7 Kenapa Sih?

1349 Kata
"Icaaaal cali-cali ... aku kangen!!" selengkingan suara yang tak asing di telinga mengagetkanku yang tengah berkonsentrasi menyelesaikan desain kebaya modern yang dipesan Nana untuk syukuran tujuh bulan kehamilannya. Sontak aku memutar kepala demi mencari asal suara. Di balik pintu yang setengah terbuka, tiba-tiba saja Shila berjalan cepat menubruk tubuhku, kedua tangannya memeluk erat punggungku. Hampir saja aku limbung karena tak siap dengan serangannya, untung tangan besarku masih sigap berpegangan pada tepian meja. "Shila? Kapan dateng? tumben gak kasih kabar." Aku memang masih sering bertukar kabar dengan gadis cantik ini. Tapi sejak semalam ia tak menceritakan tentang rencana kepulangannya ke Malang. Jadi aku benar-benar terkejut dengan kemunculannya sepagi ini di ruang kerjaku, di lantai dua butik yang aku kelola. "Tadi subuh, mendadak aja sih karena diajak sama mbak Tussy." Mbak Tussy ini adalah senior kami di kampus, dia yang mengajak Shila untuk ikut pameran fashion di Surabaya. Dan karena kinerja Shila yang patut diacungi jempol, mbak Tussy akhirnya merekrut Shila untuk bekerja di Silver Flowers, salah satu butik ternama tempatnya bekerja juga. Butik yang sebagian besar mengambil pesanan baju pengantin dengan harga fantastis untuk satu gaun pernikahan saja. "Kenapa gak ngabarin dulu?" "Kan aku udah bilang, mendadak Cal, kita lagi dapet client yang kebetulan keluarga mempelai wanitanya dari Malang. Minta disamperin kesini, sultan mah bebas." jawab Shila setelah melepaskan pelukannya. "Malang mana client nya?" "Sekitar jalan Ijen." Shila memutari mejaku dan duduk di kursi yang berada tepat di seberangku. "paling nanti sore aku sama mbak Tussy ke sana. Sekarang mumpung longgar aku mampir kesini dulu." sambungnya lagi. Aku menghentikan gerak tanganku di atas kertas gambar. Sejenak ku amati gadis yang beberapa bulan ini tak pernah aku temui karena kesibukan kami yang menyita waktu. Aku dengan kuliah dan butikku, sedangkan Shila sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai designer juga. "Kamu lagi bikin baju buat siapa? Cantik bener." Shila mengendikkan dagu ke arah kertas gambar di mejaku. "Buat Nana, mau tujuh bulanan dia." "Oya? cepet ya, udah tujuh bulan aja si Nana." "Hu umm... time flies." "Kapan sih?" Aku melirik sekilas pada kalender yang berdiri di sebelah laptop. "Minggu depan, tanggal empat belas." "Yaaah, gak bisa ikutan dong. Aku besok lusa sudah harus balik ke Surabaya." cebik Shila dengan raut wajah sarat kecewa. "Cck ... Pasti kangen sama masakan budhe kan?" ledekku membuat Shila semakin memanyunkan bibir. Kami memang seakrab itu, bahkan berkali-kali Shila aku aja ke rumah Nana. Jadi tak heran jika ia ketagihan dengan masakan budhe yang pemilik catering besar itu. Jaminan endeeuss surendueess pokoknya mah. "Salah sendiri kerja jauh amat di luar kota." cibirku. "Deket sih sebenernya. Cuma lagi musim kawinan aja Cal, banyak banget client yang pesen wedding dress, jadi gak bisa sering-sering pulang kesini." jawabnya lesu. “Gampang lah... kapan-kapan bisa aku kirimin masakannya budhe, kalau sekarang gak bisa. Budhe lagi repot di villa soalnya.” Kulihat Shila hanya mengangguk-angguk sambil berputar-putar di kursi kerjaku. “Keluar yuk Cal, emang kamu gak kangen sama aku apa?” pertanyaan yang selalu sama setiap kami bertemu setelah berpisah beberapa saat. “Iya, kangen.. kangen...” jawabku tanpa melepaskan fokus dari kertas gambarku lagi. Gambar kebaya Nana sudah hampir jadi, aku tinggal menambahkan beberapa detail cantik di bagian bawah dadanya, mengingat perutnya sudah membuncit, ia pasti akan tampil semakin anggun dengan tambahan obi dan beberapa swarovski. “Ya hayuk keluar, mumpung aku free sampe nanti sore. Nonton dulu bisa kali.” Nonton ? Waah boleh tuh, udah lama juga gak nongkrong ke bioskop. “Oke, kasih aku waktu sepuluh menit buat beresin sketsa ini.