"Kenapa baru bilang sekarang?"
Ravin memasang wajah mengerikan seraya bibir berucap. Setelah lama nona muda pergi dan tak kembali, pelayan itu akhirnya mengadu. Seharusnya sedari awal dia tidak menuruti perintah untuk tidak mengatakan pada tuannya. Kepalanya pun menunduk mewakili perasaan bersalah.
"Kemasi barang-barangmu dan pergi besok pagi!" Ravin beranjak dari tempat duduk meninggalkan ruang kerja.
Belum sempat Ravin melangkahkan kaki menuju kendaraan kesayangan, dia sudah melihat adiknya pulang dengan wajah panik. Sungguh, ketenangan sebenarnya hinggap dalam benak. Namun, yang nampak dari segurat wajahnya justru raut penuh amarah. Sebab kekhawatiran belum sepenuhnya sirna dari dalam diri.
Tak lama seorang perempuan mabuk dengan wajah tak asing datang. Ravin masih ingat betul dengan segurat wajah konyol tersebut. Namun, yang membuat heran adalah mengapa dia membuntuti sang adik. Bahkan membuat rasa cemas semakin menjadi kala melihat kondisi mabuknya.
"Woi! Kenapa lu lari? Gua cuma pengen tahu siapa nama lu. Dan ..." teriak Sally membuat dahi Ravin mengerut. Dalam benaknya dia berkata seolah menjawab pertanyaan perempuan mabuk itu, "Ayara."
"Alasan lu pengen bunuh diri." Sally melanjutkan kalimat sebelum akhirnya dia pingsan.
Raut kemarahan yang tergambar di wajah Ravin semakin bertambah setelah mendengar kalimat tersebut. Nampak kemudian dia berjalan dengan cepat menghampiri Ayara. Namun, dia melewati adiknya begitu saja menuju ke tempat di mana perempuan mabuk terjatuh pingsan.
Ayara tertegun melihat sikap Ravin. Dia pikir bahwa kakaknya akan begitu mengkhawatirkan dan memarahi dirinya saat mendengar kata bunuh diri. Jauh dari ekspetasi bahwa kepeduliannya lebih besar pada orang asing. Membuat hati merasa teriris perih.
Tangan Ravin membuka kembali gerbang yang sudah ditutup oleh penjaga. Dia kemudian membawa perempuan malang tersebut ke dalam pangkuan. Sesaat, sepasang netra mereka bertemu untuk saling bertukar pandang. Ternyata perempuan mabuk ini tidak sepenuhnya hilang kesadaran, dia hanya sekadar lemas sepertinya.
Ravin lantas membawanya masuk ke dalam rumah. Kali ini dia tak sekadar melewati adiknya, bibirnya mengucapkan satu kalimat meskipun tanpa berhenti. Seolah waktu yang akan datang menjadi sebuah persidangan untuk Ayara. Ingin rasanya dia berlari kembali menuju gerbang keluar. Namun, penjaga sudah diberi peringatan untuk tidak membuka gerbang itu kembali.
"Kita akan bicara nanti!" Kalimat Ravin masih berdengung di telinga Ayara.
***
Ribuan rindu telah tersampaikan sebagai sebuah pilu. Namun, bibir belum puas untuk mengucap nama yang selama ini bersemayam dalam hati. Sebab rasa telah ingin dia lepas untuk selamanya, maka sebanyak kata yang tertoreh menyinggahi hati harus dia keluarkan.
"Danika ... Danika ... Danika ..." Begitu katanya menghias pendengaran lelaki yang kini tengah menggendongnya.
Banyak sekali para b***k cinta mengatakan pada pasangannya ketika mereka bersandar, bahwa tempat paling nyaman dari seseorang adalah pundaknya. Namun, bagi seorang perawan cinta macam sally, ini adalah pertama kali dia mendengar sebuah nada terindah di dunia. Sebuah irama terdengar sangat indah kala telinga menempel pada sebidang d**a seorang lelaki.
Sally mulai berhenti mengucap, sepertinya nama Danika sudah habis dalam hati. Setengah pandangan kabur mendapati wajah lelaki tak asing baginya. Lengan pun mulai terangkat membelai lelaki tersebut sambil meraba ingatan, siapa sebenarnya lelaki ini?
"Wajah lu kayak ga asing banget, ya?" Sally menghela napas tanpa melepaskan telapak tangan dari pipi Ravin.
Senyum kemudian mengembang dari bibir Ravin, dia tak mampu menatap perempuan dalam pangkuannya. Sejatinya, dia ingin tertawa terbahak-bahak mengingat kejadian tadi sore. Betapa takdir memang selucu ini membawanya kembali, mungkin saja sebelah sepatunya memiliki magnet yang saling menarik.
"Aih, kenapa lu ketawa? Cakep banget sih. Gua kayak lagi jadi seorang putri yang digendong pangeran. Apa ini mimpi? Haish, Ellena sialan! Gara-gara dia gua mabuk dan jadi berhalusinasi gini." Sally berbicara tak karuan.
Ravin sesegera mungkin mempercepat langkahnya. Sebab tenaga mulai melemah saat gelak tawa masih saja dia tahan. Apalagi bobot perempuan dalam pangkuannya sangat berat, aneh, padahal tubuhnya terlihat kecil. Seketika dia baru menyadari, mengapa tak menyuruh para ajudan saja untuk membawanya ke kamar tamu.
Dalam langkah semakin melemah menapaki setiap anak tangga, tiba-tiba kedua tangan Sally bergerak dan melingkar di leher Ravin. Kedua lutut Ravin tiba-tiba serasa melemas disebabkan kegelian yang dibuat Sally. Sesaat dia menurunkan dulu perempuan itu dalam pangkuannya dan mencari ketenangan sesaat. Namun, tangan yang masih
melingkar urung dilepaskan.
"Hei!" Ravin tidak tahan dengan belaian perempuan ini. Kemudian dia ingat ketika sopir pengemudi taksi online memanggil namanya, "Sally, tolong lepaskan!"
Bukannya melepaskan, Sally malah bernyanyi sebuah lagu. Tak terdengar begitu jelas, tapi dari nada dan sepenggal lirik yang tersenggal-senggal mampu membuat Ravin menebaknya. "Romeo ... Somewhere can be ... Just say, yes!" begitu katanya. Mungkin perempuan ini sedang membayangkan dirinya bak puteri yang digendong pangeran.
Ravin mengembangkan kembali senyum kecil, membuat Ayara melihat suatu hal berbeda dari sebelumnya. Kedua sudut yang terangkat naik dengan tulus itu serasa pertama kali dilihat. Apakah itu bukti bahwa kebahagiaan memang sederhana? Tapi kesederhanaan seperti apa yang ada dalam perempuan mabuk itu, Ayara penasaran.
"Baiklah, cewek konyol, ayo. Dasar menyusahkan!" Ravin kembali membawanya dalam pangkuan. Rasanya Sally mulai mengingat nada bicara lelaki ini.
Sesampainya mereka di kamar tamu, Ravin segera membaringkan tubuh berat itu ke atas kasur. Tanpa ingin berlama-lama berada bersama Sally, dia kemudian segera beranjak. Lagi pula, aroma dari alkohol pada tubuh perempuan ini begitu menyengat. Lama kelamaan dia berada bersamanya bisa ikut-ikutan mabuk.
"Tunggu!" teriak Sally menahan langkah Ravin. Dia kembali mengangkat tubuhnya yang sudah terbaring. "Lu cowok yang tadi sore di halte 'kan?" lanjutnya berkata.
Ravin yang sudah berbalik badan kembali menolehnya. Dia kemudian dicaci maki kembali seperti sore tadi.
"Heh! Lu ..." Telunjuk Sally terangkat sambil menggoyang-goyangkannya. "Gua tahu kenapa cewek tadi pengen bunuh diri. Dia pasti mengalami nasib buruk dijodohkan sama lu, mangkanya dia tertekan. Bagaimanapun juga lu itu udah tua kayak om-om. Meskipun lu cakep." Sally membantingkan kembali tubuh pada posisi tidur.
Ravin lagi-lagi tersenyum kecil sambil melangkah kembali ke dekat Sally. Kedua tangan dilipat seraya berkata, "Dia adikku, namanya Ayara."
Sally setengah teler, tapi dia terbangun kembali mengangkat tubuh. Sepasang netra berwarna ranum menatap begitu dalam lelaki di hadapannya. Membuat pipi di paras lelaki itu berubah kemerahan, padahal dia tidak sedang mabuk. Namun, wajah mereka berdua nampak sama sekarang.
"Ayara?" tanya Sally. Dia sedikit mengingat ketika lelaki di hadapannya mengangkat telepon.
"Ayara? Ayar ... Aya ... Ay?" Sally mencoba mengeja nama tersebut secara perlahan. Dia kemudian berekspresi terkejut sambil berkata, "Jadi tadi lu nelpon adik lu?" Kedua tangan tertempel di pipi.
Sebelah bibir Ravin naik dan kepala mulai mengangguk. Dia bertanya, "Kenapa?"
Wajah Sally menengadah ke langit-langit. Dia yang selalu mengumpat takdir kini bertanya, "Oh Lord, apa dia memang jawaban atas segala pinta gua? Hah, gua ga bisa mempercayainya dengan cepat."
Pandangan kabur Sally mulai berkurang-kunang, sebelum akhirnya benar-benar menghitam. Namun, ingatan yang sudah menemui jawaban atas lelaki ini kembali mengingat sebuah kalimat. Rangkaian kata yang kemudian membuatnya ingin berontak lari, tapi tubuh lemasnya kemudian terkulai di atas ranjang.
“Memangnya berapa tarif lu sebenarnya buat ngangetin gua?” Kalimat tersebut berdengung di telinga. Tak ada yang bisa Sally lakukan kecuali mengeluarkan rintihan ketakutan dalam mata terpejam.
.
.
.
TbC