SEMBILAN
Rangga menunggu tak sabar mamanya untuk segera mengangkat telepon dari Om Daniel. Rangga tengah duduk manis di atas motor matic yang telah di standar dua Om-nya di bawah pohon rindang yang besar.
Daniel berniat mengajak Rangga jalan-jalan, dan makan. Daniel merasa bersalah karena menatap tajam pada Rangga tadi. Laki-laki itu begitu sayang pada Rangga bahkan Rangga sudah di anggap oleh laki-laki itu anak sendiri mengingat ia yang hanya tinggal sendirian di rumahnya yang lumayan besar itu, dan merasa kesepian sepanjang hari.
"Sudah belum, Om? Tumben mama lama angkat teleponnya."Tanya Rangga tak sabar. Ia ingin segera menjelajahi beberapa tempat kuliner bersama Om-nya itu seperti bulan lalu. Sangat menyenangkan.
Daniel tidak memandang kearah Rangga sedikitpun hanya menggumam kecil dengan kepala yang menggeleng-geleng. Laki-laki itu tengah sibuk menghubungi Shasa tapi tidak di angkat.
Sebenarnya boleh saja Daniel langsung mengajak Rangga jalan-jalan, dan makan di siang yang terik ini dengan meminta ijin lewat sopir pribadi Rangga, tapi Daniel nggak enak sama Shasa.
"Ish! Kirim pesan aja, Om. Mama baik nggak marahin Rangga sama Om. Paling, Papa yang marah. Tapi, Papa nggak ada di rumah."Ucap Rangga girang dengan senyum lebarnya.
"Ok. Tunggu bentar, Om kirim dulu pesan untuk mamamu. Kita makan-makan sekitar sejam lebih, ya. Kamu harus tidur siang supaya nggak kelelahan."Ucap Daniel lembut dengan kata-kata yang berisi perhatian, membuat Rangga terpana.
Dalam hati kecil anak itu, selalu menyayangkan, kenapa papanya tidak seperti Om Daniel saja? Tapi, sayangnya Rangga tidak pernah tau apa jawaban yang membuat papanya jarang pulang, dan tidak mengajaknya untuk bertemu nenek kakeknya bersama mamanya.
"Sudah, ayo kita berangkat. Awas kalau nggak habisin makanannya nanti. Bayar sendiri hukumannya."ucap Daniel dengan nada mengancam yang di buat-buat.
Rangga terlihat tertawa kecil mendengar ucapan Daniel. Dengan sombong, Rangga mengangkat kepalanya, dan mencolek perut Daniel agar memandang kearahnya.
"Uang Rangga banyak, Om. Nggak bakal habis untuk satu miliar hari. Gitu kata Papa. Tapi, celengan Rangga di simpan di rumah."
"Rangga bisa bayar sendiri. Papa Rangga, kan kaya. Hehehe. Benar, Om, Papa Rangga kaya?"Tanya Rangga dengan wajah malu-malu.
Daniel terpana dengan mulut menganga mendengar ucapan angkuh Rangga dengan wajah yang berbinar bangga.
Anak sama Ayah sama saja, darah laki-laki pengecut itu lebih kental ternyata dari darah Shasa.
"Iyain, aja, deh. Yang kaya."Ucap Daniel geli.
"Makasih...makasih,"Ucap Rangga malu. Ih, Rangga senang kalau papanya benaran kaya biar dia bisa beli apapun apa yang mamanya inginkan dengan uang papanya.
"Bocah, gelo!"Ucap Daniel gemas.
"Eh, apa Om. Om bilang apa barusan, Rangga nggak dengar?"
"Rangga ganteng."Ucap Daniel geli.
Yanga benar saja, wajah Rangga seketika memerah bak tomat. Halah, gila pujian juga ternyata anak si Pian. Rutuk Daniel geli dalam hati. Dengan cepat Daniel segera naik keatas motor, dan melaju dengan santai menuju tempat tujuan pertama mereka, mengisi perut dengan makanan berat di siang hari.
****
Rangga terlihat lahap, dan menyendok ice creamnya sampai sendoknya penuh. Daniel memandang geli kearah Rangga, perut Rangga ternyata luas, masa tadi sudah makan satu porsi nasgor, telur mata sapi dua ceplok, batagor, cilok, semua anak itu lahap tadi dan sekarang ice cream cup besar di lahap rakus oleh anak itu. Pantas badannya lumayan besar dari anak seusia Rangga lainnya.
"Pelan-pelan makannya. Nggak ada yang kejar apalagi yang ngambil."ucap Daniel sembari mengelap pipi Rangga dengan tisu karena ice cream yang anak itu makan sampai tercecer kemana-mana.
"Ada yang kejar, Om. Gimana kalau papa pulang cepat. Rangga takut mama di marahi papa nanti."Ucap Rangga di sela makannya.
"Okay, makan cepat kalau bisa. Om
kebelakang sebentar, jangan kemana-mana, okay!"Ucap Daniel dengan nada penuh penekanan agar Rangga patuh.
