“Apakah ini yang dinamakan keluarga?”
Episode 7 : Keluarga
***
Waktu menunjukkan tepat pukul delapan malam, ketika Melia memastikannya pada jam dinding dapur, sementara tumpukan piring dan gerabah kotor sudah memenuhi wastafel. Melia segera menyingsing lengan jas hitam yang dikenakan sebelum mencuci semua itu.
“Akhir-akhir ini kamu sering pulang telat, sementara wajahmu juga selalu pucat. Kamu nggak lagi ada masalah, kan?” Fanny meraih gelas dari rak yang letaknya tepat di sebelah wastafel keberadaan Melia.
Melia menggeragap tanpa bisa menutupinya kegugupannya. Kenyataan itu pula yang Fanny tangkap. Fanny yang nyaris menyesap air minumnya setelah menuangnya dari poci, memilih untuk menundanya. Baginya, gerak-gerik Melia menjadi semakin mencurigakan. Selain terlihat sakit, kemenakannya itu juga sering gelisah. Tak beda dengan Zean yang seharian ini sulit diajak komunikasi. Tak hanya teleponnya yang tidak dijawab oleh pria itu, karena pesan-pesan yang ia kirimkan juga belum ada yang Zean baca. Kontras dari hari-hari sebelumnya, di mana pria itu begitu bersemangat membuatnya percaya dan bahkan cenderung mengemis perhatiannya.
Fanny jadi bingung sendiri, kenapa orang-orang di sekitarnya jadi kurang fokus seperti sengaja menyembunyikan sesuatu darinya? Adakah rahasia yang memang sengaja mereka sembunyikan darinya?
“Mel, meski kita memang jarang mengobrol terlebih semenjak aku pergi ke Amerika, nggak ada salahnya, kan, kalau kita saling cerita?”
Melia merasa semakin tersudut. Tangannya juga berhenti bekerja sementara matanya kembali terasa panas. Menghadapi wanita yang akan dinikahi ayah dari janin yang tengah ia kandung, nyatanya tak semudah yang ia pikirkan. Yang ada ia menjadi manusia paling lemah tanpa bisa menutupi rasa sakitnya.
Sambil menunggu balasan dari Melia, Fanny meneguk air minumnya. “Kamu sudah makan?” Ia membiarkan tangan kirinya menyentuh punggung Melia. “Kamu pasti capek karena sudah seharian kerja, tapi masih harus mengurus pekerjaan rumah. Makan dulu, gih.”
Melia berpikir, seharusnya ia keluar dari rumah Fanny, bahkan pergi dari kehidupan wanita itu. Berada di tengah orang yang membuatnya harus terus berpura-pura bukan perkara mudah. Belum lagi, Zean bisa berpikir macam-macam, jika Melia tetap bertahan di tengah keluarga Fanny. Tidak menutup kemungkinan keadaan akan menjadi semakin berantakan dan parahnya, rahasia hubungannya dengan Zean terbongkar.
Melia mengangguk ragu. “Bentar, Fan. Tanggung.” Setidaknya, ia memang harus tetap berpura-pura sebelum benar-benar pergi.
“Fanny, sebaiknya kamu istirahat. Besok kamu sudah harus menyiapkan keperluan pernikahan, kan?” Venty—mama Fanny berucap tegas. Tatapannya menajam tatkala berhenti pada Melia yang menatapnya.
Baik Fanny maupun Melia memang terkejut atas suara Venty yang terbilang lantang dan terdengar tiba-tiba, hingga keduanya kompak menatap wanita paruh baya bergaya modis itu.
Fanny tidak menjawab, tapi Venty tiba-tiba berkata, “Oh, iya, Mel,”
Lanjutan wanita bermata tajam itu membuat Melia makin resah bahkan tegang.
Fokus Venty tertuju pada Melia. Ia menatap lurus kedua manik mata Melia. “Karena Fanny akan menikah, jadi kamar yang kamu tempati juga harus dikosongkan. Rumah ini nggak begitu luas, dan kamu tahu sendiri, barang-barang Fanny sangat banyak.”
“M-mah?” Fanny tak kuasa mengungkapkan rasa keberatannya atas perkataan Venty yang jelas sengaja melukai Melia.
Venty langsung melirik sang putri dengan tatapan penuh peringatan. “Fanny, masuk ke kamarmu. Mamah mau bicara empat mata dengan Melia.”
Fanny mendengkus. Dengan wajah jengkel, wanita berkulit kuning langsat itu pergi.
Senyap untuk beberapa saat dikarenakan Melia dan Venty melepas kepergian Fanny dalam diam. Namun setelah yakin Fanny pergi, Venty segera melangkah mendekati Melia.
“Mel, hasil penjualan rumah peninggalan mamahmu sudah nggak ada sisanya, ya. Jangan tanya buat apa, kamu tahu sendiri, biaya hidup sekarang sangat mahal!”
“Bibi menjual rumah peninggalan mamah, tanpa memberitahu aku lebih dulu?” Melia mendadak sesak napas. “Apakah ini yang dinamakan keluarga?” lanjutnya
“Kalau Bibi nggak jual rumah itu, kamu mau hidup dari mana? Nggak usah ngelantur, deh!” Venty menatap sinis Melia. “Harusnya kamu bersyukur, Bibi masih mau mengurus dan menampung kamu!” cibirnya sambil memelotot kemudian mendengkus. “Mau jadi apa, kamu, kalau nggak Bibi urus? Jadi wanita liar, hamil di luar pernikahan?!” racaunya sembari berlalu meninggalkan Melia. “Huh ... dasar anak nggak tahu diuntung!”
Melia bergeming di tengah tubuhnya yang menjadi gemetaran. Dari matanya yang berkaca-kaca, butiran bening mengalir lirih. Sesak kembali menyumbat d**a wanita itu. Apa yang dilakukan istri dari adik mamanya memang sudah sangat keterlaluan. Namun Melia sadar, berurusan apalagi melawan Venty bak menangkap belut yang untuk sekadar dipegang saja sangat sulit.
“Ambil hikmahnya, Mel. Mungkin ini cara Tuhan memberimu jalan pergi dari sini,” batin Melia.
Melia menghela napas lirih, tapi ia tetap kepikiran rumah peninggalan almarhum mamanya, yang justru membuatnya makin sedih bahkan tersedu-sedu.
Ketika menoleh ke depan, Melia tidak sengaja melihat Fanny yang melangkah terjaga ke arahnya. Bahkan Fanny tetap celingukan kendati wanita itu sudah berada di hadapannya.