“Setiap hubungan memiliki batasan.”
Episode 5 : Salah Lamar
***
Melia sangat lesu. Selain wajahnya pucat, mata bulatnya juga sembam. Kontras dengan Fanny yang sangat ceria dan bahkan menggemaskan.
Fanny yang berpiama sepaha warna jingga, dan awalnya nyaris melalui keberadaan Melia yang keluar dari kamar, menjadi memelankan langkah ketika tak sengaja melihat Melia. Setelah sampai balik badan demi menatap Melia, ia berkata, “kamu sakit, Mel? Wajahmu pucat banget ....”
Melia yang awalnya tidak mengetahui keberadaan Fanny, langsung bergeming. Wanita berambut hitam itu masih bingung dengan apa yang harus dilakukan. Belum lagi, Melia telanjur kehilangan semangat hidup atas masalah yang menimpanya. Bahkan bila bisa, wanita itu tidak ingin berurusan dengan Fanny untuk sementara waktu, meski kenyataan itu terbilang sulit.
“Maaf, ya, Fan, hari ini aku nggak keburu masak. Nggak keburu bikin sarapan juga,” ucap Melia setelah sampai balik badan dan membuatnya menghadap Fanny. Ia melakukan itu dengan setengah hati, sebab luka yang ia rasakan begitu membuatnya sakit. Bahkan hanya karena melihat wajah atau mendengar suara Fanny, rasa sakitnya menjadi bertambah.
“Nggak apa-apa, Mel. Lagi pula pagi ini aku mau sarapan di luar bareng Zean.”
Mendengar nama Zean disebut, Melia refleks menelan ludah kemudian menunduk. Rasa sakit yang sebisa mungkin ia tahan justru membabi buta, menyerang dan memenuhi setiap rongga kehidupannya hanya karena mendengar nama “Zean” keluar dari mulut Fanny.
“Sebenarnya terkesan aneh. Percaya nggak percaya, ya, Mel, meski sempat putus lama semenjak aku ke Amerika, tapi Zean justru tambah romantis!” Fanny begitu antusias tanpa bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
Hati Melia menjerit berselimut luka. “Dan selama itu juga, Zean adalah kekasihku. Dia selalu meyakinkanku meski aku juga selalu menghindarinya ... ah, sudahlah ...” batinnya putus asa.
Karena Melia justru diam, Fanny yang menunggu cukup lama pun berujar, “Mel, kamu lagi ada masalah, ya?”
Dikarenakan Melia juga tetap tidak merespons, Fanny pun mengguncang lirih sebelah lengan wanita itu. “Mel?”
Melia terkesiap. Ia menatap Fanny sembari mengulas senyum. Apa yang terjadi kini cukup membuatnya tertekan. Demi menyembunyikannya dari Fanny, ia sengaja menggerakkan tangan kanannya untuk mencengkeram kaitan tas di pundak kanan, kemudian menyelipkan sebelah anak rambutnya ke belakang telinga. “Maaf, Fan, ... tadi kenapa?” Ia mencoba bersikap sesantai mungkin.
Fanny tersenyum garing dan terlihat canggung. Demi meredam kecanggungan suasana, ia berkata, “nggak, Mel. Nggak kenapa-kenapa, kok.” Ia menggeleng sambil menatap wajah Melia. “Setiap hubungan memiliki batasan. Mungkin itu juga yang membuat Mel nggak bisa cerita masalahnya ke aku,” batinnya kemudian.
Melia masih mempertahankan senyum di wajahnya, kendati ia tidak yakin, senyum seperti apa yang ia hasilkan di tengah suasana hatinya yang sedang sangat kacau. “Oh, iya ... mengenai cucian dan baju, aku usahakan malam sepulang kerja.”
Walau tidak ada peraturan tertulis selama Melia tinggal bersama keluarga Fanny, tapi semua pekerjaan rumah memang seolah dilemparkan pada Melia. Dari apa yang kotor termasuk rusak bahkan hilang, Melia-lah yang akan dicari untuk kejelasannya.
Lanjutan Melia membuat Fanny tertunduk sedih. “Kalau dipikir-pikir, di sini Melia kayak pembantu. Hampir semua pekerjaan rumah dia yang pegang,” batinnya. Tak lama kemudian, ia menjadi terkesiap. Ia teringat sesuatu, dan membuatnya buru-buru berkata, “Mel, semalam Mamah pesan, kamu diminta bikin rendang campur yang banyak. Apa aku pesan ke katering saja? Takutnya kamu kecapaian?”
Melihat keadaan Melia yang sekarang, Fanny tidak yakin, wanita itu masih kuat masak. Tak tega rasanya membiarkan Melia makin lelah, sekalipun setelah mengabarkan lamaran kepada orang tuanya, mamanya wanti-wanti agar Melia memasak rendang untuk suguhan, seandainya keluarga Zean kembali datang. Bahkan mamanya berniat mengirimkan rendang itu ke rumah Zean. Fanny tahu alasan mamanya memutuskan hal tersebut. Karena masakan Melia terlebih rendang memang sangat enak. Bahkan Fanny sering lupa agenda dietnya kalau sudah dihadapkan dengan rendang buatan Melia.
“Bagaimana, yah, Fan ...?” Melia terlihat sedang mempertimbangkan namun cenderung keberatan dan tidak bisa. Aku sedang sangat sensitif dengan aroma bumbu, sementara rendang harus menggunakan banyak bumbu agar hasilnya jauh lebih enak. Belum lagi, pekerjaan di butik juga sedang sangat banyak.
“Maaf, Mel ... aku nggak bisa banyak bantu. Jangankan masak rendang, ceplok telur yang nggak banyak bumbu saja, aku belum bisa.” Fanny meringis, memasang wajah tak berdosa layaknya biasa. Kebiasaan yang sudah menjadi ekspresi andalannya ketika terjebak dalam situasi sulit.
Melia menatap Fanny sekilas. Ia sudah hafal dengan semua tingkah wanita itu.
“Nanti aku ngomong ke mamah, deh, buat cari pembantu yang pintar masak, biar kamu nggak kecapaian.”
Melia seolah mendapatkan sedikit angin segar setelah mendengar lanjutan dari Fanny. Karena dengan kata lain, beban pekerjaannya di rumah akan sedikit berkurang.
Fanny kembali ceria sambil menepuk-nepuk pelan pipinya. Gayanya kini tak beda dengan bintang iklan sabun cuci wajah. Ia yang sudah menyimpul asal rambut panjangnya lengkap mengenakan bandu tali, melenggang setengah berlari layaknya anak kelinci, menaiki tangga menuju lantai atas. Kontras dari Melia yang melepas kepergian Fanny dengan tatapan hampa.
***
Zean melangkah dan menuruni anak tangga menuju lantai bawah rumahnya dengan semangat. Selain wajahnya yang semringah, sesekali pria berahang tegas itu juga bersiul sembari memerhatikan sekitar.
“Wah, wah ... tambah semangat saja, kamu, Zean?” seloroh Pristine.
Zean mesem menatap Pristine sambil mengangguk beberapa kali. Wanita paruh baya yang selalu tampil rapi itu memang paling bisa membaca suasana hatinya. “Pagi, Ma?”
“Pagi juga, Sayang. Sini sarapan dulu.”
“Tapi aku mau sarapan di luar, Mah. Sudah ada janji sama—”
“Ciiee ...,” ledek Pristine.
Zean yang sudah rapi kendati tidak disertai jas dan dasi, kian tersipu. Kemudian ia mendekati Pristine yang tengah merapikan meja sarapan.
Pristine memoleskan selai di setiap roti panggang yang sudah terhidang di wadah saji. Tanpa sepatah kata, Zean mengangsurkan kedua tangannya pada Pristine.
Pristine menyisihkan pisau selai berikut roti panggang dari tangannya. Kemudian ia menarik dua helai tisu dan mengelap tangannya. Sembari tersenyum, ia menengadah, menatap Zean yang memang lebih tinggi darinya. “Sudah mau menikah, masih belum bisa memasang kancing pergelangan tangan, sendiri?” Ia menggeleng geli. “Dasar, bayi!”
Zean bergeming. Bayangan monokrom mendadak bergulir dalam benaknya. Kejadian 8 tahun silam. Ketika pelepasan kelulusan di SMA. Kala itu, ia yang kesulitan memasang kancing pergelangan kemejanya, dikejutkan oleh kehadiran Melia. Entah atas dasar apa Melia kembali ke belakang, padahal semuanya sudah naik ke panggung termasuk Fanny.
“Sebentar,” lirih Melia yang kemudian menyelipkan toga wisudanya ke lengan kanan, sebelum mengambil alih kesibukan Zean memasang kancing.
“Kamu tahu, kalau aku nggak bisa memasang kancing pergelangan—?” tanya Zean terheran-heran.
Melia yang tinggal memasang kancing lengan sebelah Zean, berkata, “dari tadi kamu sibuk memasang, tapi nggak bisa-bisa.”
Zean tidak habis pikir, kenapa hanya Melia yang peka padahal Fanny yang pacarnya saja, tidak? Bahkan Melia baru satu tahun ada dalam hidupnya, sementara Fanny sudah ia kenal semenjak awal masuk SMA.
Setelah kedua kancing terpasang Melia langsung bergegas meninggalkan Zean. “Cepat, Zean. Pak Badrun sudah teriak-teriak!” lirihnya sambil mendelik lantaran Zean hanya diam dan terkesan melamun.
“Eh ...?” Zean segera menyusul Melia. Ia berlari kemudian menjejalkan diri di antara barisan teman-temannya yang jumlahnya ada puluhan dan tengah diatur Pak Badrun.
Zean dan Melia hanya tersekat seorang siswi, sementara di depan sana, Fanny telah berdiri di posisi paling tengah selaku fokus utama tujuan kamera.
“Melia, mana ... Meliaaa?” teriak Pak Badrun melalui mikrofonnya.
Sontak suasana menjadi riuh dengan semua mata yang mencari-cari sementara Melia segera berlari setelah saling bertukar pandang dengan Zean yang diam-diam menahan tawa.
“Melia, tubuhmu itu mungil. Sementara kamu peraih peringkat tertinggi di sekolah. Jadi kamu berdiri di sini. Fanny, tolong geser. Kamu, kan, tinggi. Harusnya kamu di samping atau di belakang saja.”
“Zean?” Pristine mencubit gemas perut Zean yang seketika mengerang kesakitan. “Ya ampun kok melamun lagi? Sudah kangen berat sama Melia, ya?”
“Kok Melia, sih?” batin Zean bergeming dan bahkan menjadi kesal. Melia memang baru saja mewarnai ingatannya, tapi bukan wanita itu yang ia harapkan kehadirannya. Pun meski hanya dalam ucapan bahkan nama.
“Ya sudah, nanti sepulang kerja, kamu bawa Melia menginap di sini. Etts, jangan salah sangka dulu. Bilang ke Mel, siap-siap pergi ke Singapura bareng Mamah, buat beli keperluan baki. Mamah ingin Mel memilih semuanya sendiri, apa yang dia suka biar nggak mubazir.”
Zean makin tidak mengerti. Kenapa kembali Melia, bukan Fanny?
“Ya ampun kamu malah bengong. Sudah cepat, WA Mel, biar dia bawa keperluan menginap selagi dia belum berangkat kerja.”
“Mah, sebenarnya maksud Mamah apa, sih? Kok Melia ...?”
Pristine tergelak dan sulit meredamnya. “Ya ampun, Zean. Masa sama tunangan sendiri lupa?”
Dada Zean kebas. Seolah ada mata tombak yang tiba-tiba sibuk menghunjam di sana. Pemikiran buruk mengenai maksud Pristine juga meletup-letup menguasai benaknya. Jangan-jangan, orang tuanya salah melamar? Dan memikirkan itu, Zean menjadi kacau. Ia merasa bertanggung jawab atas keadaan yang terjadi, termasuk mengenai perasaan Melia, jika orang tuanya memang salah melamar.
Zean mulai ingat. Malam kemarin, saat menelepon Fanny lantaran wanita itu tak kunjung memberinya kabar.
“Apa, sih, Zean? Aku capek banget, habis meeting sama pihak perusahaan yang jadi sponsor acara baletku. Mengobrolnya besok saja, ya? Aku sudah pesan taksi, mau langsung menyiapkan keperluan buat besok juga.”
“Jadi, kamu nggak di rumah?”
“Ya ampun, Zean. Sekarang aku sedang di depan restoran, dekat jalan. Kamu juga bisa dengar suara berisik kendaraan yang bikin aku sampai teriak-teriak, buat mengobrol sama kamu, kan? Sementara tadi aku baru cerita ke kamu tentang kesibukanku hari ini? Ayolah, jangan bikin mood-ku hancur, gara-gara masalah sepele!”
“Ya ampun, Fan ... aku baru ngomong satu kalimat, tapi kamu sudah ke mana-mana? Aku cuma ingin memastikan, karena orang tua dan perwakilan keluargaku, baru pulang dari ruahmu.”
“Mak-sud, kamu?”
“Lah, kemarin kamu minta dilamar, untuk membuktikan keseriusanku, kan?”
“Ya ampun, kok kamu nggak bilang dari awal, sih? Bahkan orang tuaku sedang di luar kota. Yang di rumah cuma aku sama Mel, dan kami sama-sama sibuk!”
Dari seberang sana, Fanny justru makin uring-uringan tak beda dengan suasana sekitar wanita itu yang berisik tidak karuan. Yang membuat Zean bingung, Fanny terkesan tak tahu-menahu mengenai lamaran, tetapi orang tuanya sudah pulang melamar dan bahkan memberinya kabar bahagia tentang lamaran yang dilakukan?
“Zean, kok kamu malah diam, sih? Gimana, dong? Apa aku telepon Mel, minta dia beres-beres rumah dan menyiapkan semuanya termasuk masakan? Tapi, gimana kalau Mel, juga enggak sempat? Akhir-akhir ini Mel pulangnya malam terus. Sibuk banget dia ....”
Zean memotong balasan Fanny. “Tapi orang tuaku sudah pulang dari rumahmu, Fan!”
“Terus ... gimana dong, Zean?”
“I-iya! Mereka sudah pulang melamar. Lamaran kejutan buat kamu.”
“Berarti, ... ah, mungkin Mel yang menerima. Ya sudah, nanti aku kabari lagi!”
Dari semua bukti yang ada, Zean makin yakin orang tuanya memang salah lamar. Melia yang dilamar orang tuanya, tapi cincin dan seperangkatnya sudah ada di tangan Fanny sesuai tujuan yang ia inginkan. Jika keadaannya seperti itu, Zean harus meluruskan kekeliruan perihal lamaran kejutan agar tidak menimbulkan masalah yang semakin melebar.