Rangga terlihat mengagguk. Daniel ingin pipis. Dia sungguh payah kalau berususan dengan makanan yang mengandung banyak air. Bawaannya ingin pipis terus. Daniel melangkah tergesa menuju toilet, dia sudah nggak tahan.
Sedang Rangga terlihat acuh dan sibuk melahap habis ice creamnya tanpa peduli dengan segala aktifitas lainnya di sekitarnya.
Tapi, suara berat, dan angkuh itu, terdengar familiar di telinganya.
Tangan kecilnya tiba-tiba menyimpan sendok ice creamnya, dan kepala kecilnya memutar ke kanan kiri untuk memastikan kalau suara yang tengah mengalun itu adalah suara milik seseorang yang sangat amat di kenalnya.
Aha! Dia menemukannya, dan benar saja, suara yang bernada angkuh itu adalah orang yang Rangga kenal. Seketika senyum yang sangat lebar terbit di kedua bibir basah, dan merah anak yang berusia delapan tahun itu.
Dengan pede dan lihay, Rangga turun dari kursi, dan berjalan tergesa menuju PAPA-nya yang terlihat tengah berbincang serius dengan seorang laki-laki tua berkepala botak.
Hap!
Rangga memeluk erat pinggang Pian membuat Pian kaget, dan hampir saja tangan besar itu menyingkirkan tubuh kecil yang telah dengan lancang memeluknya seperti ini di depan umum dengan kasar.
Tapi, tangannya tertahan di udara, di kala ia mengenal hanya dari atas kepala, dan aroma anak laki-laki berseragam merah hati yang tengah memeluk erat pinggangnya. Ada tiga unyeng-unyeng di kepala anak yang tengah memeluknya. Oh sial! Ini adalah Rangga, anaknya.
Kontan, Pian merasa gugup.
"Papa! Yey Rangga ketemu Papa di sini."Ucap Rangga girang membuat Pian semakin gugup.
"Lepas, Nak. Kamu siapa? Saya nggak kenal!"Ucap Pian terbata sembari mencoba melepas belitan kuat tangan Rangga di pinggangnya.
Rangga memandang papanya dengan mulut menganga lebar.
Papa nggak kenal aku, masa?
*****
Daniel sesegara mungkin menyelsaikan panggilan alamnya. Bukan hanya buang air kecil tapi langsung buang air besar juga, laki-laki itu tiba-tiba merasa mules, dan perutnya bagai terlilit di dalam sana.
Shasa sempat menelpon untuk memastikan pesan yang wanita itu dapatkan dari Daniel. Daniel menjelaskan, dan meminta maaf karena membawa Rangga sebelum mendapat ijin darinya.
Dalam keadaan membuang hajat, terpaksa Daniel menerima panggilan dari Shasa tadi. Kini laki-laki itu telah selesai dengan urusannya, dan membersihkan dirinya secepat mungkin serta mencuci wajahnya di westafel agar keringat dingin karena perutnya yang terlilit tadi hilang.
"Semoga saja, Rangga nggak membangkang, turun dari tempat duduknya."Harap Daniel cemas. Daniel tidak ingin, dan nggak sanggup kalau sampai Rangga menghilang di kerumunan apalagi suasana kedai ice cream mentari siang ini begitu ramai oleh anak remaja dan orang dewasa.
Dengan langkah seribu, Daniel segera melangkah menuju tempat dimana ia meninggalkan Rangga tadi. Tapi, sial! Ada panggilan masuk dari ponselnya membuat Daniel menghentikan langkahnya dan merogoh ponsel
yang berada di dalam saku celana coklat khusus untuk mengajarnya.
Daniel mereject panggilan itu, tidak penting. Yang penting sekarang adalah melihat Rangga sesegara mungkin.
Tapi sebelum Daniel melangkah, satu pesan masuk ke dalam ponselnya. Daniel membuka sebal pesan itu. Matanya membulat membaca deretan pesan yang mengguncangnya saat ini.
"Dindo sialan!"rutuknya sambil mengacak rambutnya kasar.
Daniel dengan cepat menelpon balik sang penelpon yang ia reject tadi. Belum saatnya!
****
"Masa Papa nggak kenal, Rangga. Ini Rangga papa."Rangga memekik tak terima melihat sang ayah yang tidak mengenalnya.
Kasak kusuk mulai menyapa pendengaran Pian membuat Pian semakin gugup, dan takut rahasianya akan terbongkar. Rata-rata orang yang berada dalam kedai ini sebagian orang mengenalnya dan yang orang-orang tau tentang dirinya, ia masih singel. Ini gawat, Pian malu, dan belum siap apabila mama, dan papanya terlebih tau tentang hal ini.
"Kamu salah orang, sayang. Misi, Om mau lewat. Maaf, ya, dek. Kamu salah orang."Ucap Pian mencoba melepaskan belitan tangan Rangga di pinggangnya. Tapi Rangga kekeh masih memeluk erat pinggang Pian.
Rangga mendongak dengan nafas tersengal, tidak percaya dengan apa yang di dengarnya barusan.
"Ini Rangga papa."bisik Rangga lirih kali ini dengan tatapan yang memandang dalam kearah Pian.
Segala spekulasi telah bersarang dalam otak anak yang berusia delapan tahun itu.
"Saya belum menikah apalagi punya anak."tegas Pian kali ini membuat belitan kuat tangan Ragga anaknya di pingganya melemah dengan raut wajah yang pias.
"Jalan duluan! Mau saya pecat."Ucap Pian tajam pada kariawan yang ia bawa yang berbakat khusus dalam membuat mebel.
"Jadi...jadi Rangga bukan anak papa."Ucap Rangga dengan nada terlukanya. Kepala anak itu menunduk dalam dengan tetesan-tetesan air mata yang perlahan mulai mengalir deras.
Jadi ini alasan kenapa papanya jarang pulang ke rumah dan main dengannya. Dia bukan anak papanya, simpul Rangga dalam hati.
Hati Pian bagai di tusuk-tusuk di dalam sana, melihat sinar terluka yang terpancar jelas dari kedua mata anaknya. Bahkan tetesan air matanya langsung terjatuh dengan mulus di lantai. Tapi, Pian tetap mengeraskan wajahnya, tidak menampilkan tatapan menyesal apalagi rasa bersalah.
Dengan gontai, Rangga berbalik, dan berjalan meninggalkan Pian dengan kepala yang menunduk. Anak kecil itu sangat jarang menangis, dan malu apabila air matanya di lihat orang. Tapi untuk kali ini, air mata tidak bisa di bendung oleh Rangga. Dadanya terasa sesak, dan sakit di dalam sana. Setelah beberapa meter menjauh dari Pian, anak kecil itu menjerit dan berlari keluar kedai. Membuat orang-orang yang melihatnya iba.
Pian ingin mengejar tapi,
"Pak, bapak sudah di tunggu sama pak Budi di dalam ruangannya."beritahu karyawan perempuan Pian takut-takut.
Dengan wajah datar, Pian memandang tajam pada karyawannya, dan berkata dengan nada dingin.
"Jalan duluan, ada yang tertinggal di mobil."
Dindo, sang asisten tidak ikut hadir dalam pertemuan dengan klien kali ini. Sehingga dengan alasan, ada yang tertinggal di mobil menjadi kesempatan emas untuk Pian dalam mengejar anaknya.
****
Hati Pian mencelus sakit melihat sang anak yang duduk meringkuk di bawah pohon rindang di depan kedai. Kepalanya di tenggelamkan di antara kedua lututnya dengan tubuh yang bergetar hebat.
Dengan langkah gontai, Pian melangkah lemas menuju tempat dimana anaknya berada. Pian berjanji, ia akan meminta maaf pada anaknya untuk hal yang tadi bahkan ia akan mencium telapak kaki anaknya melihat betapa terlukanya Rangga tadi. Ini semua gara-gara dirinya yang pengecut dan b******k!
Hati Pian semakin ngilu mendengar isak tergugu anaknya.
"Sayang, Rangga... ini papa, sayang."Panggil Pian dengan nada berbisiknya.
Matanya melihat ke kiri dan kanan, sepi. Semua orang ada di dalam mengigat betapa teriknya matahari siang ini. Aman!
Rangga sepertinya tidak mendengar bisikan lirih papanya.
"Rangga, sayang."Panggil Pian sekali lagi.
Rangga mendongak, Pian menahan nafasnya kuat melihat wajah basah dan mata merah anaknya. Rangga semakin tergugu di tempat setelah ia melihat wajah Pian.
"Hiks."
"Jangan nangis. Maafin, Papa."Mohon Pian lirih.
Rangga meluruskan pandangannya ke depan sambil melerai air matanya yang masih betah mengalir dengan punggung tangan kecilnya lemas.
"PAPA!"Panggil Rangga tertahan.
Rangga bangkit dengan sempoyongan dari dudukannya.
Pian tersenyum lebar, dan membuka kedua tangannya lebar agar Rangga, anaknya tenggelam dalam pelukan hangatnya.
"PAPA...PAPA DANIEL!"Jerit Rangga keras.
Pian membeku di tempatnya, dengan tubuh yang kaku, Pian membalikkan badannya kasar. Hatinya mencelus melihat Rangga yang telah berada dalam gendongan lak-laki yang memiliki d**a bidang sepertinya.
"Pulang, papa."bisik Rangga lirih dengan kepala yang bersandar lemas di ceruk leher Daniel.
Daniel memandang benci kearah Pian. Jadi, Rangga menangis karena lak-laki pengecut itu.
Pian terpaku, dan menelan ludahnya kasar melihat tubuh anaknya yang di bawah oleh Daniel.
Hatinya sakit mendengar Rangga yang memanggil papa pada laki-laki lain.
Sialan anaknya! Aku papamu, bukan Daniel!
Tbc
kasian ih psikis Rangga....hehehe