8 Calon Mantu

2058 Kata
Aku kembali ke tempat tidur setelah seharian ini sibuk di butik. Customer membludak. Syukur alhamdulillah.. memang musim-musim wisuda seperti ini butik selalu ramai dikunjungi mahasiswa tingkat akhir beserta keluarganya yang sibuk mempersiapkan kostum terbaik mereka. Selain itu aku juga disibukkan dengan mulai mengerjakan gaun untuk sepupuku, Nana, yang akan mengadakan acara tujuh bulanan sabtu nanti. Aah, satu lagi yang membuatku sibuk. Sibuk berpikir lebih tepatnya, tentang sikap Shila yang mendadak dingin padaku. Sejak batalnya rencana nonton kami Jumat lalu, Shila seperti menghindariku. Bahkan sampai ia kembali ke Surabaya, Shila tetap mengabaikan panggilanku. Hanya sesekali ia membalas pesan yang ku kirim, itupun tak secepat biasanya. Memang jumat kemarin, Shila mendadak meninggalkanku di depan teather bioskop. Rencana nonton kami batal berantakan, karena saat ku kejar, tau-tau Shila sudah masuk ke taksi online yang entah kapan dipesannya. Tak ingin tiket yang sudah terlanjut dibeli menjadi mubadzir sia-sia, akhirnya aku memberikannya pada salah satu pegawaiku yang kebetulan sedang berjaga di butik Matos. "Mas Ical berantem sama pacarnya ya? sampe gak jadi nonton." komentar Yarni, pegawaiku yang menerima pemberian tiketku. Gadis cekatan itu memamerkan senyum terbaiknya setelah menerima dua tiket nonton dariku. "Pacar dari mana? Shila itu, yang dulu sering ke sini itu loh Yar." jawabku santai sambil memeriksa stok barang di butik cabang keduaku. "Emang mbak Shila itu bukan pacar mas Ical ya?" tanya Yarni lagi sambil merapikan tasnya. "Bukan, calon adik ipar aku dia mah. Doain ya." pungkasku lantas beranjak dari butik, karena aku harus segera merampungkan kebaya modern pesanan Nana. Ah, iya mengingat Nana, aku sudah berencana akan mengajak Sita untuk turut hadir dalam acara syukuran tersebut. Acara yang sore hari memang lebih santai daripada acara pagi hari yang mengundang ibu-ibu pengajian kompleks. Naah, aku berencana mengajak Sita untuk hadir di sore harinya. Tapi masalahnya, hingga saat ini Sita belum membalas pesanku. Sibuk kah dia? Duh padahal aku kangen setengah mati setelah hampir dua minggu tak melihat paras ayunya. Jika aku muncul tiba-tiba dirumahnya pasti dia akan ngomel-ngomel seperti terakhir kali aku ke sana. Jadi aku putuskan untuk pulang saja, bergegas menyelesaikan kostum Nana sepertinya bisa cukup mengalihkan perhatianku dari sikap cueknya bu Sita pujaanku. "Cal.. Ical kok malah ketiduran sih." tegur mama sambil menggoyangkan bahuku. Astaga, ternyata aku benar-benar tertidur setelah memasang ornamen Swarovski di kebaya Nana. Untung gak ngiler, jadinya baju Nana tetap aman dan cantik sempurna. "Eh.. iya ma, kenapa.. kenapa?" ucapku sambil mengusap kedua mataku yang masih terasa berat. "Ponsel kamu teriak-teriak terus dari tadi, makanya kalau dicas di silent aja. Apalagi sampe ditinggal tidur gitu." omel perempuan paruh baya itu. Aku segera menoleh ke meja kecil di sebelah lemari, tempatku mengisi daya ponsel. Benar, layarnya berkedip pelan, tapi sudah tak berdering nyaring lagi. Mungkin benda itu bosan berteriak namun aku abaikan. Setelah mama keluar tempat kerjaku, segera aku rapikan meja dan beranjak mengambil ponselku tadi. Dan, binggo... Ada nama Sita disitu. Kuusap kasar wajahku beberapa kali untuk mengembalikan kesadaranku. Sedetik kemudian aku memutuskan untuk melakukan panggilan video pada gadis itu. Masih jam delapan malam, jadi