bc

Silly Cinderella

book_age18+
830
IKUTI
6.0K
BACA
others
drama
comedy
sweet
office/work place
like
intro-logo
Uraian

Sally memenuhi undangan makan malam dari sahabatnya Ellena. Setelah sebelumnya dia beradu mulut dengan seorang lelaki di halte, hingga membuatnya melempar sebelah sepatu yang dia kenakan. Namun, undangan tersebut bukan hanya sakedar makan malam. Melainkan upaya Ellena untuk melihat Sally mendapat penolakan dari lelaki yang sama-sama mereka cinta, yakni Danika, dia kemudian menjebak Sally untuk mabuk. Alih-alih mendapat penolakan, dia justru menyaksikan kejadian menyayat hati. Pertengkaran antara Ellena dan Danika pun tak bisa di hindari.

Di malam sama setelah Sally membuat hubungan kedua orang bertengkar, dia menjadi malaikat penolong bagi seorang gadis. Keadaan mabuknya membuat dia menggagalkan aksi bunuh diri. Lalu, gadis tersebut menarik Sally menjumpai sebelah sepatu yang dia tinggalkan di halte. Lebih tepatnya disimpan oleh seorang lelaki. Apakah ini takdir atau hanya kebetulan?

chap-preview
Pratinjau gratis
Chapter 1 : Perempuan Malang dan Lelaki Menyebalkan
Tangisan langit mengguyur bumi begitu deras, entah sedang ikut bersedih atau mengolok sahaja. Namun, di sebuah halte duduk seorang perempuan malang. Dengan tangan melipat dan bibir yang tiada henti berkomat-kamit. Bukan mengucapkan sebuah mantra, tetapi mengumpat tadkir. Bagaimana tidak? Dunia sebagai panggung sandiwara memang bukan bualan belaka. Setiap insan adalah pemeran utama dalam ceritanya masing-masing. Entah sebagai orang baik, jahat, pendiam, lugu, humoris, bahkan ambisius sekalipun. Untuk sekarang, perempuan berusia dua puluh enam tahun ini sedang mengumpat takdir. Serasa peran dirinya di dunia hanya mendapatkan kegagalan. Baik perihal pekerjaan ataupun percintaan. Sebab selain karena status jomlo, ia juga baru saja dipecat dari pekerjaannya. “Menyebalkan,” teriak perempuan ini leluasa. Meskipun kendaraan berlalu-lalang, tetapi tak ada seorang pun selain dirnya yang berteduh di halte ini. Tak lama suara dering ponsel dalam tas menarik perhatian. Bibirnya berdecak kesal setelah tahu nama di balik layar pemanggil. Ditemani rasa ragu, ia perlahan mengangkat panggilan tersebut. “Hallo,” katanya bernada lirih. Namun, suara dari riuh hujan menyamarkannya. “Hallo, Sally. Jadi ke tempat gua buat rayain pengangkatan lu ‘kan?” tanya seorang wanita pada panggilan tersebut. Perempuan bernama Sally ini terdiam sesaat. Bagaimana dia menjelaskan tentang kegagalannya. Sampai kemudian dia menjawab, “Sorry, El. Tapi gua sama sekali gak diangkat sebagai karyawan tetap.” “What?” Wanita ini terkejut. Lalu kembali berkata, “Kok bisa? Lu kan rajin banget. Bukannya lu cerita kalo dua minggu lalu teman satu kerja lu diangkat. Padahal dia pernah mangkir dan kurang gesit bekerja.” “Gua juga ga tahu, El. Ya udah lah, ya. Lagian udah biasa ‘kan gua gini?” Sally menanggapinya santai. Namun, jauh di lubuk hati, ia ingin berteriak dan menangis. Suara di balik panggilan Sally terdengar melemah. Ia bertanya, “Lalu, apa rencana lu ke depan?” “Entahlah, mungkin cari kerja lagi. Atau ...” Suara Sally terpotong. “Atau apa?” “Ngerebut suami lu!” Sally tertawa akan guyonan yang baru saja dia lontarkan. Namun, wanita di balik panggilan itu terdiam. Apa dia marah? Batin Sally bertanya. “Kenapa gak cari cowok lain aja?” Terdengar suara wanita ini kesal. “Ellena ... Ellena ... gua bercanda elah. Lu kayak gak tahu gua aja sih.” Sally semakin tertawa. Namun, lagi-lagi Ellena temannya itu terdiam, bahkan kali ini terdengar dia menarik napas panjang karena kesal. “O—oke, Sal. Meskipun lu gak diangkat, anggap aja ini undangan makan malam. Lu dateng kan?” Ellena mengatakan dengan suara penekanan seolah memaksa. Tanpa diketahui Ellena, Sally mengangguk perlahan dan menjawab, “Oke. Yah, gua anggap ini sebagai penghibur atas kegagalan karier gua. See you, El.” “See you, Sal.” Ellena menutup panggilan. Wajah