka, rupanya kamar itu tak terkunci atau memang Arum sengaja tak menguncinya agar Bagas bisa masuk? Entahlah.
Didapatinya Arum masih telungkup diatas bantal mereka, Bagas duduk disampingnya menatap langit-langit kamar mereka, kamar ini adalah kamar masa depan yang ia bangun atas dasar harapan dan suka cita, harapan untuk terus bertahan juga melanjutkan kehidupan bersama Arum juga anak anaknya.
Kamar ini adalah kamar penuh mimpi saat malam malam mereka berisi canda, gelitik mesra juga derai tawa, kamar ini saksi cita-cita besar mereka ...
"Ummi...ijinkan abi bicara" suara Bagas melemah. Tak ada jawab disana yang didapati malah Arum kian terisak, isak nya tak beraturan. Bagas tahu Arum kecewa, Arum sedih, Arum marah, Bagas sangat tahu itu.
Dan Bagas juga merasa sangat bersalah pastinya, rasa bersalah yang begitu kuat ia sedang di samping wanita yang di panggilnya Ummi.
Namun bayangan kesulitan Raisa bukannya hilang malah semakin lekat di pelupuk matanya, Raisa yang sedang 'sendirian' Raisa yang meski tertatih tetap berusaha tegar.
Bayangan itu kian jelas bahkan saat Bagas berusaha untuk meniadakannya. Isyarat apa ini tuhan.?
"Aku harus menenangkan Arum, menepis janjiku untuk menemui Raisa hari ini, bukan berarti membatalkannya hanya menunda waktu sampai waktunya tepat, aku yakin Raisa akan mengerti" sejenak Bagas berfikir, sampai akhirnya ia melangkah menuju kamar mandi, tempat yang aman untuk menjelaskan...
"Raisa, assalamualaikum, mbak yu mu menangis, setelah aku bercerita tentang kita bukan berarti dia menolak, hanya butuh waktu baginya untuk menerima semua nya dengan ikhlas. Saat ini aku harus menenangkan mbak yu mu... Semoga engkau mengerti, aku tahu engkau kecewa namun aku sangat tahu kau kecewa namun aku sangat tahu kau akan mendukungku. Aku sayang kalian semua jangan lua bawa kakak ke dokter". Begitu pesan w******p melalui ponsel yang dikirim dari ponsel Bagas pada Raisa.
Bagas merasa penting menenangkan Arum, agar semuanya kondusif terlebih dahulu. Agar tidak ada buruk sangka di hati Arum. Bagas memilih tetap di rumah paling tidak untuk saat ini sambil menunggu kondisinya menjadi baik.
Arum belum bergerak dari tempat tidurnya. Bagas menggelengkan kepala. Saat seperti adalah saat paling sulit.
Ia ingin sekali menyerah bila tidak ingat perjuangan ini memang butuh pengorbanan.
Tujuan besarnya adalah menggandeng lengan ke duanya. Arum juga Raisa tanpa berpihak pada salah satu dari mereka.
Kedua nya harus dimenangkan karena kedua nya sama-sama ia sayangi.
Langit mendung di kaki bumi Saijaan, hawa sejuk menyembul dari sela-sela dedaunan. Udara yang lembut membuat semua orang jatuh cinta pada ke Maha Perkasa an yang kuasa.
Bagas gelisah, mencari cara terbaik bicara dengan Arum nya.