sepertinya dia masih belum tidur kan? "Malam Bu Sita." sapaku memasang senyum lebar saat melihat parasnya yang memang selalu tanpa make up. "Malam Ical, sorry tadi sibuk, sampe ponselku mati gak tau." jawab Sita sambil mengedipkan mata besarnya beberapa kali. "Ada apa Cal?" "Kangen sih..." jujur kan aku. "Halah... tiap telpon selalu bilang kangen." Sita memutar bola matanya tampak jengah dengan gombalan recehku. "Tapi emang bener kok. Eh, by the way Sabtu ini sibuk gak?" seruku to the poin. "Ada apa Sabtu ini?" tanyanya pelan. "Mau ngajakin kamu jalan sih, itupun kalau kamu mau. Tapi melihat tekadku pasti kamu mau lah, iya kan? Iya dong, pasti dong." ucapku membuat Sita terbahak hingga matanya menyipit. "Mau kemana emang?" "Ada acara makan-makan gitu. Pasti suka, hommy banget tempatnya." "Di?" Hmmm... Aku berpikir sejenak langsung kasih tau tujuan ke rumah Nana atau kuputer-puterin dulu nih si Sita. "Ada deh pokoknya, pastinya kamu suka." jawabku pada akhirnya. "Liat sabtu besok deh ya, kamu tau sendiri kan jadwalku tiap akhir pekan. Abis latihan karate, siangnya mager di depan meja gambar." "Bukannya deadline gambarnya udah kelar Minggu kemarin?" "Buat projects yang di Jogja udah beres sih, cuman ini ada email baru, ngasih job. Belum bener-bener acc dari temen-temen di sana." Aku udah pernah cerita kan tentang pekerjaan Sita yang menjadi desain interior. Bahkan itu adaah pekerjaan utamanya sebelum pindah ke Malang sini. Aku pernah sekali melihat hasil gambarnya, dan yaa... waaauuww banget ternyata. Aku yang setiap hari juga berkutat dengan kertas gambar, mengakui kalau hasil gambar anak arsitektur itu gak ada yang ngadi-ngadi. Memang beda misi sih, aku gambar gaun dan fashion terkini. Sedangkan Sita gambar perabot kekinian yang futuristik. Kalau kami bersatu, bener-bener bisa mengubah dunia, minimal dunia rumah tangga kita lah ya. Duuuh, khayalanku mulai meresahkan. "Emm... Emang Sabtu mau keluar jam berapa?" tanya sita lagi. "Fleksibel sih, sebisanya kamu aja, yang penting hadir. Please." aku memasang wajah polos berharap Sita akan iba dan langsung menyetujui ajakanku. "Oke aku usahakan, toh masih ada empat harian lagi." jawabnya membuatku lega. Lampu hijau lagi dari Sita, gak akan aku sia-sia kesempatan Sabtu nanti. "Siip, kabari lagi ya Sabtu harus aku jemput jam berapa." "Okesiap..." jawaban andalannya. "Cepet rehat Bu Sita, jangan terlalu sering begadang kalau tak ada artinya. Kalau begadangin aku sih nggak apa-apa." koarku membuatnya terbahak lagi hingga menutup mulut. "Ical stress ih." "Kan kamu yang bikin stress." balasku tak mau kalah. "Halah... Lama kalau ngobrol sama kamu. Ya sudah aku tutup ya, katanya disuruh cepet rehat, gimana sih pak." "Baiklah Bu. Bye Bu Sita." godaku terakhir kali sambil melambaikan sebelah tangan. "Bye mas Fais." Tuh kan dia malah balik menggodaku dengan sebutan mas Fais. Gimana bisa aku tutup telponnya coba kalau dia bikin kacau pikiranku seperti ini. "Ckk ... Udah pinter bales sekarang ya." desisku membuatnya cekikikan hingga menutup mulutnya. "Kamu duluan sih sok manis gitu panggil Bu Sita.. Bu Sita." "Lah, emang kamunya manis. Masa lupa sih kalau kita sudah pernah saling mencecap rasa, pas di mobil kala itu." aku sengaja menaik turunkan kedua alisku demi menggodanya. Mencoba menggali ingatan tentang apa yang pernah aku lakukan padanya di mobil sepulang dari Paralayang. "SSshhh... shut up. Udah.. udah bye. Sampai ketemu lagi hari Sabtu." pungkasnya lantas mematikan panggilan dariku. Aku terbahak penuh kemenangan, apalagi saat melihat pipinya yang sempat bersemu merah sebelum ia mematikan telpon tadi. Pasti dia malu banget begitu ingat ciuman pertamanya yang aku ambil beberapa bulan lalu. Salah sendiri sih punya bibir cipokable banget. Sampai Sabtu pagi tiba, aku masih sibuk membantu mas Gege dan budhe Dewi mempersiapkan kejutan untuk Nana. Iya, mas Gege, suami dari sepupuku itu hendak memberi kejutan untuk istrinya. Bertepatan dengan acara tujuh bulan kehamilannya hari ini. Sudah sejak subuh aku dan mama bersiap di rumah budhe dengan membawa seragam untuk Nana dan keluarga. Sedangkan Papa dan pakde, membantu mas Gege di rumah baru yang sudah dipersiapkan sebagai hadiah kejutan untuk Nana. Selesai mendandani Nana dengan kebaya rancanganku, aku mengekor keluarga besar mereka menuju rumah baru Nana yang hanya berjarak beberapa rumah dari rumah budhe. Masih satu kompleks, jadi kami hanya berjalan kaki menuju ke sana. Sampai di rumah baru mereka, aku sempat mendengar teriakkan Nana yang memekik kegirangan karena tak menyangka suaminya sudah mempersiapkan hadiah rumah untuknya. Untungnya, meski terkejut Nana tak sampai hilang kesadaran. Buktinya dia masih heboh cengengesan bahkan menggodaku yang belum membawa gandengan ke acara syukurannya. "Kasiaaaan yang abis ditolak." cibir Nana saat melihatku datang tanpa gandengan. "Weeiit ... Jangan ngadi-ngadi ya kamu gulali, siapa yang ditolak? Belum dijawab aja kok." belaku cepat. "Laah, buktinya mbak Sita gak ikut kan?" lanjut Nana sambil memeluk lenganku. Kebiasaannya ketika mulai manja padaku karena lamanya tak bertemu. "Kalau pagi gini dia gak bisa Na, masih ngelatih karate. Agak sore nanti lah aku ajak dia setor muka ke hadapan kamu nyai, biar kalian yakin kalau selangkah lagi aku bisa dapetin hatinya Sita." ujar ku membuat Nana dan Mas Gege terkekeh bersamaan. Kenapa gak yakin banget sih nih pasangan berdua? Semalam sudah kupastikan lagi kesediaan Sita untuk ikut di acara hari ini. Dia menyanggupi kok, cuma bisanya sore, karena pagi sampai siang dia masih sibuk di sekolah. Tepat jam dua, aku undur diri sebentar dari rumah baru Nana. Tentu saja untuk menjemput Sita, barusan dia sudah kirim pesan kalau sedang bersiap-siap menunggu kedatanganku. Tak meleset dari perkiraanku, begitu sampai di rumahnya. Ternyata Sita sudah sangat siap menungguku di teras rumah. Menggunakan celana kulot berwarna coklat terang dipadukan dengan blouse lengan panjang berwarna biru gelap. Jangan lupakan accesories berupa kalung etnik dengan berwarna coklat terang yang semakin mempertegas keanggunannya. "Udah siap aja ternyata." ucapku baru turun dari mobil. "Hmm... lagi gabut dari tadi, jadi sengaja siap-siap. Biar kamu gak nunggu kelamaan juga. Yuk langsung berangkat." ajaknya sembari mendekatiku. "Aku pamit papa Rio dulu lah." "Papa lagi keluar, ada pasien tadi di klinik, jadi harus cepet-cepet. Tenang aja, aku udah pamit kalau keluar sama kamu kok." ucapnya saat mendahuluiku menuju mobil yang terparkir di depan garasi rumahnya. "Ooh, oke kalau gitu." aku putar balik dan segera duduk di balik kemudi. "Kita mau kemana sih Cal? aku gak salah kostum kan pake baju begini?" tanyanya setelah menunduk menilai penampilannya. "You look so georgeous Sita. Gak usah khawatir, kita cuma akan makan-makan dan ngobrol santai di rumah sepupu aku. Nana si gulali, kamu masih inget dia kan?" "Yang mungil imut itu kan anaknya?" "Iya yang itu, dia dan suaminya lagi syukuran rumah baru. Sekaligus acara tujuh bulanan kehamilannya gitu." jawabku sambil sesekali menoleh ke arah wajahnya yang penuh tanya. Menatap jalanan Malang yang selalu padat saat akhir pekan seperti ini, aku memutuskan untuk mengambil jalan pintas menuju rumah Nana. Jadi setelah melihat gerbang perumahannya aku tak langsung masuk begitu saja, tapi malah memutar ke lajur kanan, agar langsung masuk ke blok tempat rumah Nana, tanpa harus melewati jalan utama. "Wait, bukannya itu artinya akan banyak keluarga kamu yang berkumpul?" Sita bertanya lagi, kali ini dengan wajah yang sedikit cemas. Cemas mau ketemu calon mertua kah? Aku terkekeh kecil melihat ekspresinya kali ini. "Iya, acaranya santai kok. Pengajian-pengajian sudah selesai tadi pagi, jadi sore ini lebih ke kumpul-kumpul keluarga aja." "Tapi Cal ... kenapa baru bilang? haduuuh bisa puter balik aja gak sih?" pintanya makin gelisah. "Gimana mau putar balik, itu rumahnya udah kelihatan." aku menunjuk rumah dengan pagar berwarna putih tepat di samping mobilku yang semakin pelan. "Astaga Ical, ck..." decak Sita setengah menganga saat melihat aku yang hanya tersenyum saat keluar dan memutari bagian depan mobil. "Silahkan tuan putri." Aku sedikit membungkukkan badan ketika membukakan pintu mobil disebelahnya. Jangan tanyakan lagi bagaimana wajah Sita kini. Persis kepiting rebus, karena kedua pipinya lagi-lagi merona kemerahan. "Ciee ... ini yang namanya bu Sita?" sapa mas Gege saat kami berpapasan di halaman depan. Sepertinya ia baru saja mengantarkan beberapa rekannya yang berpamitan pulang. "Eh mas, iya nih. Sita, kenalin ini mas Gege, suaminya Aruna, tuan rumah disini." aku langsung menggandeng tangan Sita dan sedikit menariknya mendekat. "Hai mas, aku Sita. Anarasita." Sita memperkenalkan diri setelah bersalaman dengan mas Gege. Tak menghiraukan bagaimana gugupnya Sita, iya aku tau gadis itu sedang gugup, karena tangan kanannya yang sedang ku genggam mendadak berkeringat dingin. Aku hanya mengulum senyum dan tetap mengajaknya masuk rumah Nana. Sampai di ruang tamu sudah berkumpul para orang tua, pakde dan budhe Dewi, kedua mertua Nana yang datang dari Padang, juga kedua orang tuaku yang duduk paling ujung. "Assalamualaikum semua." salamku membuat semua orang langsung menoleh menatap kami, Sita terutama. Karena baru kali ini aku membawa gadis selain sahabatku Shila. "Wa'alaikumsalam Ical, baru aja kami omongin, eh udah dateng aja." budhe Dewi berdiri dan mendekat padaku. Aku ikut mendekat dan mengecup punggung tangannya, juga semua orang tua yang duduk melingkar. Kulirik sekilas ke belakang ternyata Sita juga mengikuti gerakanku, bersalaman dengan semua orang tua, bahkan berpelukan ringan dengan budhe Dewi dan juga Mama. "Jadi ini kan yang namanya Sita?" Mama terlihat sumringah ketika mengurai pelukannya dari Sita. "I- i- iya tante, kenalkan saya Sita." ucap Sita terbata-bata dan sesekali melirik sinis padaku. "Duuh.. cantik banget kayak model gini." budhe Dewi sekutuku langsung ikut mendekat disebelah mama. "Pastilah mbakyu, Ical gak akan salah pilih calon mantu buat aku." saut mama masih dengan senyum lebar menghias wajahnya. "Hah..? gimana Tante? ca- ca- calon mantu?" gumam Sita tergeragap, wajahnya nampak pias dengan sambutan kedua wanita paruh baya di depan kami. "Iya, calon mantu mama. Jadi panggil mama aja ya, jangan panggil tante. Gitu kan Cal?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN