Selepas mengantar Sita pulang ke rumah, senyumku tak luntur sedikitpun, bahkan aku seperti orang gilà karena terus menerus tertawa kecil sepanjang perjalanan pulang. Bahkan tadi saat ikut turun dari mobil di depan rumah Sita, papa Rio ikut keheranan melihat wajah sumringahku. Berbanding terbalik dengan wajah Sita yang memerah karena perbuatanku tadi.
"Happy banget kelihatannya Cal?" tanya papa Rio tadi.
"Iya Pa, anak sulung papa gemesin banget sih. Jadi pengen bungkus terus bawa pulang." jawabku tanpa sungkan.
"Husssh ... ada-ada saja kamu Cal." Papa Rio tergelak dengan kalimatku. Sita yang mungkin mendengar jawabanku langsung ngibrit berlari masuk rumah.
Aku hanya sebentar di rumah Sita, setelah ngobrol ringan dengan Papa Rio aku pamit undur diri karena semakin larut. Pun karena Sita, tak keluar lagi untuk menemuiku. Masih malu mungkin.
Sampai di rumah aku segera mengirimkan pesan pada Sita.
Ical : Sita, aku sudah sampai rumah.
Sita : Iya, terimakasih banyak sudah mau menemani ya,untuk Dress juga.
Ical : Hmm.. aku juga terima kasih karena kamu ijinin ikut. Dan, really sorry untuk tindakan lancangku tadi.
Aku tulus meminta maaf padanya. Tak melihat wajahnya setelah aku berpamitan tadi sepertinya membuatku merasa sedikit bersalah. Bagaimanapun itu ciuman pertamanya, bisa jadi dia begitu menjaga kan. Aku malah dengan lancangnya malah nyosor duluan. Duuuh.. dasar bibir gak kuat iman.
Sita : Syukur deh kalau nyadar, lupain aja bisa?
Balasan terakhir Sita membuatku lagi-lagi tertawa sendiri. Lupain katanya, ya gak mungkin bisa lah. Bibir tipis Sita itu benar-benar godaan nyata, yang paling sulit untuk dilupakan. Ckk.., enggak bisa.. enggak bisa. Pokoknya gak akan aku lupakan, akan aku tambah berulang-ulang kalau bisa. Tekadku makin tak tau malu.
"Ical, makan dulu." teriakan mama Ratna menyadarkan lamunan indahku.
Iiisssh ... Mama, ganggu aja khayalan indah anaknya.
"Ma, aku masih kenyang." jawabku malas dari dalam kamar.
"Emang udah makan?" mama sengaja melongokkan kepalanya di pintu kamarku.
"Udah Ma, tadi abis kondangan langsung makan mie di Paralayang, abis itu nyemil martabak manis di rumah Sita."
"Sita saudaranya Shila itu?" Mama dengan wajah yang sudah mode kepo tingkat tinggi langsung masuk kamar dan duduk di kursi kayu dekat meja komputerku.
"Kamu suka Sita?" tebak Mama sambil mengangkat telunjuknya di depan dadaku.
"Mama kok tau?"
"Sepulang dari kondangan bibir kamu gak berhenti cengengesan soalnya. Beda dari biasanya."
"Ckk.. susah ya bohongin Mama." decakku menutupi malu.
Aku memang paling tidak bisa menutupi apa yang aku rasakan dari perempuan paruh baya ini. Meski aku tak terlahir dari rahimnya, mama Ratna selalu bisa menempatkan diri di hati kami, aku dan Felisa adikku. Tanpa menggurui, tanpa menggeser posisi almarhumah bunda sebagai ibu kami.
Ku lihat Mama tersenyum melihat tingkahku yang malu-malu menjijikkan. "Bener kan tebakan mama."
Aku mengangguk mengiyakan. "Gak meleset sama sekali. Tapi Ma.." kalimatku menggantung.
"Tapi apa?"
Hampir sembilan tahun Mama Ratna menjadi ibu sambungku, dan selama itu pula beliau jadi teman yang sangat nyaman untuk berbagi cerita. Bahkan cerita tentang pasangan sekalipun.
"Kayaknya susah banget dapetin yang ini Ma, padahal aku udah kebat kebit tiap mikirin dia."
"Halah, masa gitu aja udah mau nyerah." cibir mama Ratna sadis. Bibir bawahnya itu loh sengaja banget menye-menye untuk mengejekku.
"Bukannya mau nyerah Ma, cuman pusing aja mikir strategi baut taklukkin hati Sita. Saran dong ma saran." rengekku sambil mengacak asal poniku yang mulai memanjang ini.
"Tempelin aja terus kayak perangko, kasih perhatian tiap hari. Kalau dia risih, pasti langsung menjauh. Kalau dia nyaman, pasti bakalan betah dan gak terganggu sama sekali." jawab mama dalam satu tarikan nafas. Terlihat yakin sekali, dan aku harus mempercayai beliau. Sebagai seorang senior di dunia percintaan, saran dari mama Ratna tidak bisa diabaikan begitu saja.
"Yakin gitu doang ma?" tanyaku sambil mendekat.
Mama Ratna hanya mengangguk sambil memainkan kuku jarinya yang terpotong rapi.
"Gak perlu pake kirim pelet online atau apa gitu ma? Aku siap order." lanjutku membuat mama melotot.
"Ngawur, hari gini masih percaya aja sama pelet. Musyrik mas Ical, musyriiiikkk...." omelnya sambil menempuk pundakku keras.
"Duuuh Ma, becanda doang." sungutku sambil mengusap bekas tepukan tangannya tadi.
"Ya wes lah selamat berpikir strategi buat nempelin Sita. Mama ke bawah dulu, mau siapin kopi buat papamu." ucapnya lantas berlalu meninggalkan kamarku.
Begitu mama keluar kamar, aku berpikir keras mengatur strategi untuk mendekati Sita tanpa membuatnya merasa risih dengan keberadaanku. Sampai aku ingat sesuatu yang akan gadis cantik itu lakukan esok pagi.
***
"Pagi Bu Sita ..." sapaku begitu melihat Sita selesai dengan sesi latihan karatenya dengan bocah-bocah kecil yang mungkin masih kelas satu SMP.
Tampak jelas wajah Sita memperlihatkan keterkejutannya. Pasti lah si cantik ini terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba di lapangan SMP Tunas Bangsa. Padahal sudah dari tadi aku memperhatikan kegiatan Sita dari kejauhan agar ia tak salah tingkah saat memberi instruksi pada murid yang didominasi oleh remaja laki-laki itu.
"Gitu banget deh mukanya." sambungku saat melihat Sita masih mengerutkan kening, tanda bingung dengan kehadiranku yang bak jelangkung ini mungkin. Datang tak dijemput pulang tak diantar.
"Ical?" naaah... kalau berakhir dengan bersuara gitu kan enak dengernya. "Kamu ngapain pagi-pagi udah nongol disini?"
Sita berjalan semakin mendekat, menghampiriku yang duduk sendiri di tepi lapangan dibawah rindangnya pohon entahlah apa itu namanya. Lagi-lagi Sita bikin aku terhipnotis dengan penampilannya.
Tubuh rampingnya yang berbalut baju Dogi dengan sabuk hitam yang melingkar di pinggang. Jangan lupakan juga rambut hitam panjangnya yang diikat tinggi bak ekor kuda, memamerkan tetesan keringat yang perlahan bergulir di leher mulusnya.
Glek...
Sita dengan penampilan penuh keringat karena latihan karate aja bisa membuatku menganga, apalagi jika membayangkan ia berkeringat karena hal lain. Astaga Ical... wake up, wake up!! Perjuanganmu masih panjang ferguso.
"Ngapain? ditanya malah bengong." Sita melempar handuk kecil yang ia gunakan untuk menyeka keringatnya ke arahku.
Aku mengerjap dengan usaha Sita menyadarkan lamunku. "Eh, bawain kamu sarapan lah bu Sita."
"Nggak ada yang minta." jawabnya ketus tapi masih dengan senyum kecil.
"Ya.. namanya juga usaha Ta." aku manyun saja dengan respon sarkasnya. "Kamu belum tau kan betapa enaknya bubur ayam special Wiwitan di ruko depan itu." aku mengendikkan dagu ke arah gerbang sekolah.
"Ooh yang katanya bubur ayam special pakai telur itu?" Sita sudah duduk bersebelahan denganku, wajahnya menoleh tampak penasaran dengan pastik putih yang ada di pangkuanku.
"Eitsss.. yang ini lebih special lagi, gak hanya pakai telur tapi juga pakai cinta."
"Usaha terosss ... But makasih ya udah bawain aku bubur ayam." jawabnya cuek.
"Iya, sebagai permulaan aku bawain kamu bubur ayam dulu. Nanti kalau sudah diterima aku akan bawa orang tuaku untuk meminangmu."
Plaaakk...!!
Tuuh kan tangan mulusnya langsung lincah memukuli lenganku. Duuhh Sita ini, hobby sekali menganiaya calon suami. Dari pada mukul mending kasih ciuman selamat pagi kan?
"Sita tayang ... gak bisa kalau gak mukul-mukul gitu?" aku meliriknya horor sambil mengusap lengan atas bekas pukulannya.
"Makanya kalau ngomong yang bener." sungutnya sambil menggerakkan bibirnya manyun ke kanan dan kiri. Kode pengen dicium lagi atau gimana sih tuh bibir?
"Emang bagian mana yang salah sih?" protesku.
"Itu tadi, meminang ... meminang ..." cibirnya. "Udah siniin bubur ayamnya, gak usah gombal terus deh." lanjut Sita lagi.
Tanganku bergerak cepat membuka bungkusan plastik yang ku bawa. Mengeluarkan dua kotak berisi bubur ayam dan dua gelas jeruk hangat.
"Silahkan bu Sita." ucapku saat mengulurkan satu kotak bubur ayam yang sudah kubuka kan. "Laper banget ya?" tanyaku saat melihat binar di sepasang mata besarnya.
"Dikit sih, tadi cuman sarapan roti." jawabnya setelah menerima bubur ayam yang aku ulurkan.
Gerombolan murid-murid Sita yang menghampiri kami, menjeda kegiatan Sita untuk menyuap buburnya.
"Bu Sita, kami pulang." ucap seorang gadis remaja yang juga memakai dogi dengan sabuk warna putih.
"Kami pulang bu." saut temannya yang lain.
"Pulang ya bu, pulang ya bu.. pulang ya bu.." sambung murid-murid Sita yang lain.
Mereka berderet berpamitan dan mengecup punggung tangan Sita, pelatihnya. Dan, yang tak aku sangka adalah, murid-murid Sita juga turut mengulurkan tangan padaku yang duduk tepat di sebelah Sita. Tak hanya bersalaman, mereka juga turut mengecup punggung tanganku dengan hormat, dikira aku bapaknya kali ya.
"Mari pak.. "
"Pulang dulu pak."
"Duluan pak..." kata mereka bergantian saat bersalaman denganku.
Setelah rombongan murid-murid Sita berlalu satu per satu, kembali muncul ide untuk menggoda gadis manis yang kini sedang lahap menghabiskan bubur ayam yang aku bawa.
"Bu Sita..." panggilku membuatnya langsung menoleh.
"Kayaknya kita udah cocok untuk melangkah ke tahap yang lebih lagi deh?"
"Maksudnya?"
"Tuuh ... murid-murid kamu aja udah pinter banget manggil kita 'bu' sama 'pak'. Udah yuk, naikin aja hubungan kita ke status pacaran mengarah ke pernikahan. On the progress gitu, selain murid-murid kamu, aku juga udah siap lahir batin kalau anak-anak kita nantinya manggil 'bu' dan 'pak' ke kita."
Nggak usah ditanya gimana respon Sita berikutnya. Kalau gadis lain mungkin akan tersipu-sipu manja mendengar gombalan recehku, lain lagi dengan Sita yang langsung menginjak kakiku dengan kekuatan sadis berkali-kali. Beneran gak ada scene manis-manis romantis diantara kami di pagi yang cerah ini.
"Icallll...!!! Gak ada ide lain ya di kepala kamu selain ngajak aku pacaran." pekik Sita setelah meletakkan bubur di sebelah tempat duduknya.
"Gak ada." jawabku lantang.
Tak langsung menjawab, Sita malah sigap meraih tas kecil milikku yang terletak di sebelahnya untuk memukuli dadaku. Duuh yaa... jadi triple sakit kan kalau begini.
Tapi di gerakan berikutnya dengan gesit aku menahan pergelangan tangannya di udara. Mencengkeramnya dengan kuat sambil menatapnya lekat-lekat.
"Lepasin nggak." gertak Sita mencoba menarik tangan yang sengaja aku tahan.
"Enggak, enak aja main lepas gitu aja. Tanggung jawab dulu."
"Tanggung jawab apa? Kan belum aku apa-apain."
"Kaki aku sakit kamu injek-injek, pake ditambah pukulin badan aku lagi. Aku butuh diobati." ucapku tegas namun sungguh aku benar-benar menahan tawa didalam hati.
"Males." jawabnya makin melotot galak padaku. Dikiranya aku takut apa? Mata melototmu malah bikin hati Abang klepek-klepek neng Sita.
"Kalau gak mau obatin badanku, ya udah terima cintaku." tembakku tak tahu malu.
***