Episode 6 : Tentang Lamaran

893 Kata
“Tak ada seorang pun yang rela dibuang terlebih wanita hamil di luar pernikahan yang begitu haus perhatian.” Episode 6 : Tentang Lamaran *** Getar ponsel tanda pesan WhatApps masuk, kembali mengusik Melia. Akhir-akhir ini, wanita itu merasa hidupnya tak beda dengan tawanan yang sedang melarikan diri. Seolah tak ada sisa ketenangan yang dapat ia kantongi, meski hanya untuk beberapa detik. Pun kendati ia telah berusaha menyibukkan diri.  Masih tentang lamaran yang membuat Melia sempat memiliki harapan. Meski jika dipikirkan mungkin memang salah paham. Tak mungkin juga untuknya, meski lamaran itu dikatakan sebagai lamaran kejutan. Karena jika memang untuknya, Zean sudah mengatakannya atau setidaknya memberinya kabar. Dengan hati yang terenyuh, Melia meraih ponselnya. Zean: Kita harus bertemu. Secepatnya. Penting. Masih pesan yang sama. Pesan yang membuat d**a Melia sibuk berdebar gelisah. Terhitung ada belasan pesan bermaksud sama yang pria itu kirimkan di hari ini. Secepatnya, Melia memang harus meluruskannya apa pun hasilnya. Ia tidak mau semakin larut dalam hubungan yang tidak jelas bahkan hanya merugikannya.  *** “Tentang lamaran itu.” Zean menelan ludah. Kedua matanya yang bergetar dan sedari awal pertemuan sibuk menepis Melia, mulai menatap manik mata wanita di hadapannya. “Iya, katakanlah.” Melia menelan ludah sekenanya. Wajahnya yang tegang, kerap ia simpan dalam tundukkan. Sesekali, ia menghela napas lirih demi meredam kekacauan dan sebisa mungkin ia sembunyikan. “Tolong jangan salah paham mengenai lamaran dari orang tuaku.” Zean menyadari wajah Melia makin pucat. Namun demi mengakhiri semuanya, ia tetap melanjutkan tujuannya. “Orang tuaku tidak bermaksud melamarmu, karena mereka hanya salah sangka. Mereka mengira kalau kita masih—” Melia menghela napas dan terlihat sangat berat. Sesak di dadanya tak kunjung sirna, kendati ia telah berusaha menghalaunya. Dan jauh di lubuk hatinya ia terus menegaskan, jika pria di hadapannya tak pantas ia harapkan terlebih tangisi apa pun yang pernah terjadi di antara mereka. “Aku mengerti. Mereka mengira kita masih ada hubungan, padahal yang seharusnya mereka lamar,”  Sialnya, lidah Melia tiba-tiba saja kelu. Ia harus berusaha lebih keras melanjutkan kata-katanya dengan hati yang semakin sakit sementara matanya terasa begitu panas bahkan basah, “Fanny.” Akhirnya nama itu berhasil ia lontarkan kendati tentu, suaranya tak lagi setegar awal pertemuan. Karenanya, Melia menelan ludah kemudian menghela napas demi memperbaiki suaranya agar terdengar jauh lebih tenang. “Cincin dan semua seserahan lamaran sudah diambil Fanny.” Melia merasa dadanya menjadi makin sesak. Karenanya, ia meyakinkan dirinya bila setelah ini semuanya akan baik-baik saja. “Syukurlah kalau begitu, aku hanya perlu membicarakannya dengan orang tuaku.”  Zean terlihat lega. Beban yang sedari awal membuatnya tidak tenang seolah hilang begitu saja. Bahkan wajahnya yang sedari awal pias, menjadi cukup merona. “Tapi, Zean—” Mendengar lanjutan Melia, dahi Zean menjadi berkerut. Seharusnya Melia tidak mengusiknya lagi, kan? Pun meski wanita itu tidak bisa melepasnya. “Tapi, apa? Ada apa?”  