“ aku menunjuk pada kertas gambar yang memang tinggal sedikit. “Yuhuuww ... asiik, oke deh beresin dulu aja gambar buat Nana, aku pesen tiket online ya.” jawabnya begitu berbinar, senyumnya mengembang sempurna bak anak kecil yang mendapat hadiah permen dari ibunya. Tiba-tiba terlintas satu ide di benakku untuk memanfaatkan situasi ini. “Pesen tiga tiket dong Shil.” ucapku cepat. “Tiga? Satunya lagi buat siapa?” tanya Shila seraya mengernyitkan kening. “Ajak Sita yuk, please.” Seruku dengan memasang ekspresi memohon. “Mbak Sita ku?” ulangnya memastikan. “Iya Sitaku juga, kangen nih.” Dan sedetik kemudian senyum lebar yang menghiasi wajah Shila tadi lenyap entah kemana. *** "Sita beneran gak bisa ikut?" tanyaku untuk yang kesekian kalinya. Kami sedang dalam perjalanan menuju Matos saat ini. Shila sudah memesan dua tiket bioskop untuk kami, World War Z menjadi film pilihan Shila. Entah film tentang apa itu, aku juga baru dengar judul itu, lihat saja nanti. "Beneran Cal, terlalu mendadak katanya, mbak sita masih belum beres gambar. Deadline bentar lagi." jawab Shila dengan ekspresi datar. Kenapa sih nih cewek, kemana senyum cengengesan yang biasanya itu? "Yaah kita berduaan doang ini?" "Iya dong, seru kan berduaan gini." naaah terlihat lagi senyum sumringahnya sambil memeluk lengan kiriku. Aku hanya terkekeh melihat tingkah Shila yang berlagak manja padaku. Benar-benar mengingatkanku pada Nana yang tingkahnya juga sebelas dua belas seperti ini. Cerewet dan manja gak ketulungan. Andai Sita juga bisa manja seperti ini padaku, aaah ... tuuh kan langsung inget sama Bu Sita kesayanganku lagi. By the way, selama berbulan-bulan ini aku sama sekali tak mengendurkan semangat untuk mendekati Sita. Bahkan setiap Sabtu dan Minggu pagi aku masih rajin mendatanginya saat melatih karate di SMP Tunas Bangsa. Responnya? Macam-macam lah, kadang ketus kadang welcome, kadang tetap dengan tangan yang sigap untuk memukuliku jika mulai sebal dengan candaanku. Entahlah, semakin sulit untuk ku raih, hatiku semakin meronta untuk mendekati. Aku pun sudah punya rencana lain untuk mengajaknya nanti, saat acara tujuh bulanan di rumah baru Nana. "Sejak aku di Surabaya, kayaknya kamu semakin dekat sama mbak Sita ya Cal?" pertanyaan Shila membuyarkan lamunanku akan Bu Sita dan segala pesonanya. "Eh.. gimana gimana?" tanyaku lagi karena tadi memang sedang tak konsentrasi karena sedang mencari area parkir yang kosong untuk mobilku. Mall saat menjelang akhir pekan seperti ini memang selalu ramai untuk dikunjungi. Kadang itulah yang menjadi alasanku malas untuk keluar rumah di hari Jum'at malam seperti sekarang. "Kayaknya kamu semakin deket sama mbak Sita akhir-akhir ini. Iya gak sih? Atau hanya perasaanku aja?" ulang Shila. Aku mengulum senyum mendengar pertanyaan Shila. Seperti sudah saatnya aku mengaku pada Shila bahwa aku punya perasaan lebih untuk kakaknya. Dan, sekarang waktu yang tepat menurutku. Mumpung Shila sedang di Malang kan, siapa tau dia punya saran tersendiri gimana cara menaklukkan hati seorang Anarasita. "Nggak, bukan perasaan kamu aja kok Shil. Aku memang sedang dalam proses pendekatan ke Sita. Boleh kan? Gimana menurut kamu?" jawabku santai sambil berjalan pelan dengan Shila menuju bioskop di lantai tiga. Shila yang berjalan tepat di sebelahku dengan tangan memegang gelas berisi juice alpukat yang tadi sempat kami beli, tiba-tiba tersedak mendengar kalimatku. Emang ada yang salah dengan kalimatku? Enggak kan? Aku kan hanya jujur menjawab pertanyaan Shila tadi. Aku menoleh dan refleks menepuk punggung Shila dengan gerakan pelan. Tak lupa juga aku mengangsurkan air mineral yang aku bawa dari butik tadi. Siapa tau Shila tersedak biji alpukat kan? Ah ... entahlah. "Ap- apa Cal? Gimana maksudnya tadi?" tanya Shila begitu ia tenang lagi. "Sini.. sini duduk dulu sistah." Aku langsung menarik tangan Shila untuk duduk di sofa depan teather bioskop sambil menunggu film dimulai, sekitar tiga puluh menit lagi. Menjelaskan tentang perasaanku pada kakaknya sepertinya lebih enak dengan duduk santai seperti ini daripada harus berdiri seperti tadi. "Aku memang sengaja mendekati kakakmu Shil. I think I'm falling in love with her. Love at the first sight gitulah, sejak pertama kali ketemu sampai detik ini, perasaanku dibikin gak karuan sama kakakmu itu." Shila menganga seolah tak percaya jika sahabatnya ini sedang setengah gila karena jatuh cinta pada saudaranya. "Terus gimana menurut kamu Shil? Bantuin dong biar sohibmu ini gak jadi jomblo karatan terus. Aku serius banget sama Sita. Please bantuin ya.. yaa.. ya..?" rengek ku sambil meremas tangan kiri Shila. Namun bukan jawaban yang kudapat dari sahabat cantikku ini, tangannya malah menepis genggamanku dan menyentak tanganku dengan tegas. Sedetik kemudian Shila lantas beranjak dari tempat duduk kami, lalu pergi menjauh dariku dengan ekspresi, hmm.. marah? "Shila, woii ... Shil. Kenapa sih?" panggilku tak mendapat respon sama sekali. Shila malah melengos sambil melirik sinis padaku yang mengejar di belakangnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN