“Kenapa lu ga ajak gua?” Rose protes karena sepasang tiket yang ditemukan Ayara dipakai untuk mengajak Luan.
“M‒maaf, itu ...” Ayara merasa tidak enak hati sampai menundukan kepala.
Rose kesal, kemudian berjalan meninggalkan Ayara di belakangnya. Sesampainya dia di kelas, seluruh penghuni kelas memang sudah menunggu kedatangannya. Bukan Rose, tetapi Ayara.
“Cieee ...” Seisi kelas menggodanya. Namun, agaknya sebagaian dari kata cie itu berarti, ‘cause I envi.’
Bagaimana tidak, Luan itu bintang sekolah, parasnya saja setara oppa-oppa korea. Ditambah lagi dengan ekstrakulikuler yang diambilnya itu panahan. Membuat para gadis semakin terpesona, seakan dia melesatkan busur cinta ke setiap hati.
Setelah godaan melalui kata cie, suara tepuk tangan terdengar. “Selamat, Ayara. Akhirnya lu bisa ikut berpartisipasi juga dalam game gua. Hah, sekarang tiket yang belum ketemu tinggal sepasang lagi. Siapa yang menemukannya pasti beruntung.”
Ayara tersenyum kecil atas ucapan selamat dari Pram. Selama ini semua orang menganggap apa yang dilakukan Pram hanya untuk bersenang-senang. Tanpa tahu bahwa sebenarnya dia punya maksud lain. Tingkahnya semata hanya untuk mencari perhatian orang lain.
Siapa yang menemukannya pasti beruntung.
Kata beruntung tersebut merujuk seolah-olah sepasang tiket terakhir disimpan di tempat istimewa. Ayara kemudian menyipitkan mata ke d**a sebelah kiri Pram. Di saku seragam putih itu ada bayangan warna mirip tiket nonton.
“Pram,” panggil Ayara membuat semua orang mengalihkan perhatian padanya termasuk Pram. Dia kemudian melanjutkan kalimatnya, “Tiket terakhir masih ada di sakumu.”
Entah mengapa, setelah sekian lama baru sekarang terasa. Seseorang mampu mencerna clue dirinya dengan baik. Paras berjerawat di hadapannya berubah memesona dalam pandangan. Ada getar pula di dalam data yang sukar untuk berhenti.
Sambil meraba menenangkan keadaan, Pram mengambil tiket tersebut. “Selamat lagi, Ra.” Sambil mengulurkan tiket tersebut.
Ayara tersenyum bahagia, sebab rasa bersalah pada Rose bisa langsung ditebus. Tidak apa, lagi pula rencana pergi berama Luan itu bukan kencan. Jadi, tak masalah jika mereka pergi bertiga. Namun, satu tiket lagi untuk siapa?
“Pram? Lu mau nonton bareng gua, Rose dan Luan?” Ayara mengatakan setelah terpikir satu tiket tersebut untuk menebus rasa bersalahnya pada Rose.
Damage dari ucapan dan pandangan Ayara meruntuhkan hati Pram. Serasa lebur menjadi warna merah muda yang mengisi ruangan. Kemudian terdengar para malaikat menyanyikan lagu cinta.
Pram mengangguk bahagia, dan menerima tiket yang kembali diberikan Ayara. Gadis itu kemudian kembali menuju tempat duduk. Menatap jendela menuju kursi taman, tanpa tahu seorang pemuda jatuh hati tak bisa juga lepas memandangnya.
“Ra, tadi Luan nelpon siapa?” tanya Rose penasaran.
“Telepon?” Ayara bahkan lupa kalau tadi luan sedang melakukan panggilan. Dia juga tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Sebab, pemuda itu terlanjur menyudahi panggilan.
Jadi, siapa yang sebenarnya dihubungi oleh Luan?
***
Sally berdecak kesal setelah menerima panggilan dari adiknya. Padahal umurnya sudah dua puluh enam tahun, tapi mengapa dia masih diperlakukan seperti anak kecil? Tidak hanya itu, posisi dirinya sebagai kakak seolah tertukar.
Waktu serasa berjalan amat lambat. Suasana ruangan saja nampak seperti tempat seorang puteri. Namun, kondisi dirinya tak jauh berbeda dari orang tak berguna. Seandainya rasa perih di kaki cepat berlalu, dia mungkin bisa mengelilingi istana ini.
Tubuhnya kembali melunjur menarik selimut, memejamkan mata kembali. Berharap saat bangun kondisi kaki sudah membaik. Sayup-sayup mata mulai menampakkan samar pandangan. Tak terasa sukma sudah terlelap begitu saja.
Uhuk ... uhuk ... Seseorang terdengar sengaja mengganggu tidurnya. Semakin lama batuk tersebut kian mendekat di telinga.
“Hei, bangun!” katanya berbisik.
