Episode 4 : Maksud Lain

951 Kata
“Sebenarnya, lamaran kejutan itu untuk siapa?” Epiaode 4 : Maksud Lain **** “Mel ...!” Jeritan memekakkan itu membuat Melia terjaga. Ia yang tengah mengangkat parsel buah, segera menoleh memastikannya. Fanny. Ada perih yang tiba-tiba saja memilin hati Melia ketika pandangannya mendapati wanita feminin itu.  Mengenakan gaun selutut warna jingga, Fanny berlari kemudian melempar asal tas selempang putihnya ke sofa di sana sebelum menubruk tubuh Melia yang langsung dipeluknya kelewat erat. Fanny terlihat sangat bahagia. Wanita itu seperti baru saja mendapatkan hadiah yang diidam-idamkan. Bahkan Melia sampai harus menepikan parsel buah kemudian cukup berjinjit, demi menyeimbangi Fanny yang sepuluh senti lebih tinggi darinya. “Aku masih nggak percaya, Mel!” Melia masih diam. Kali ini Fanny mengguncang tubuhnya ke kanan dan kiri, secara berirama. Fanny kerap menarik napas dan mendesah. Sepertinya memang benar dugaan Melia jika Fanny memang sedang dalam keadaan yang sangat baik. Kemenakannya itu terlihat sangat bahagia apalagi Fanny tipikal yang sulit menyembunyikan perasaan. Kalau Fanny bahagia, wanita itu tidak segan untuk membagikannya. Fanny akan royal termasuk melakukan hal yang kiranya sulit wanita itu lakukan khususnya berbuat rapi seperti mengerjakan pekerjaan rumah termasuk sekadar merapikan kamarnya sendiri. Namun jika Fanny sedang dalam keadaan mood yang kurang bahkan tidak baik, jangan tanyakan apa yang akan terjadi pada wanita cantik itu. Fanny akan menjelma layaknya monster dan membuat semua yang ada di sekitarnya menerima dampaknya. Termasuk mengenai penampilannya yang selalu dijaga, Fanny juga tidak peduli. Jangankan merawat diri, mandi atau sekadar mencuci wajah saja tidak Fanny lakukan. “Lamaran, kan? Barusan ada lamaran, kan, Mel?” Sekalipun sempat merasa tegang, tetapi melihat Fanny masih sangat bahagia, senyum tulus juga menjadi menghiasi bibir mungil cukup berisi milik Melia. Dan ketika Fanny mengakhiri dekapannya, menahan kedua lengan Melia dan menatapnya penuh senyum, lambat lama, senyum lepas juga menghiasi wajah Melia. Keduanya terlihat seperti sudara yang baru dipertemukan setelah sekian lama terpisah. Bahkan karenanya, Melia tidak bisa menahan air matanya. Air mata bahagia. Ia tidak menyangka, Fanny akan sebahagia sekarang atas lamaran yang baru saja ia terima. “Ahh, ... pokonya aku senang banget!” Fanny setengah menjerit kemudian memeluk Melia jauh lebih erat dari sebelumnya.  “Enggak sangka, ... orang kayak Zean bisa seromantis ini!” ucap Fanny beberapa menit kemudian. “Aku pikir, Fanny akan marah. Apa karena dia dan Zean sudah terbiasa putus-nyambung, jadi nggak aneh pas mantan pasangan, punya hubungan spesial?” pikir Melia. Lima menit berselang, dengan mata berbinar-binar, Fanny mengamati setiap parsel di sana. Pilihannya jatuh pada cepuk hati yang langsung ia buka.  “Uwaa ... berlian, Mel! Indah banget ...!” “Sumpah, cincinnya indah banget, Mel!” Binar di mata Fanny kian meluap. Melia yang menyaksikannya hanya mesem kemudian meraih parsel buah yang tadi sempat ia sisihkan ketika Fanny memeluknya.  Tak lama berselang, Fanny berlari menuju tas putih yang sempat dilemparkan ke sofa. Ia mengambil ponsel dari sana, kemudian berlari tergesa ke arah Melia. Dengan sukacita, wanita itu memotret semua bingkisan pemberian keluarga Zean berikut cincin di cepuk.  “Mau kuunggah ke i********:, ah!” lirih Fanny antusias. Melia merasa heran, kenapa Fanny selaku anak dari pemilik rumah tempatnya tinggal, sampai kegirangan seperti mendapatkan hadiah bernilai fantastis? Bahkan Fanny terlihat jauh lebih bahagia ketimbang dirinya atas lamaran kejutan dari Zean? “Ya sudah, Mel ... tolong bawain semua ini ke dapur, ya. Biar nanti mama yang atur.” Fanny berlalu begitu saja dengan setengah berlari. Menaiki anak tangga menuju lantai atas dan terlihat sangat bahagia. Anehnya, wanita berambut pirang itu sampai membawa cepuk hati berisi cincin berliannya. Sebenarnya Melia ingin menahan, tapi Fanny sudah terlanjur jauh.  “Kok begitu?” Melia menyusul dengan langkah cepat sekaligus waswas. Ia mendongak sembari berpegangan pada pegangan tangga.  Pintu kamar Fanny tampak terbuka dan kenyataan itu cukup membuat Melia lega. Karena dengan kata lain, ia bisa lebih leluasa meminta cincinnya tanpa banyak halangan. Bisa panjang kalau pintu sampai ditutup. Sebab jika Fanny sudah ada di dalam kamar, urusannya akan panjang terlebih wanita itu tipikal yang tidak bisa diganggu.  “Kamu suka?” “Iya, aku suka banget, Zean! Terus, ... gaun, sepatu, tas, ah pokoknya semuanya aku banget! Andai, ada berlian warna jingga juga, ya?”  Percakapan barusan membuat tubuh Melia menjadi kaku. Bahkan pemacu kehidupan Melia seolah lumpuh detik itu juga. Dari sisi pintu kamar Fanny, wanita itu tengah berputar kegirangan di antara tawa lepas dan kata-kata manja yang terdengar sangat manis. Seharusnya Melia bahagia karena Fanny terlihat makin bahagia. Namun, kenapa yang ada justru sebaliknya? Ia kembali menangis kendati ia tidak menghendaki. Cairan yang terasa hangat terus saja mengalir dari sudut matanya tanpa bisa ia tahan terlebih hentikan. Apalagi ketika ia mendapati wajah yang tengah melakukan video call dengan Fanny. Sosok yang sampai membuat Fanny menjadi tidak mau diam, tapi tidak sejalan untuk Melia. “Iya, aku mau nikah sama kamu, Zean. Mau banget!” “Ya sudah, kalau begitu, jangan marah-marah lagi, ya? Besok, ... kalau orang tuamu sudah pulang, kita tentukan tanggal pernikahan kita.” “Heum. Makasih, Zean!” Melia menggeragap. Tubuhnya bahkan kebas dan terduduk lemas. Setelah cukup lama dalam keadaan itu, ia mengerahkan sisa tenaganya untuk secepatnya pergi meski kenyataannya justru berkata sebaliknya. Tubuh Melia begitu sulit digerakkan. Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah lamaran itu untuknya, tapi kenapa Zean dan Fanny begitu?  Melia merasa hancur detik itu juga. Adakah maksud lain dari lamaran hari ini? Kenapa ia justru merasa diperbodoh? Kalaupun yang terjadi masih bagian kejutan untuknya, ia akan memberi perhitungan kepada Zean yang sudah sangat keterlaluan.  Melia berusaha tegar. Ia tidak mau waktunya habis untuk menangis karena itu bisa membuatnya makin lelah meski pada kenyataannya, tangisnya justru makin pecah. Terlebih bila ia mengingat nasib jabang bayi dalam rahimnya yang membutuhkan kejelasan status. Tak bisa ia bayangkan, apa yang akan terjadi pada anaknya nanti, jika statusnya tidak mendapat kejelasan.  Melia menangis semalaman hingga sesengggukan. Pun kendati ia sempat optimis untuk melupakan Zean. Namun, bukankah Melia masih memiliki kesempatan? Bukankah tadi Joan mengatakan, lamaran dari keluarga Zean merupakan lamaran kejutan untuknya? Dengan demikian, ia berhak menanyakan maksud lamaran keluarga Zean, kan? Atau, ... Melia memang korban kekeliruan?  “Sebenarnya, lamaran kejutan itu untuk siapa? Untukku, atau untuk Fanny?” batin Melia ketar-ketir. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN