ENAM
MAAF BANYAK TYPO
Pian berjalan mondar-mandir dengan wajah yang gelisah dan takut sedari sepuluh menit berlalu. Sudah satu minggu penuh ia tidak pernah mengunjungi anak dan isterinya di rumah mereka, bahkan belasan panggilan dari isterinya di tolak dengan kejam olehnya.
Pian bukannya sengaja atau ada hal penting yang harus ia urus sehingga ia sibuk, tidak!
Dia nggak sanggup lihat wajah anaknya. Bagaimana tidak, minggu lalu awalnya dengan terbata ia mengatakan pada mamanya bahwa anaknya Rangga adalah anak panti asuhan, dan untuk lebih meyakinkan mamanya lagi, dengan tegas, dan lantang sekali lagi Pian mengatakan bahwa Rangga adalah anak panti yang di tinggal mati oleh kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan besar. Ia berupura-pura mengunjungi panti sepanjang hari pada kedua orang tuanya.
Percayahlah! Hati Pian perih, dan terasa sesak pada saat ia sendiri memberi label menyakitkan seperti itu pada anaknya Rangga. Entah apa yang akan ia dapatkan nanti untuk segala sikap pecundangnya selama ini.
Dirasa kakinya telah pegal, Pian menjatuhkan tubuhnya kasar, dan pasrah diatas sofa kantornya. Kakinya gatal ingin mengunjungi anak isterinya, tapi rasa bersalahnya itu lebih mendominasi dirinya saat ini.
"Maafkan, Papa. "Bisik laki-laki itu sendu sambil memandang foto anaknya yang tertampang begitu indah di layar ponsel mahalnya.
Pian berjengkit kaget di saat layar ponselnya
menampilkan sebuah panggilan, dan itu adalah Syasa. Tanpa perhitungan lama, Pian dengan segera menolak panggilan itu seiring dengan kepalanya yang terkulai lemas diatas sandaran sofa.
Tidak tau, bahwa panggilan yang ia dapat sedari tadi, berisi informasi penting tentang keadaan anaknya.
Anaknya Rangga yang tengah sakit.
****
Syasa memandang nyalang kearah layar ponselnya dengan sedih. Puluhan kali ia sudah mencoba menghubungi suaminya tapi hanya penolakan yang ia dapat.
Syasa rasanya ingin membanting ponsel itu untuk menyalurkan amarah sekaligus rasa sedihnya karena kelakuan suaminya.
"Kenapa seperti ini?"pekik Syasa tertahan. Perempuan itu sudah sangat muak pada Pian.
Anaknya saat ini tengah terbaring menyedihkan diatas brangkar rumah sakit. Bahkan anaknya Rangga hampir mati karena terkena DBD kalau saja ia telat membawa anaknya ke rumah sakit.
Dengan langkah lemas karena kurang tidur, dan energi. Syasa melangkah menuju ranjang pesakitan anaknya. Matanya dengan telisik melihat setiap gurat dan garis wajah Rangga yang terlihat pucat dan tirus.
Isakannya di tahan sebisa mungkin agar tidak pecah. Syasa yakin, anaknya sakit, dan lama sembuhnya karena rindu pada papanya mengingat anaknya yang selalu mengigau nama laki-laki itu yang sialnya adalah suami, dan merupakan ayah kandung anaknya.
"Papa.. Rangga mau Papa."
Syasa geram mendegar igauan anaknya, dengan kasar Syasa mengambil lagi ponselnya di kantong, dan mengetik pesan dengan huruf Capital mengatakan pada Pian bahwa anaknya telah mati saat ini. Biar laki-laki b******k itu tau rasa. Tanpa ragu Syasa mengirim pesan laknat itu pada Pian. Ya, pesan laknat, dimana dia sama saja mendoakan anaknya mati.
"Hahaha...maafkan, mama, sayang."Syasa tertawa ironi dengan bisikan maaf yang wanita itu ucapkan dengan suara lirih, dan menyesalnya.
Air mata tidak bisa bendungnya lagi.
Sedangkan Pian di seberang sana, berjengit dengan wajah yang seputih kapas melihat pesan yang dikirim bertubi oleh isterinya. Mulutnya mengaga lebar, dan dalam tiga detik, ponsel cadangannya meluruh dengan menyedihkan di lantai. Ya, ponsel yang ia gunakaan khusus untuk sarana komunikasinya dengan Syasa, sedang ponselnya yang tertinggal kemarin berisi orang kantor serta teman-temannya.
"Nggak mungkin! Rangga anak kuat. Benih aku unggul...hahah"Ucap Pian dengan tawa menyeramkannya.
Dengan kasar Pian mengambil kembali ponselnya yang tergelatak dilantai, dan menghubungi Syasa secepat mungkin.
Sayangnya, panggilannya di tolak dengan kejam oleh Syasa di saat genting seperti ini.
Sial !
Dan Satu sama!
*
Pian memandang menghunus kearah Syasa, tapi Syasa tidak pernah, dan mau membalas tatapan tajam suaminya.
Syasa juga punya hati, dan perasaan. Masa baru kabar tentang kematian anaknya, suaminya itu baru akan merespon panggilannya.
Syasa mendengus keras, dan kembali fokus
mengelus penuh sayang rambut hitam ikal Rangga yang wangi, dan masih sedikit basah karena habis keramas.
Ya, Rangga sudah pulang dari rumah sakit setelah ayahnya menjenguknya. Benar feeling Syasa, anaknya sakit karena Pian juga.
"Rangga ngak capek duduk sendiri? Mama pangku, sayang."Tanya Syasa lembut membuat pandangan Rangga yang terpusat pada Pian di depannya seketika menoleh kearah mamanya.
Rangga menggeleng pelan dengan senyuman manisnya. Bibir yang kering, dan pucat kemarin sudah kembali basah, dan sudah ada rona merah disana.
"Mama nggak boleh bantu, Papa."Ucap Rangga memelas.
Untuk menyenangkan hati anaknya, Syasa mengangguk mantap walau dalam hati kecil ia tidak yakin kalau Pian akan bisa memenuhi keinginan anaknya.
Sedang Pian memandang nyalang kearah segala macam t***k bengek alat masak di depannya. Laki-laki yang berusia 29 tahun itu menggaruk frustasi kepalanya yang tidak gatal sama sekali.
Pian ingin menolak keras permintaan anaknya, tapi ia tidak tega. Untung saja kabar buruk yang di kirim oleh isterinya kemarin hanya bohongan. Syasa harus mendapat hukuman untuk hal itu nanti.
Pian membalikan badannya dengan senyuman manis berharap agar anaknya luluh. Tapi sial! Rangga memandangnya dengan tatapan polos dan ada sepercik sinar jail dikedua bola mata anaknya.
"Papa beli mainan satu pick up untuk Rangga, hukuman ganti yang lain, sayang, yah."ucap Pian memelas.
Dan mendapat gelengan kuat, dan yakin dari Rangga. Rangga tidak seperti anak kecil lain, yang sudi mainan monoton kayak mobil-mobilan atau robot. Mengerjai papa itu lebih enak, dan menyenangkan. Pikir anak yang berusia delapan tahun itu. Kayak ada bunga yang mekar gitu lihat wajah frustasi sama kesal Papanya. Ih, Rangga suka mengusili papanya intinya.
"Mama... Itu Om Daniel cocok jadi papa Rangga yang baru. Banyak uang sedekah terus setiap hari."Celetuk Rangga dengan seringai khasnya.
"Nggak kayak, papa. Kikil kikir."celetuk Rangga lagi.
Pian gelapan, dan dalam tiga detik, laki-laki yang setahun lagi akan memasuki usia kepala tiga itu telah berdiri cantik disamping anaknya yang tengah duduk manis di kursi meja makan.
"Apa hubungannya sama Om Daniel, sayang. Jangan ngacoh, ih, anak Papa."Ucap Pian mencoba sabar padahal dalam hati ia merasa terbakar.
Sepertinya pindah rumah akan Pian lakukan sekali lagi.
"Kalau gitu Papa ngaca aja, biar tau papa bolos..bolos terus. Untung nggak bolong pantatnya"Jawab Rangga membalas telak ucapan Pian.
Pian menelan ludahnya kasar, sedang Syasa tertawa geli melihat raut wajah Pian yang sangat susah Syasa deskripsikan.
"Mama...Ikannya minta di goreng Om Daniel. Papa nggak sayang, Rangga."Pekik Rangga keras sembari menjambak gemas rambutnya sendiri.
"Kata siapa? Papa sayang bangat sama Rangga. Kamu jagoan papa satu-satunya."Pian memeluk anaknya yang tengah duduk manis di kursi.
Sumpah, wajah Rangga seketika memerah malu. Kedua pipinya di penuhi oleh semburat warna pink. Untuk menutupi wajah malu-malunya anak itu menenggelamkan wajahnya di d**a bidang papanya. Papanya nggak tau, kalau Pian itu butuh sandaran dan pelukan.
Hati Syasa menghangat melihat pemandangan indah di depannya. Syasa tau, Rangga usil, dan nakal hanya ingin medapat perhatian lebih dari Pian, papanya yang super tak acuh.
"Papa goreng ikan..."rengek Rangga manja.
"Cepet, Papa, ih."Rengek Rangga kelewat manja.
Pian tersenyum dalam diam, dia suka anaknya manja seperti ini padanya. Nggak usil terus.
"Ya, papa akan goreng sekarang."Rangga semakin tersenyum lebar.
Ih, dia sebentar lagi akan menyakasikan papanya yang akan bertempur dengan minyak yang meletup.
Ya, ya, Rangga merengek agar Papanya mau menggoreng ikan tenggiri, dan cumi untuknya. Rangga tau betapa dasyatnya ikan tenggiri meletupkan minyak kalau di goreng. Rangga tau begaimana meletupnya minyak karena menggoreng cumi kecil dengan kepalanya lengkap.
Rangga tau karena melihat mamanya yang memasak.
Biar bintik-bintil tangan papanya. Biar papanya sakit dan tidur lama dengan ia dan mamanya. Pikir Rangga licik.
"No, Pa. Nggak boleh pake masker apalagi kaca mata."Rangga menggelengkan kepala, dan jari telunjuknya di kala melihat papanya yang telah mengenakan masker, dan kacamata besar hitamnya.
Syasa banyak tersenyum pagi ini.
Kalau papanya pake masker, minyak tidak akan mengena kulit papanya, papanya nggak jadi sakit ringan, deh.
"Tapi, sayang. Nanti papa kena minyak."Syasa
mencoba membujuk anaknya.
Rangga menggeleng sedih."Papa nggak sayang, Rangga."
"Minta Om Daniel goreng ikan sama jadi papa Rangga juga. "Ucap Rangga cemberut sembari turun dari kursinya.
"OK! TANPA PELINDUNG!"Pekik Pian sebal.
Daniel! Daniel terus. Pian’kan terbakar hatinya.
Dengan kesal Pian menjatuhkan kasar beberapa cumi kecil ke dalam penggorengan, dengan minyak yang telah sangat panas.
DUMMMM
"Auhhhh Mama.!"Jerit Pian kaget di kala cumi yang ia masukan meletus, dan meletupkan minyaknya.
Dengan tangan yang lain menggosok bagian kulit, dan wajahnya yang terkena letupan minyak juga.
Sedang Rangga tertawa terpingkal melihat ekspresi shock papanya.
Enak kalau cita-cita jadi tukang usil, Papa.
Biar mama ketawa terus.
Tbc
Andai naskah sudah rapi. Pasti bakal di up setiap hari. Sayangnya kudu di edit dulu. Maaf dan sabar kakak2 hehehehehe
Ebook Suami Kakakku sudah ready di playbook. Bagi yg gak sabar pengen baca cepat2 sampai tamat. Trimah kasih