Ellena terlihat kesal usai menutup panggilan. Bagaimana mungkin dia akan menganggap perkataan Sally sebagai canda, sedang lebih dulu dia lah yang pertama menyukai lelaki yang kini menjadi suaminya. Bila saja Ellena tidak melakukan kebohongan, mungkin cinta mereka berdua telah menyatu. Kekesalan Ellena memuncak sehingga menimbulkan sebuah pemikiran untuk menjebak Sally. Dia kemudian bergegas mengambil dompet dan payung. Langkah kaki membawanya ke sebuah tempat untuk membeli sesuatu sebagai pelengkap dalam perayaan malam ini. ‘Sally, gua bakal bikin lu liat penolakan dari Danika. Gua cuma pengen lu berhenti mengungkapkan perasaan di balik kata canda.’ Diri yang tersulut api cemburu itu tidak dapat berhenti berkata-kata dalam hatinya. *** Sementara itu, Sally masih menatap layar ponsel dengan tampilan potret dirinya dengan Ellena. Setiap kali mengungkapkan guyonan itu, hati kecilnya selalu bertanya, ‘Sebenarnya siapa perebut di antara kita?’ Hanya berpayung janji bahwa sahabat di atas segalanya, Sally telah merelakan orang yang dicintai. Namun, bila itu merupakan ikrar mereka berdua, mengapa Ellena juga tak melakukan hal sama? Sally tersenyum kecil. Merasa konyol pada hal-hal yang seharusnya direlakan sejak lama. ‘Kenapa gak cari cowok lain aja?’ Pertanyaan Ellena ini membuat Sally sedikit berpikir, terlalu naif dia terus menutup hati bagi lelaki lain. Semilir angin kemudian menyadarkan jika hujan semakin lebat saja. Nuansa dingin membuat kedua telapak tangan refleks memeluk dirinya sendiri. Ia semakin tersadar bahwa selama hidupnya belum pernah merasakan kehangatan pelukan lelaki, selain Ayah dan saudara lelakinya. “Oh, Lord! Kirimkanlah seorang lelaki untuk menemani perempuan malang ini,” ucap Sally sambil menatap langit seolah memohon. Seorang lelaki nampak menghentikan sepeda motor di depan Halte. Sementara kendaraan itu diparkirkan, dia kemudian berteduh meskipun sudah basah kuyup. Tubuhnya menggigil sehingga tak menyadari jika seorang perempuan tengah memerhatikan. ‘Oh, Lord. Kenapa secepat ini terkabul?’ tanya Sally dalam hati. Lelaki itu tinggi dan memiliki tubuh proposional. Matanya indah apalagi ketika bulir air hujan seolah menjadi manik-manik yang menghiasi wajahnya. Dia mengenakan sebuah jaket kulit bagus, seleranya begitu menarik jika dilihat dari penampilan. Tentu saja! Sepertinya lelaki itu seseorang yang berkelas. Waw, lihat saja sepeda motor gede yang tadi diparkirkan itu. Kapasitas dari mesinnya mungkin mencapai 600cc. Lelaki itu kemudian nampak mencari sesuatu dari tas selempang yang sedikit basah. Tak lama dia mengeluarkan ponsel. Wajah Sally merona, dia pikir lelaki itu menyadari keberadaannya dan hendak meminta bertukar nomor. Namun, dia justru menggulirkan layar ponsel dan melakukan panggilan. “Hallo, Ay. Kamu lagi ngapain? Udah makan?” Pertanyaan lelaki ini seolah mematahkan angan Sally. Padahal dia sudah percaya diri jika takdir mengabulkan pintanya kali ini. Namun, lelaki ini ternyata bukan seorang lajang. Setelah melakukan panggilan, lelaki ini lantas duduk dan membuka jaket. Meskipun dia mengenakan jaket kulit, tetapi hujan deras tetap membuat air sedikit tembus. Ditambah lagi kondisi celananya yang benar-benar basah. Dia nampak terus menggigil kedinginan. Sally tetap memerhatikan lelaki itu. Tak lama dia kemudian kembali merogoh tas. Dia mengeluarkan sebuah rokok dan korek. Melihat hal tersebut, Sally semakin dibuat kesal. Dia sangat membenci seorang perokok. “Ehem ...” Sally berdeham tanpa melihat lelaki itu. Keberadaan perempuan ini kemudian disadari oleh lelaki itu. Rokok yang sudah berada di mulut pun urung di bakarnya. Bahkan korek yang tadi sudah dinyalakan mati karena embusan angin selagi dia memalingkan wajah. Tak mau menanggapi, dia kembali menyalakan rokok miliknya. Kepulan asap dari hisapan pertamanya dia embuskan pelan. Hal tersebut lagi-lagi membuat Sally berdeham hingga berpura-pura batuk. Siapa pun yang melihatnya saat ini akan berpikir jika dia hanya sedang mencari perhatian. Geram melihat lelaki yang sedari tadi mengabaikannya, Sally lantas mengangkat tubuh. Dia berjalan dan berdiri di hadapan lelaki itu duduk. Sedang lelaki perlahan mengangkat wajahnya, Sally terlebih dahulu mengambil puntung rokok dari jemarinya. Lelaki itu tertegun tatkala melihat rokoknya telah hancur diinjak perempuan tak dikenal. Terlebih perempuan itu langsung mengomel, “Apa lu ga tahu kalo perokok pasif lebih beresiko dari pada perokok aktif?” Lelaki itu nampak bingung dan menjawab, “Gua kedinginan. Lagi pula jarak kita duduk juga jauh.” “Hah? Lu pikir, lu aja yang kedinginan?” “Jadi, maksudnya lu mau jadi pengganti rokok itu buat ngangetin gua?” Bagi seorang perempuan, ucapan lelaki tadi sangat lancang. Apalagi kepada orang yang tidak dikenal. “Harga satu bungkus rokoknya enam belas ribu isi dua belas. Kalau di jual eceran satu puntung harganya seribu lima ratus.” Ucapan lelaki di hadapannya semakin menyebalkan. Sally merogoh dompet di tas dan mengambi uang berwarna biru. Dengan perasaan kesal dia melempar uang tersebut sambil berkata, “NIH, AMBIL! BISA BUAT BELI TIGA BUNGKUS ROKOK.” Seketika tubuhnya berbalik mengangkat kaki beberapa langkah menatap jalan. Beberapa waktu lalu, dia sempat berpikir takdir baik berpihak padanya. Namun, kini dia kembali berkomat-kamit mengumpat takdir. Semua perasaan gagal itu menyeruak kembali dalam benak. “Memangnya dia pikir gua cewek murahan? Pake bilang ngangetin dan harga rokok seribu lima ratus. Gua ga semurah itu kali. Nyebelin!” gumam Sally sambil memainkan ponsel. Dia hendak memesan taksi online untuk segera pergi dari tempat ini. Lelaki di belakangnya tersenyum melihat tingkah Sally. Dia bahkan ingin tertawa terbahak-bahak saat mendengar semua kata-kata yang dianggapnya serius. Namun, lelaki itu bisa membaca mimik wajah kegelisahan. Bukan karena masalah ucapannya, tetapi perempuan ini memang seolah menyimpan banyak masalah. Lima belas menit kemudian, berhenti sebuah mobil di depan halte. Terdengar suara klakson berbunyi sambil kaca jendela yang diturunkan. Sang sopir berteriak, “Mbak Sally?” ‘Sally?’ batin lelaki di belakangnya. Sally sudah menganggukan kepala dan hendak melangkahkan kaki. Namun, lelaki itu kemudian berteriak, “Hei.” Sontak Sally menoleh refleks. Dia lanjut berkata, “Memangnya berapa tarif lu sebenarnya buat ngangetin gua?” Pertanyaan tersebut sejatinya guyonan kembali, tetapi Sally semakin tersulut emosi. Dia melepaskan sepatu hak tingggi yang dikenakan, berikut melemparnya segera. Sayangnya, lemparan tersebut meleset. Lelaki menyebalkan itu kemudian tertawa semakin puas. Di bawah telapak kaki Sally masih menempel sepatunya sebelah lagi. Dia pun kembali melepaskan untuk melemparnya. Namun, sopir di dalam mobil dibuatnya kesal menunggu hingga membunyikan kembali klakson. “Eh, maaf Pak.” Urung melempar sepatunya, Sally kemudian berjalan tanpa alas kaki dengan sepatu sebelah di tangan. Dia bahkan tidak sadar bahwa sepatu sebelah lagi tertinggal. Lelaki itu tersenyum menertawakan perempuan yang baru saja berlalu. Untuk pertama kalinya dia bertemu dengan perempuan konyol seperti dia. Bahkan lupa pada sepatu yang telah dilemparnya. Atau, perempuan ini memang penyuka dongeng? Kemudian berharap kisahnya bagai Cinderella yang kehilangan sebelah sepatu. Tanpa ragu dia kemudian mengambil sepatu itu dan memasukkan ke dalam tas. Mungkin setelah hujan reda, jalanan akan kembali kering. Sehingga takdir berkenan menunjukkan setiap jejak untuk mempertemukan mereka kembali. . . . TbC

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

See Me!!

read
88.2K
bc

LIKE A VIRGIN

read
844.8K
bc

HYPER!

read
573.9K
bc

Aksara untuk Elea (21+)

read
839.0K
bc

Naughty December 21+

read
509.0K
bc

Pinky Dearest (COMPLETED) 21++

read
297.9K
bc

10 Days with my Hot Boss

read
1.5M

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook