Seseorang boleh mengingat sesuatu, tapi tidak dengan sebuah luka. Itulah sebabnya, meskipun ingatan masih jelas memutar tentang kejadian semalam, Ellena tak sungkan untuk berpura-pura lupa. Baginya berakting merupakan bagian dari hidup, karena sejatinya banyak pribahasa mengatakan jika dunia ini hanyalah panggung sandiwara.⠀
Serpihan bekas pertengkaran dengan Danika semalam sudah tak berbekas. Lelaki itu bangun sepagi mungkin untuk membereskan semuanya. Namun, dari semua yang sudah tertata rapi, ada satu hal dilupakan olehnya. Kebersamaan mereka bahkan tak juga membawa kepahaman untuk mengerti. Bagaimana sebenarnya cara membenahi hati masing-masing dari luka.⠀
Ellena terbangun menuju ke tempat suaminya berada. Dia sedang menyiapkan sarapan spesial sebagai tanda permintaan maaf. Dunia ini memang memingungkan, untuk apa seseorang meminta maaf jika di lain waktu mereka melakukannya kembali. Entah berapa banyak goresan tertoreh sebagai bekas di dalamnya.⠀
“Pagi, sayang.” Ellena menyapa dengan senyum keceriaan.⠀
Danika membisu, sesaat bahkan dia mematung tak mempercayai. Seharusnya dari semua kejadian semalam nampak raut penuh kekesalan. Dia pun menebak bahwa istrinya kembali melakukan sandiwara. Untuk apa lagi kalau bukan mempertahankan rumah tangga? Tapi sebenarnya, mungkin hanya untuk mengikat lelaki ini agar tak menjadi milik sahabatnya.⠀
“Aku buatkan roti dan telur setengah matang buat sarapan kamu,” ucap Danika membawa nampan sarapan ke meja.⠀
Ellena yang sedari tadi sudah duduk bertepuk tangan sambil berteriak, “Yeay.” Paket sarapan lengkap roti bakar dengan telur setengah matang, ditambah secangkir kopi moka. Satu lagi isi dari paket dalam sarapan tersebut, Ellena menatap Danika, yakni rasa bersalahnya.⠀
“Kamu tidak sarapan?” tanya Ellena mendapati suaminya hanya menonton.⠀
Sambil menggelengkan kepala, Danika menjawab, “Aku sudah sarapan sebelum tadi.” Kedua matanya melirik lengan memastikan jam. Dia kembali berkata, “Sebentar lagi juga sudah mau berangkat, Sa‒” Kalimat Danika tersenggal, membuat istrinya berhenti mengunyah untuk menatapnya. Dengan segera lelaki itu mengembangkan senyum, “Sayang,” Katanya.⠀
Ellena tetap menyantap sarapan pagi. Namun, kali ini dia mengunyahnya agak lambat. Pandangan seketika kosong seolah memikirkan sesuatu. Sesaat dia mempertimbangkan kalimat yang akan segera terlontar dari bibirnya. Akankah kalimat tersebut membuat sandiwaranya berantakan?⠀
“Kurasa rumah ini berhatu,” kata Ellena tanpa menatap Danika. Seketika suaminya tersebut mengerutkan dahi.⠀
“Kamu tahu? Aku tidak mengingat apa pun akan kejadian semalam. Aku cuma denger dua orang berantem di rumah ini. Mereka itu kayak kita, tapi bukan. Soalnya, aku ngerasa kalo aku lagi tidur, iya ‘kan?” Ellena mengalihkan pandangan pada Danika.⠀
Sudah jelas Ellena, lelaki itu juga tahu kalau dia sedang disindir. Kedua matanya bahkan berpaling untuk menghindar. Apalagi ketika tubuh terangkat dan mengambil tas kerja sambil berkata, “Aku sudah terlambat. Kita bicara nanti.” Tapi lelaki ini tak lupa untuk mencium kening sebagai ritual pamit.⠀
Ellena mengambil kopi moka ke dalam genggaman kedua telapak tangannya. Sambil meniup setiap kepulan asap dia menghentikan langkah Danika sesaat. “Di mana Sally?” Sebuah tanya dengan suara tak bernada dan terkesan datar.⠀
“Dia sudah pulang dari semalam, El.” Tak mau melayani pembahasan, Danika lantas mengangkat kaki kembali meninggalkan istrinya sendiri.⠀
El? Padahal meskipun segan untuk dikatakan, dia sempat mengucap kata sayang. Namun, ketika nama Sally kembali hadir di antara mereka, semua akan berubah begitu saja. Untuk pertama kalinya dunia menampakan semu dalam sebuah wujud.⠀
“Apa kamu puas, Sally?” Ellena membatin.⠀
***
“Haaaaaah ...” Sally menggeliat. Bukan pagi, alarm, atau cahaya mentari yang diam-diam mengintip dari balik gorden membangunkannya. Melainkan waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, sebelas jam sudah dia tertidur dengan pulas.⠀
Kedua mata masih berpandangan kabur mendapati ruangan kamar mewah. Dengan santai dia menganggap bahwa semua ini hanya mimpi. Dia kemudian menutup kembali mata untuk sesaat. Namun, setelah berkali-kali matanya terbuka dan tertutup, dia sadar bahwa ini bukanlah sebuah mimpi.⠀
“Kamvret! Gua di mana, nih?” Sally mengangkat tubuh seketika.⠀
Dia termenung sesaat untuk mencari jawaban, tapi tumpukan memori penuh beban tidak bisa mengingat apa pun. Kejadian terakhir yang dia ingat hanya makan malam bersama Ellena, ditutup acara minum.⠀
Ketika pikiran masih berjalan mengingat kejadian semalam, pandangannya jatuh ke bawah mendapati tubuh memakai pakaian tidur. Otaknya sesaat nge-bug, membuat dirinya jatuh dalam renungan. Saat pikirannya mulai tersambung kembali, dia mulai berteriak.⠀
Gerakan refleks membawa tubuh beranjak dari tempat tidur. Namun, kaki yang semalam berjalan tanpa alas membuatnya kesakitan. Dia terjatuh dan telapaknya terasa sangat ngilu untuk dipakai berjalan.⠀
“Hellllppppp ...” teriaknya sekali lagi. Dan tak lama seorang pelayan masuk ke dalam kamar tersebut.⠀
“Maaf, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya pelayan tersebut.⠀
Ah, Sally pernah membaca adegan ini dalam sebuah n****+. Ketika seorang gadis kehilangan kesadaran, kemudian dia terbangun dalam raga berbeda, dan poin pentingnya adalah dia menjadi seorang puteri. Kejadiannya sama bahwa dia dihampiri seorang pelayan.⠀
“Siapa nama gua?” tanya Sally memastikan.⠀
“Ma‒maksudnya?” Pelayan tersebut kebingungan.⠀
“Aneh, padahal dalam n****+, pelayan ini harusnya tahu nama gua. Gua jadi puteri ‘kan?” gumam Sally pelan, tapi masih bisa terdengar oleh sang pelayan.⠀
“Maaf, semalam Mbak pingsan di depan rumah ini. Dan Tuan Ravin menolong Mbak,” ucap pelayan menjelaskan sedikit kejadian semalam.⠀
“Pingsan?” Dahi Sally mengerut menampakkan wajah tanya. Dia kemudian mendapati jawaban setelah mengingat kejadian terakhir. “Apa gua mabuk?” tanya Sally kembali pada pelayan.⠀
Sally menepuk jidat akan tinggah bodohnya. Namun, ada sedikit keganjalan dalam hal ini sebab ingatannya lennyap. Mengapa baik Ellena maupun Danika membiarkannya pulang dalam keadaan mabuk? Sepertinya sesuatu yang buruk sudah terjadi, pikirnya.⠀
“Mbak?” Pelayan itu menghentak lamunan Sally. Dia melanjutkan kalimat setelah Sally menolehkan pandangan. “Sebenarnya, Tuan Ravin tidak membolehkan Mbak untuk ke luar dulu. Ada hal yang ingin dia tanyakan.”⠀
“Heh?!” Sally terkejut. “Hal apa?” Dia masih bersuara lantang dalam bertanya. Kemudian wajahnya kembali berpaling untuk menggumam, “Jangan-jangan malah adegan ini yang kayak n****+. Tuan ini om-om ga laku, dan nanti maksa gua buat nikah. Tidakkk!”⠀
“Sepertinya pikiran Mbak terlalu jauh.” Pelayan tersebut jelas mendengar ucapan ngawur Sally.⠀
Sally gugup bahwa ucapannya di dengar, padahal perasaan suaranya sudah di set sangat kecil. Dia segera bergegas untuk berdiri, tapi sekali lagi telapak terasa sangat perih. Sekalipun dia menempatkan tangan ke kasur untuk pegangan, badan tersebut tak dapat terangkat.⠀
“Bisa bantu gua ga?” Sally memasang wajah melas.⠀
Pelayan tersebut lantas membantunya untuk kembali ke tempat tidur. Terdengar suara keroncongan dari perut Sally, menandakan kalau dia memang lapar. Wajahnya kembali memelas dan melakukan sebuah pinta.⠀
Sebenarnya tanpa Sally meminta pun, pelayan ini sudah berkewajiban untuk melayani tamunya. Sesuai dengan perintah Ravin pagi tadi, sesaat sebelum dirinya pergi ke kantor.⠀
“Eh ... eh ... tadi, siapa nama Tuan lu?” Sally menghentikan langkah pelayan yang hendak meninggalkannya.⠀
“Tuan Ravin.”⠀
“Ravin? Seperti apa orangnya?”⠀
.
.
.
TbC