Hubungan Fani dan Tiyan semakin dekat, Tiyan setiap hari menjemput Fani bekerja, Tiyan juga sekarang tidak bekerja lagi di kosan Fani, karena bangunan kosan yang dikerjakan Tiyan telah rampung. Tiyan mendapat proyek baru, memperbaiki bangunan sekolah yang ambruk, lokasinya cukup jauh dari tempat Fani bekerja, namun Tiyan tetap menjemput Fani saat pulang bekerja. Fani terngiang perkataan Ami tadi pagi.
"Gue rasa Tiyan serius sama lo Fan. Lo ga mau coba buka hati untuk lelaki lain, apalagi Tiyan lelaki baik-baik?"
"Ga berani saya Ami, masa lalu saya sangat buruk, sehingga rasanya hati saya belum mampu menerima lelaki lain."
"Tak apa sekarang biarlah mengalir seperti apa adanya, berteman dengan baik."
"Kok ngelamun Mbak Fani?" tanya Joko yang memperhatikan Fani lagi bengong.
"Lagi mikirin kapan gajian Jo," ucapnya asal.
Joko terkekeh. "Kan baru kemaren gajian Mbak, masa udah mikirin kapan gajian lagi." Joko tertawa.
"Makanya jadi istri aja Mbak, biar sebulan pegang dua gaji, gaji sendiri sama gaji suami.l," ucap Joko menyarankan.
"Ga mau ah...jadi istri itu ribet, apalagi kalau dapat suaminya galak, iih...ogah banget," jawab Fani sambil menggelengkan kepala.
"Tapi kayaknya kalau Mas yang duduk di depan itu ga galak deh," kata Joko sambil matanya mengarah ke depan pintu masuk toko. Mata Fani pun mengikuti. Ada Tiyan di sana yang sedang menenteng sebuah bungkusan, tersenyum sangat hangat kepada Fani.
"Mas Tiyan," sapa Fani ramah.
"Ada apa, Mas?" tanya Fani sesaat setelah Tiyan masuk ke dalam toko.
"Ini ada oleh-oleh sedikit dari ibu saya di kampung, kebetulan hari ini ibu saya datang, dan nanti malam saya ndak bisa jemput ya Mbak, ndak papa kan?"
"Oh..gitu, ya Allah makasih banyak ya, Mas," ucap Fani tulus sambil menerima bungkusan oleh-oleh dari Tiyan.
"Besok hari minggu main ke rumah saya yuk Mbak, ketemu ibu saya, mau ndak?" tanya Tiyan to the point.
Alis Fani bertaut. "Mau ngapain Mas?" ada nada tidak suka disana.
"Ndak papa sih Mbak, cuma saya mau kenalin Mbak aja, tapi kalau ndak mau ya ndak papa Mbak," jawab Tiyan sedikit kecewa dengan pertanyaan Fani.
"Maaf ya Mas Tiyan, lain kali saja," jawab Fani merasa tak enak.
"Iya ndak papa Mbak, saya pamit ya Mbak, nanti malam pulangnya hati-hati sama Mbak Juwita, Assalamualaikum," ucap Tiyan sambil tersenyum lalu menunduk tanda pamit.
Fani memandang punggung Tiyan sampai hilang dari depan parkiran. Biasanya Tiyan selalu menoleh kembali pada Fani, namun siang ini tidak, Tiyan pergi begitu saja tanpa menoleh kembali pada Fani. Ada rasa bersalah menggelayuti hatinya, apakah Tiyan tersinggung dengan perkataannya tadi. "Ah, kenapa harus kata itu yang keluar dari mulutku?" gumam Fani sendu.
Sudah tiga hari sejak itu Tiyan tidak tampak lagi menjemput Fani. Kabarnya pun tidak ada, maklum saja Fani tidak mempunyai ponsel, baru akan membelinya bulan depan saat gajian. Fani merasa kehilangan, biasanya ada Tiyan yang menghiburnya kala dia lelah dan patah semangat dalam pekerjaan, ada Tiyan yang selalu menjemputnya tepat waktu dan menraktirnya aneka jajanan pinggir jalan.
Dengan sabar Tiyan menghadapi Fani yang terkadang bertingkah tidak jelas apalagi saat tengah datang bulan. Tiyan juga selalu mengingatkan Fani untuk tak meninggalkan waktu sholat dan puasa senin kamis. Dan karena Tiyan juga Fani mendapat pekerjaan ini.
"Wooyy...ngelamun aja!" Ami masuk ke dalam kamar Fani yang tidak terkunci.
" Lagi ngelamun apa sih?" tanya Ami selidik melihat Fani tidak bersemangat di hari minggu, harusnya hari ini dia tidak menolak bertemu dengan ibunya Tiyan.
"Mas Tiyan sudah tiga hari ga ada kabar," ucap Fani lesu.
"Lho ke mana?" tanya Ami
Fani menggeleng, lalu menceritakan asal muasal sehingga Tiyan tak datang lagi menjemput Fani.
"Namanya rindu ya gitu, Fan," ledek Ami.
"Rasanya penuh di dadakan?" tanya Ami lagi. Fani mengangguk cepat.
"Assalamualaikum, permisi kamar Mbak Fani yang mana ya?" tanya wanita tua dengan kebaya tua lengkap dengan kain batiknya.
"Wa'alaykumussalam ya Bu, saya Fani." Fani tersenyum ramah, begitu juga Ami.
"Ini nduk, saya m-mm si mboknya Septiyan," ucap wanita itu dengan lembut.
"Ohh, i-iya Bu, sini mari masuk." Dengan gugup, Fani mempersilakan si ibu masuk ke kamarnya.
"Cantik kamu nduk, persis seperti yang dibilang Tiyan," ucap wanita itu menatap senang kepada Fani.
Fani hanya tersipu malu, lalu menyediakan teh hangat untuk ibunya Tiyan, tunggu tapi Tiyannya ke mana?
"Mas Tiyan apa kabarnya, Bu?" tanya Fani heran tak melihat Tiyan.
"Tiyan kecelakaan kerja, Nduk."
****