DELAPAN

1365 Kata
DELAPAN Shasa tersenyum lebar sedari tadi, walau pas di awal dia bangun dari tidurnya merasa kesal karena ketidaberadaan Pian di sampingnya. Laki- laki itu sudah beranjak dari tempat tidurnya sejak sebelum adzan subuh. Shasa hampir menangis lagi karena Pian sama sekali tidak pamit padanya dan tidak meminta maaf tentang kejadian kemarin. Tapi, melihat secarik kertas di atas nakas yang berisi tulisan rapi tangan suaminya, Shasa akhirnya luluh. Pian pamit lewat surat singkatnya mengatakan bahwa ada konsumen penting yang ingin membeli banyak produk hasil kerja karyawannya. Tidak hanya itu saja, dalam surat itu selain pamit, Pian berjanji akan mengajaknya libur dengan anaknya di Malasya minggu depan. Hati Shasa rasanya berbunga-bunga saat ini di tambah di pergelangan tangannya ada gelang cantik mungil dengan hiasan hati di pinggirnya. Kapan suaminya memasangnya? Shasa yakin, suaminya pasti memasang gelang cantik itu pada saat ia masih tertidur. Seketika segala amarah yang terkepul di dadanya untuk suaminya, luruh. Sepertinya Shasa merasa aman juga karena tidak jadi konsul ke dokter perihal masa suburnya, semoga saja suaminya itu lupa sampai masa suntiknya selesai. "Mama senyum-senyum terus, pasti banyak jatah, ya, mama , dari papa?"Setelah keheningan yang menyapa lebih kurang dari tiga menit. Akhirnya Rangga mengeluarkan suaranya, pasalnya mamanya itu, loh, dari tadi senyum- senyum terus sambil mandang gelang di tangannya. Sedang Shasa? Wajah Shasa seketika memerah. Shasa memandang sebal kearah anaknya. Kan, Shasa salah tingkah walau Rangga anaknya, dan masih kecil. Shasa berdehem sebelum ia menjawab pertanyaan anaknya. "Dari mana Rangga tau kata jatah, hmm?"tanya Shasa dengan suara lembutnya dengan pandangan yang memandang dalam kearah anaknya. Rangga terlihat menggaruk-garuk kelapanya membuat rambut yang telah Shasa sisir rapi itu sedikit berantakan. "Dari mana?"desak Shasa lagi masih dengan suara lembutnya. "Anu, Mama. Dari papa."jawab Rangga akhirnya. Mata Shasa melotot mendengarnya. "Kata Papa, kalau mau mama senyum terus, Rangga nggak boleh ganggu mama sama dekat mama kalau ada papa. Biar mama banyak dapat jatahnya."Ucap Rangga semuanya dengan apa yang di katakan oleh Pian sedari anak itu berumur 7 tahun. Shasa tersedak ludahnya sendiri. Tangannya mengepal di bawah sana. "Mama, jatah apa sih, yang di kasih, papa?" "Rangga juga mau dong, senyum-senyum karena papa."Ucap Rangga sebal dengan pipi yang mengembung. "Ayo, makan, cepat! Nanti telat. Tanya sama papa aja, ya. Jatah apa yang di kasih papa ke mama."ucap Shasa dengan senyum gelinya. Biar mampus itu suaminya. Tanpa membantah, Rangga melanjutkan makannya. Rangga makan dengan lahap hari ini pasalnya Shasa menyampaikan isi surat dari suaminya kepada anaknya juga. Rangga memekik senang di kala ia tau papanya mengajak liburan bareng di tambah papanya akan pulang nanti sore kata mamanya. Ini yang di inginkan Rangga sedari dulu. Semoga papanya nggak ingkar janji, kalau ingkar, Rangga akan menginap di rumah Om Daniel. Titik! **** Pian memandang aneh pada laki-laki paruh baya di depannya. Dari tadi laki-laki parubaya itu terlihat tersenyum dengan mata yang memandang berbinar kearahnya. Ada apa dengannya? Gila? Nggak mungkin, orang di depannya ini membeli hampir 500 box pulpen anak-anak padanya membuat ia untung bukan kepalang, tanpa menawar laki-laki di depannya ini langsung acc bahwa ia setuju dan mau membeli barang hasil produksi pabriknya. "Apakah masih ada yang ingin bapak tanyakan, atau mungkin ada barang lain yang ingin bapak pesan dari kita?"tanya Pian berusaha sopan walau kalimat yang ia utarankan berupa sindiran halus ingin segera mengusir laki-laki di depannya ini, pasalnya ia ada pertemuan dengan pemilik kedai ice cream yang ingin memesan barang kepadanya dengan stok yang banyak jam dua belas siang nanti, awalnya Pian menolak, seharusnya bukan ia yang harus menemui langsung konsumennya, tapi ada beberapa konsumen yang kekeh ingin bertemu, dan menawar langsung padanya, Pian mau saja kalau dia tidak sibuk, lumayan uangnya kan, untuk memanjakan anak dan isterinya di rumah. Pelakor juga... eh no! Hanya untuk Shasa dan Rangga semua uangnya. "Kamu sudah punya pacar, nak?"tanya laki- laki parubaya itu dengan lembut. Pian menggeleng, ya, diakan memang tidak punya pacar, coba isteri dia punya bahkan dia juga punya anak. Ada senyum samar di kedia bibir tipis Pian mengingat kini hidupnya yang telah sempurna. Ada hembusan nafas lega dari laki-laki parubaya di depannya ini, kenapa? "Kalau isteri, nggak mungkin’kan, kamu punya. Kamu belum menikah?"Tanya laki-laki parubaya itu lagi. Pian terdiam membisu untuk pertayaan yang ini. Bahkan pian menelan ludahnya kasar. Ia bingung, nggak mungkin kan dia mengaku? Tapi dia kasian pada Shasa isterinya. "Gimana, kamu sudah menikah apa belum?"tanya suara itu lagi. Pian mngegeleng samar dengan wajah masamnya. "Belum."ucapnya pelan. Maafkan aku, Sha. Asisten pribadi Pian yang berada di seberang Pian memandang miris kearah bos-nya. Kasian kepada bosnya, sekaligus kasian pada anak dan isteri secret bosnya. Asisten yang bernama Dindo itu takut, suatu saat nanti bosnya itu akan menyesal. Kasian juga pada, Shasa, sepertinya Dindo akan mempertimbangkan, ia ingin membantu Shasa. Tunggu saja, tanggal mainnya. * Daniel, guru yang menjadi wali kelas Rangga sekaligus tetangga Rangga memandang dengan tatapan lembutnya kearah Rangga yang terlihat duduk santai di sofa ruangan kepala sekolah. Anak kecil itu begitu santai, tidak ada sepercikpun rasa takut yang memancar dari sinar matanya yang terlihat cerah hari ini. Padahal ia baru saja melakukan kesalahan pada kakak kelasnya. Belum pasti, sih Rangga melakukan kesalahan, karena penjelasan baru dari pihak korban belum dari pihak Rangga yang merupakan pelaku. Seharusnya ada orang tua wali yang hadir untuk mewakili Rangga, tapi Daniel’lah selama dua tahun ini yang menjadi wali Rangga karena permintaan tolong dari Pian di perkuat dengan persetujuan Shasa. Daniel sudah di kenal oleh orang-orang sekolah sebagai paman Rangga. Walau sesekali Shasa akan menemani anaknya di sekolah apabila memang di wajibkan untuk hadir pihak ibu. "Ish! Wajahnya aja tengil, pantas anak saya nangis."Ucap ibu-ibu itu sinis sambil memandang sebal kearah wajah pongah Rangga. "Sabar, Bu. Kita selesaikan dengan cara baik- baik. Saya mohon."Ucap Daniel lembut dengan senyuman yang tersungging manis di kedua bibirnya. "Sabar-sabar, lihat wajah anak saya basah dengan air matanya. Entah apa yang di lakukan oleh keponakan anda."Desis ibu-ibu itu lagi. Daniel menghela nfasnya panjang, dan menoleh kearah Rangga yang masih terlihat tenang dan santai. "Rangga...Om harap Rangga jawab dengan jujur, ya pertanyaan om."Pinta Daniel dengan suara lembutnya, dan mendapat anggukan mantap dari Rangga. Rangga begitu patuh pada Daniel setelah mamanya, karena Daniel selalu menemani, dan bermain dengan Rangga kadang-kadang di rumah. "Apa yang sebenarnya Rangga lakukan pada Kakak Celin? Sampai dia menangis sesunggukan seperti itu, sayang."Tanya Daniel dengan suara yang sangat lembut berharap Rangga mau menjawab dengan sejujur-jujurnya. Rangga mengalihkan pandangannya kearah gadis cengeng itu, badan saja yang gede tapi cengeng. Rutuk Rangga sebal dalam hati. "Huh, Kakak Celin aja yang cengeng, Om."Ucap Rangga sambil menunjuk kearah Celin, kakak kelas Rangga yang duduk di kelas 5 sekolah dasar beda tiga tahun dengan Rangga. Mendapat ejekan dari Rangga membuat Celin semakin tergugu dengan isakan lepasnya. "Anak saya nggak cengeng bocah tengil." "Sabar, bu. Biarkan keponakan saya menjelaskan dulu. Kalaupun benar dia salah, saya janji akan bertanggung jawab."Ucap Daniel menenangkan ibu Celin. "Ish! Rangga tadi hampir jatuh karena tersandung kaleng, Om. Eh ada kakak Celin depan Rangga, Rangga pegang kuat tubuh kak Celin dan jatuh sama, deh."Ucap Rangga dengan nada sebal. Celin telah merusak hari cerahnya karena ajakan papanya untuk pergi berlibur minggu depan. "Keponakan saya nggak sengaja’kan, Bu. Posisi anak ibu yang berada di tempat yang salah, tapi saya akan tetap mengganti rugi."Ucap Daniel dengan senyuman leganya. Ia yakin, Rangganya tidak akan berbuat salah tanpa sebab. "Ngga jatuh doang, Ma. Anak kecil itu remes ini juga."Ucap Celin dengan nada tergugunya sambil menunjuk kearah kedua payudaranya yang tengah dalam tahap pertumbuhan. Sontak ucapan Celin membuat mata Daniel maupun ibu Celine melotot. Sedang Rangga dia terlihat sedikit salah tingkah. "Astaga...dasar bocah m***m. Benarkah itu, sayang?"pekik Ibu Celin histeris. Dan mendapat anggukan mantap dari Celin. Daniel melempar tatapan menuntut pada Rangga. "Hehehe, maaf. Rangga tadi remes, abis Rangga penasaran. Kata Papa s**u mama kenyal, Rangga coba aja remes itu s**u kakak Celin. Nggak ada kenyal! Keras malah."rutuk Rangga sebal karena di bohongi mentah oleh papanya. Bukan bohong sih, Rangga nggak sengaja dengar papanya ngomong gitu sama mamanya pas mereka tidur bareng. Daniel menghela nafasnya panjang. Pantas Celin nangis. Setau Daniel dalam tahap perkembangan p******a akan sakit walau di tindis oleh wanita itu sendiri dengan pelan apalagi ini di remas. Daniel akhirnya melemparkan tatapan tajamnya pada Rangga. Jelas Rangga salah. Untung anak itu punya banyak uang untuk ganti rugi. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN