Gerimis sore ini cukup lama, Fani menatap ke arah jalanan yang cukup padat dari jendela besar toko pakaian bayi. Baru tiga hari Fani bekerja di sini sebagai kasir. Toko perlengkapan bayi yang menurut Fani sangat lengkap menjual segala kebutuhan bayi, mulai dari baru lahir sampai anak berusia lima tahun. Harganya juga cukup terjangkau dan bervariasi. Dan Fani nyaman bekerja disini, semua karyawan ramah dan baik.
Ada Nunung, Rahma, Juwita, Andre dan Joko, yang mempunyai tugas masing-masing melayani Kustomer atau kebutuhan gudang. Sedangkan Fani sendiri bertugas sebagai kasir. Tepat seminggu setelah kejadian Fani yang pingsan di kamar kosnya.
Lelaki itu memang baik, meskipun dia hanya seorang kuli bangunan, namun banyak dari anak kos yang cukup ramah dan dekat dengan Septiyan. Yah, Septiyanlah yang memberitahukan pada Fani bahwa toko "All about baby" sedang membutuhkan seorang kasir, karna kasir yang lama sudah keluar karena melahirkan.
"Mbak Fani, nanti malam pulangnya bareng sama aku aja," ucap Juwita medok dengan logat jawanya.
"Emang rumah Wita di mana?" tanya Fani.
"Deket Mbak, kalau dari kosan Mami Pur," jawab Juwita sambil merapikan etalase khusus celana bayi.
"Ga ngerepotinkah?"
"Ih..ga papa Mbak, mumpung searah, dari pada Mbak jalan kayak kemaren-kemaren, serem Mbak," ucap Juwita.
"Iya bener Mbak, soalnya bukan cuma banyak begal motor sekarang Mbak, begal cewe cantik juga ada," celetuk Joko sambil cengengesan.
Fani masih melongo tak paham, "emang ada ya begal cewe cantik?" bisiknya dalam hati.
"Mana ada ah, ngaco kamu, Ko," sahut Fani.
"Iya Mbak, beneran deh." Joko mengangguk diikuti Andre.
"Aman kalau gitu saya." ucap Fani sambil nyengir. "Kan saya tidak cantik," lanjutnya lagi.
"Justru yang saya takutkan itu kamu Joko yang diincar begal," seloroh Fani disahuti ketawa oleh semua yang ada di sana. Maklumlah Joko tipe lelaki yang aga kemayu, lemah gemulai kayak mendoan. Tampak beberapa pengunjung ikut tersenyum mendengar obrolan mereka.
Adzan magrib pun berkumandang, mereka bergantian melaksanakan ibadah sholat magrib sekalian makan malam. Giliran Juwita dan Rahma serta Andre yang pertama sholat dan istirahat makan. Setengah jam kemudian bergantian, giliran Rahma, Joko serta Fani.
"Ya Allah terimakasih, untuk rezeki kesehatan dan kemudahan hari ini. Lindungilah selalu aku dan keluargaku, teman-temanku dari marabahaya dan malapetaka. Aamiin."
Fani menutup sholatnya dengan mendoakan orang-orang terdekatnya.
Mereka bertiga dengan cepat menyelesaikan makan malam dengan saling bertukar lauk. Suasana kekerabatan yang sangat menyenangkan Fani. Setelah makan, Fani kembali berdiri di balik meja kasir sambil memeriksa beberapa nota.
Triiing...
Kerincing pintu toko berbunyi, tanda pintu toko terbuka.
"All about baby Selamat datang!" seru Fani dan Rahma yang tersenyum manis pada calon kustomernya.
Fani mengenal sosok lelaki yang memakai kaos polo berwarna marun dan celana pendek berbahan jeans yang baru saja masuk.
"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya Rahma dengan sopan.
"Mmm..saya mau jemput Mbak kasirnya," jawab lelaki itu tersenyum malu.
"Weleeh...weleh...Mbak Fani, ini lho ada yang mau jemput!" teriak Rahma cukup jelas hingga yang lain menoleh ke asal suara, sedangkan Fani sudah memonyongkan bibirnya serta melotot bersiap menimpuk Rahma.
Fani menghampiri Septiyan. "Saya kirain bohongan mau jemput Mas, lagian ga papa saya pulang bareng Juwita nanti," ucap Fani merasa sungkan.
"Oh...gitu, jadi saya pulang lagi aja nih." Tiyan menegaskan sembari membalik badannya.
"Ehh...jangan...udah sampe sini kok mau pulang." Fani menarik pelan kaos Septiyan, sedangkan dari etalase tas-tas bayi terlihat Juwita, Rahma, dan Joko tertawa cekikikan.
"Mas Tiyan lihat-lihat saja dulu ya, soalnya jam kerja saya masih sejam lagi," ucap Fani.
"Iya ga papa Mbak Fani kerja lagi saja, saya biar nunggu di depan, sambil ngitungin kenderaan yang lewat," seloroh Tiyan.
Sekarang, di sinilah Fani, duduk berboncengan dengan Septiyan sang tukang bangunan yang baik hati. Meneliti jalanan di malam sabtu yang dingin dengan aroma tanah basah yang segar, karena hujan baru saja reda. Fani berpegangan erat pada jok motor vespa jadul milik Septiyan.
"Saya belum makan Mbak, mau mampir makan dulu boleh ndak?" tanya Tiyan dengan suara yang tersapu angin malam.
"Oh gitu, iya boleh Mas," jawab Fani.
Tiyan memarkirkan motor vespa jadulnya di warung bakso yang cukup ramai.
"Ayo Mbak!" ajak Tiyan kepada Fani yang baru turun dari motornya.
Mereka mencari meja yang tidak terlalu jauh dari lahan parkir, agar bisa menikmati suasana lalu lalang kenderaan.
"Tempatnya bagus, Mas,"puji saat melihat sekeliling warung bakso itu.
"Rasanya enak ga?" tanya Fani polos.
"Enak pasti Mbak, apalagi kalau makannya sambil liatin saya," ucap Tiyan sambil nyengir kuda.
"Issh...pede banget tha sampeyan!" celetuk Fani. Sedangkan Tiyan hanya tertawa geli.
"Permisi Mbak, Mas ini buku menunya." Seorang pelayan menyerahkan dua buku menu kepada Tiyan dan Fani.
"Kula pesen ingkang paling sekeco (saya pesan yang paling enak)dan recommended," ucap Tiyan sambil tersenyum.
"Mbak Fani mau pesan yang mana?" tanya Tiyan menatap Fani yang masih asik menatap buku menu.
"Samain aja deh, saya bingung," ucap Fani. " Minumnya teh tawar hangat ya Mbak," lanjut Fani lagi.
"Kok cuma teh Mbak, ndak mau juskah?" tanya Tiyan menawarkan.
"Dingin-dingin gini enaknya minum teh, Mas," jawab Fani lagi.
"Ya sudah, minumnya teh tawar hangat dan teh tarik ya Mbak," ucap Tiyan kepada pelayan.
Akhirnya mereka makan dengan lahap, sesekali Tiyan memperhatikan Fani. Wanita di depannya ini yang sudah menarik perhatiannya sejak pertama kali melihatnya. Tapi apakah Fani akan melihat dirinya sebagai seorang pria atau hanya seorang teman saja. Entahlah yang jelas Tiyan selalu berusaha dekat secara sopan pada Fani.
"Mbak Fani usianya berapa?" tanya Tiyan saat menyesap teh tariknya.
"Dua puluh sembilan tahun Mas, udah tua saya mah." jawab Fani polos.
"Masa sih, saya kirain baru tujuh belas," goda Tiyan
"Waah..Mas Tiyan ngeledek saya ya." Fani tertawa mendengar ucapan Tiyan.
"Kalau Mas Tiyan umurnya berapa?" tanya Fani lagi.
"Coba tebak Mbak," tantang Tiyan.
"Tiga puluh atau dua puluh delapan tahun mungkin," jawab Fani serius.
Tiyan tergelak "Muka saya boros ya, Mbak?" tanya Tiyan sambil tersenyum.
"Umur saya dua bulan lagi baru dua puluh lima tahun Mbak." ucap Tiyan.
"Ehh, maaf Mas Tiyan rupanya di bawah saya umurnya," sahut Fani merasa tidak enak.
"Brondong dekil," celetuk Tiyan sambil terkikik.
"Bulet lagi," sambung Fani, karena memang postur Tiyan yang padat berisi dengan tinggi badan tak sampai seratus tujuh puluh.
Mereka larut dalam obrolan ringan, tanpa sadar sudah pukul setengah sepuluh malam, Tiyan bergegas mengantar Fani kembali ke kosannya.
"Mas Tiyan, terimakasih banyak tumpangan dan traktirannya ya," ucap Fani sambil mencoba membuka helm namun susah.
"Sini saya bantu Mbak, maaf ya," ucap Tiyan sangat sopan. Lalu membantu membuka kaitan helm Fani. Sesekali hembusan nafas Tiyan dirasa oleh kulit wajah Fani. Ada yang aneh!
"Duh...duh...mesra amat ini, bikin gue patah hati deh," ledek Ami yang juga baru sampai diantar oleh pacarnya.
"Apaan sih lo, sirik aja!" mata Fani melotot ke arah Ami, sedangkan Tiyan hanya tersenyum lalu izin pamit.
"Lo pacaran sama Tiyan ya?" tanya Ami penasaran.
"Kagaklah, Mas Tiyan cuma anter aku pulang," sahut Fani cuek.
"Masa sih? Padahal kalau pacaran juga ndak papa lho Fan," ledek Ami sambil mereka berjalan naik ke kamar masing-masing.
"Apaan sih, udah ah, udah malam..bye Ami." Fani melambaikan tangan pada Ami lalu masuk ke dalam kamarnya.
*****
"Bagaimana menurut dokter?" tanya Munos khawatir.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan, kondisi kelamin pak Munos baik-baik saja, tak ada yang aneh, tapi kenapa tidak bisa ereksi itu yang saya juga masih tanda tanya. Saran saya Bapak jaga makanan, rajin olah raga dan tidak stres. Saya berikan vitamin untuk stamina ya," jelas dokter pada Munos yang tertunduk lemah.
Munos keluar dari ruangan dokter dengan langkah gontai, sambil menunggu obat yang disiapkan, pikiran Munos melayang pada sosok wanita yang sudah tiga bulan tidak dapat dia temukan. Sudah habis puluhan juta untuk membayar orang mencari keberadaan Fani dan selama itu pula Munos, tidak bertemu dengan ibunya yang sekarang hanya bisa tertidur lemas di kasurnya, karena serangan jantung.
Kondisi mamanya sangat mengenaskan, tubuh mamanya semakin pucat dan kurus. Bu Sundari tak akan pernah mau menemui anaknya jika anaknya tidak datang dengan Fani. Munos hampir pasrah setelah tiga bulan tidak dapat kabar apapun dari orang suruhannya.
Munos masuk ke dalam rumah dengan lemas, sudah sebulan dia tidak bertugas di hotel lagi, karena pak Karim, papanya mengalih tugaskan CEO hotel kepada paman Munos. Sedangkan Munos hanya diberi pekerjaan yang ringan-ringan saja, seperti mengawasi pembangunan hotel atau membuat laporan keuangan.
Munos membuka pintu kamarnya yang kosong seperti hati dan dirinya saat ini.
Pelan direbahkannya tubuh lemasnya di atas ranjang besarnya yang dingin. Tatapannya tertuju pada foto pernikahannya dengan Fani yang masih terpajang di dinding kamar.
"Ahh..seandainya waktu bisa kuputar kembali, pasti tidak akan sehancur ini kehidupan keluargaku." Munos memijat pelipisnya kuat. "Fani...kamu di mana? Tolong maafkan aku,"lirihnya.