Sally membuka perlahan pejaman mata, wajah berpaling kesamping dan mendapati sosok tak asing. Dia terkejut hingga terperanjat dari tempat tidur.
“Nga‒ngapain lu di sini?” tunjuk Sally mengenali wajahnya langsung.
“Ck ...” Ravin berdecak. “Lu emangnya lupa soal semalam?” tanya Ravin.
“Semalam?” Sally gelagapan mengingat kata terakhir waktu pertemuan mereka di halte. “Lu gak macem-macemin gua ‘kan?”
Ravin mengerutkan dahi tak mengerti maksud ucapan Sally. Padahal, dia sebenarnya ingin menanyakan perkara adiknya. Sebab, bagaimanapun kata terlontar dari bibir, tak jua membuat Ayara membuka suara. Tentang alasan mengapa dirinya ingin bunuh diri.
“Tapi tunggu! Emangnya lu siapa? Jangan bilang kalo lu adalah ...” Sally menelan ludah sebelum kembali berkata.
“Ravin!” Belum sempat Sally melanjutkan kalimat, Ravin sudah memberinya jawaban.
“Tydac!” Sally menutup bibir dengan kedua tangan. Gerak-gerik tubuhnya menunjukkan ekspresi lebay seperti biasanya. “Apa ini akan menjadi kisah paksaan seperti dalam n****+? Apa yang lu lakuin sama gua semalam?” Sally memegang erat kepala.
“Gua? Ngelakuin ...” Pikiran Ravin belum terhubung pada maksud perkataan Sally. Hingga dari segala bahasa tubuh tersebut, dia menebak sesuatu. Perempuan di hadapannya ini hanya korban dari cerita-cerita fiksi.
Mimik wajah Ravin berubah, dia memasang wajah m***m. Mengingat bahwa perbincangan mereka sebelum ini juga sangat konyol. Akhirnya dia melanjutkan kalimat, “Ngelakuin ... Gua dan elu. Kita semalem ada di bawah selimut itu.” Matanya melirik ke tempat tidur.
Wajah Sally berubah merah, perpaduan antara malu dan marah. Tangan yang tadi memegang erat kepala kemudian turun. Lingkar leher bajunya tak lekas dari genggaman. Seolah ketakutan haga dirinya menghilang.
“Ga sakit ‘kan?” Melihat kekhawatiran Sally, membuat Ravin semakin senang menggodanya.
“Vangsat!” Sally meraih guling di atas kasur. Dia pun tak henti memukulnya pada Ravin. Sedangkan lelaki itu malah tertawa puas sambil menahan-nahan pukulan. Aneh, padahal pukulan tersebut tak mengenai kepala dengan keras. Namun, lelaki ini lupa pada tujuan pertanyaan awal.
“Woii! Hentikan.” Ravin merasakan kebahagiaan.
Di balik pintu, Ayara mengintip mereka. Imajinasi mengubah sepasang insan tersebut adalah dirinya dan Luan. Betapa indahnya saat sebuah kebahagiaan tercipta secara alami. Tanpa sadar tawa terlepas begitu saja. Semua beban pun serasa sirna.
“Stop!” Ravin menahan guling yang sedari tadi menyiksanya.
Sally masih marah, mencoba menarik kembali guling tersebut. Agaknya pegangan Ravin sangat erat, sehingga dia tak dapat merebut. Hingga akhirnya lelaki itulah yang menarik dari genggaman Sally. Guling tersebut dilempar Ravin ke sembarang tempat.
Ravin memasang raut wajah menyeramkan. Kaki perlahan melangkah membuat Sally terus mundur. Seketika tangan meraih pergelangan perempuan di hadapannya. Mereka pun jatuh ke dalam pelukan.
“Lepasin, gua!” ucap Sally meronta, tapi tangan melingkar itu semakin kuat.
Ravin mendorong tubuh tersebut bersama dirinya jatuh ke kasur. Perempuan dengan wajah berjarak beberapa centi tersebut semakin ketakutan. Dia tidak mampu menerka apa lagi kejadian selanjutnya.
Dalam keadaan tersudut begini, Sally masih berusaha mengeluarkan sedikit tenaganya. Dia mendorong d**a lelaki itu agar menjauh. Dari baliknya, terasa sebuah getaran tak asing. Nada indah yang mungkin hanya ada dalam mimpi. Tak ayal membuat tenaga semakin melemah karena rasa kebingungan.
Sally menutup mata manakala lelaki itu semakin mendekati wajah. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menelan ludah. Begitu pula dengan Ayara yang menyaksikan kejadian tersebut. Dengan segera dia menarik tubuh meninggalkan tempatnya mengintip. Tidak seharusnya dia menyaksikan hal tersebut.
“Apa yang Kak Ravin lakukan?” tanya Ayara setelah sampai di kamar. Dia termenung sambil menekuk kedua lutut.
.
.
.
TbC