Zean tidak bisa menyembunyikan rasa kesal yang bercampur dengan tegang, dan itu sangat menyiksanya. Selain tadi sampai berbicara dengan membentak pada Melia, pria itu juga menjadi gelisah tak beda dari Melia yang sejak awal pertemuan terlihat tidak tenang. Meski terlihat berat dan membuat Zean semakin kesal karena lama menunggu, akhirnya Melia berkata, “Aku hamil.” Matanya yang berkaca-kaca membuat pandangannya menjadi kurang jelas. Semua yang ia tatap tanpa terkecuali Zean, menjadi terlihat samar. Kendati demikian, ia masih bisa melihat perubahan ekspresi mencolok--terkejut pria bergaya kantoran di hadapannya. Zean tak hanya terkesiap, tetapi sampai menggeragap. “Apa maksudmu!” Suaranya nyaris hilang dan ia menatap Melia penuh kepastian dengan rasa kesal yang membuncah.  Senyap untuk beberapa saat. Zean gelisah, dan Melia menyadarinya. “Aku nggak bermaksud merusak rencana pernikahanmu dengan Fanny. Tapi apa pun yang terjadi, kamu dan anak ini berhak mengetahui hubungan kalian. Hanya itu. Selebihnya aku tahu posisi. Aku akan mengurusnya sendiri.” Satu tetes air mata mengalir dari sudut mata kanan Melia yang seketika memalingkan wajahnya dari Zean. Lantaran Zean tak kunjung memberikan balasan, Melia pun memutuskan pergi.  “Tak ada seorang pun yang rela dibuang terlebih wanita hamil di luar pernikahan yang begitu haus perhatian,” batin Melia. “Percayalah Nak, meski kita nggak hidup sama Papah, tapi Mamah akan kasih yang terbaik. Dan meski Mamah jauh dari sempurna, tetapi Mamah akan kasih kamu semua yang Mamah punya!” Melia bersumpah dalam hatinya. “Melia, ha-mil?” gumam  Zean, masih tidak percaya dan bahkan tidak bisa menerima kenyataan tersebut, terlebih ia begitu ingin bersatu dengan Fanny dalam sebuah pernikahan. Tak lama berselang, Zean bangkit dari kursi dengan buru-buru dan meninggalkan beberapa lembar uang seratus ribu, pada pelayan yang kebetulan datang memberikan tagihan pesanan. “Maaf, Pak. Ini kebanyakan ...?” “Sisanya ambil saja.” Zean mengejar Melia dengan setengah berlari lantaran wanita itu melangkah sangat cepat dan membuatnya keteteran.  “Mel, Mel, tunggu, Mel!” Melia tak merespons tanpa perubahan spesifik. Melangkah cepat dengan keadaan tubuh membungkuk, sementara kepalanya menunduk. Ketika Zean berhasil berdiri di hadapannya, di tengah napas pria itu yang terdengar menderu, Melia terpaksa mengakhiri langkahnya. “Mel!” ucap Zean setelah mengatur napas sambil membungkuk demi menyeimbangi tinggi Melia yang hanya selengannya. Melia diam. Hanya kedua tangannya saja yang kian mencengkeram kaitan tas di pundak kanan. Zean mengacak asal susunan rambutnya yang seketika menjadi berantakan. “Kamu mau mengurusnya, maksudnya, kamu akan membesarkannya, atau menggugurkannya?”  Zean merasa tertekan bahkan seperti depresi. Melia terkesiap. Perih memilin hati dan jantungnya detik itu juga. Lagi-lagi air matanya berlinang. Ia menatap Zean dengan tatapan kecewa. Cukup lama ia menatap pria itu, sebelum kembali berlalu meninggalkannya.  Zean terlihat frustrasi dan Melia menyadarinya. Wajar jika pria itu frustrasi, karena selain tidak mau menganggap hubungan mereka, Zean sudah memilih Fanny dan sangat ingin menikahi wanita itu. Terlepas dari semuanya, Melia merasa berhak melarang Zean membahas kehamilannya pada siapa pun, terlebih mereka memiliki arah sekaligus tujuan hidup berbeda. Semuanya sudah berakhir seperti yang Zean minta dan Melia hanya bisa menerimanya. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN