Malam yang damai seperti malam malam yang lain, rumah Bagas yang berada diujung perumahan membuat rumah itu tampak demikian tenang.
Sudah tiga malam Arum dan anak-anak tidur di kediaman mereka di kota karena saat ini saat libur sekolah.
Anak-anak sudah tidur meski malam belum terlalu larut. Hanya tinggal Bagas yang duduk di teras rumah ditemani secangkir kopi pahit buatan Arum istrinya, malam itu Arum tampak 'ayu' seperti Arum 12 tahun yang lalu meski saat ini tak dapat dipungkiri ada kerut- kerut halus menghias ujung kelopak mata juga diantara bibirnya, Arum tetap ayu dan lembut.
"Ummi...., kamu bilang punya akun f*******:, apa nama akun f*******: mu?" Tanya Bagas tiba-tiba.
Tumben, Bagas suami nya menanyakan akun f*******: nya , untuk apa? Pikir Arum ragu. Apakah Bagas mencurigai sesuatu atau hanya sekedar ingin tahu?.
"Gak boleh aku tahu ya, Mi?" tanya Bagas lagi.
"Boleh abi tapi untuk apa?"
"Kita tukeran akun f*******: yuk, kamu buka akun f*******: ku dan aku buka alamat f*******: mu, bagaimana?"
Meski sedikit bingung tak urung ia iyakan saja kemauan suaminya yang sedikit aneh menurutnya namun ach, apa salahnya bila suami ingin tahu akun f*******: istrinya wajar bukan?
Pertanyaan sekaligus merupakan jawaban yang membuyarkan keanehan yang datang di beranda hatinya beberapa detik yang lalu.
Bagas terlebih dahulu membuka akun f*******: milik Arum istrinya, membacanya seolah penuh selidik padahal sebenarnya ia biasa saja, dibukanya mulai dari wall, pemberitahuan sampai kolom massage.
Semua ia periksa diselingi canda menggoda. Ya, Bagas paling bisa memainkan suasana, hal itu juga yang membuat Arum menjadi Sami'na Waatho'na atas apapun kemauan Bagas, disamping tugas seorang istri untuk tunduk, patuh dan taat perintah suaminya.
Bagas masih membuka akun milik Arum dan kemudian. Kolom sign out ia tekan. Selesailah sudah.
Ini hanya cara Bagas agar Arum membuka akun f*******: miliknya serta membaca semua tulisan yang ada disana. Semua harus ia ungkap meski dengan cara yang tidak elegan.
Ia tidak kuat untuk duduk berdua dengan Arum istrinya lalu membuat sebuah kesepakatan tentang pernikahan. Ia tidak tega melakukan itu, ini sebabnya mengapa Bagas melakukan hal ini.
Kini giliran Arum membuka akun f*******: milik Bagas, suaminya. Ayah dari anak-anaknya. Laki-laki luar biasa yang begitu ia puja dalam diamnya.
Arum demikian memuja suaminya, namun sama sekali ia tak menampakkan itu ia takut Bagas menjadi sombong congkak,GR,bangga diri atas puja yang dihadiahkannya .
Satu per satu....
Pemberitahuan....
Pesan....
Lalu kemudian....
Wall Edo Handoko....
Sampailah Arum pada sebuah surat yang ditulis pada seorang wanita 'Raisa' surat itu ia baca, Bagas masih disampingnya, mengamati gerak gerik Arum dari dekat ia takut terjadi sesuatu pada Arum istrinya setelah membaca surat yang ditulis Raisa. Ya...dua surat dari Raisa untuk dirinya.
Tatap mata Arum seketika berpindah bukan lagi pada wall f*******: milik Bagas, tatapan itu kini telah singgah diwajahnya, sedari tadi Bagas membayangkan bahwa istrinya, Arum, akan menatap garang lalu mencaci makinya kemudian menambahkan sumpah serapahnya sekaligus menghardiknya dan mengancam akan membawa anak-anak.
Semenit...
Dua menit...
Tiga menit...
Tatapan Arum memang benar-benar singgah di wajahnya, namun bukan tatapan garang seperti bayangannya melainkan tatapan sedih dan penuh tanda tanya, tak ada caci maki keluar dari bibirnya tak ada sumpah serapah juga tak ada ancaman.
Berbeda sekali dengan cerita Bams siang tadi.
Arum hanya berujar lirih nyaris tanpa tenaga, Bagas sungguh menyesal menyaksikan pemandangan malam ini.
Sejurus diarahkan mesra tajam panah pandangan pada istrinya, "Ijinkan aku bercerita,Mi...." suara Bagas memelas.
"Nggih."Tandas Arum tegas.
"Wanita itu Raisa namanya..." ujar Bagas
Menjelaskan semuanya secara lengkap. Arum berteriak namun sangat lirih, Arum lari ke kamarnya, Bagas mendekat mencoba berbagi ketenangan bersama istrinya namun Arum berucap
"Biarkan aku menangis dulu, Bi."
Bagas pun gontai melangkah pergi meninggalkan Arum di kamarnya, ia sangat faham perasaan istrinya, manusia mana yang mau berbagi bahkan sesuatu yang bersifat kebendaan sekalipun, apalagi berbagi suami?Pikirnya.
"Aku memang BODOH" bentaknya pada dirinya sendiri.
Bodohkah bila cinta ini ada lagi, aku tak menginginkan kenikmatan dan gemerlap kesenangan dari perasaan terhadap Raisa meski jujur keinginan itu ada namun hanya sedikit dari niat besarnya. Bila inginnya menikahi Raisa diijinkan Tuhan ia sangat faham bahwa ia akan dihadapkan pada kewajiban menata hidup baru mereka, memulyakan mereka, mencari jalan keluar dari masalah mereka agar mereka terangkat, terangkat harga diri dan martabatnya dimata masyarakat. Ya...mereka, Raisa dan anak-anaknya.
Bukan lantas bersenang-senang karena memiliki istri dan keluarga baru, bukan hanya itu, meski itu juga ada namun sedikit saja, sangat sedikit diantara keinginan yang banyak untuk menyelamatkan.
Atau mungkin sebaiknya aku memilih pergi saja meninggalkan Raisa dan kehidupannya yang penting keluargaku dan karierku baik-baik saja, malu sekali aku nantinya bila aku seorang Kepala Dinas, pegawai negeri sipil ternyata ketahuan aku memiliki cinta lagi pada wanita lain yang bukan istriku.
Tapi...mengapa harus malu bila memang tujuannya adalah niat yang memang harus disandang, niat baik yang belum tentu dimiliki banyak orang, kenapa mesti malu? Haruskah demi karier dan kehidupanku aku meninggalkan sebuah kewajiban untuk menyelamatkan? berkejaran pertanyaan Bagas, timbul tenggelam di rongga terdalam hatinya. Menyesakkan dadanya. Membuatnya harus berfikir keras. Mencari jalan keluar untuk memenangkan ke dua nya. Arum dan Raisa.