5. Septian

1190 Kata
Waktu berjalan cepat sudah hampir sebulan Fani mencari kerja ke sana kemari namun belum menemukannya, sedangkan uangnya hanya tersisa untuk membayar sewa bulan depan dan beberapa lembar lagi untuk makannya, mungkin hanya cukup untuk biaya sepuluh hari lagi. Dengan langkah gontai Fani membuka gerbang kosannya. Wajahnya pucat dan lemas karena hari ini dia hanya sarapan tidak makan siang, yah sejak di Malang Fani hanya makan dua kali sehari pagi dan sore hari untuk menghemat pengeluaran, tak jarang Fani juga puasa senin kamis, selain untuk ibadah, itu juga bagian dari penghematan biaya makannya. "Lho udah pulang, Mbak," sapa Septiyan yang saat ini tengah mengecat dinding. "Iya Mas," jawabnya lesu. "Mbak sakit?" tanya lagi kali ini dia menghentikan aktifitasnya. "Ga kok, cuma cape," jawab Fani sambil membetulkan sepatunya yang tampak sangat lusuh." "Oh..gitu maaf Mbak, kalau saya lancang udah bertanya." Septiyan menunduk tanda meminta maaf. "Ga papa Mas Tiyan, santai aja," jawab Fani sambil tersenyum. "Saya lagi cari kerjaan Mas," ucap Fani sendu. "Sudah hampir sebulan saya di sini belum dapat juga," lanjutnya lagi. "Oh..gitu, yaahh sabar Mbak, memang sekarang cari kerjaan susah Mbak, sampeyan kudu kuatin doanya lagi," ucap Tiyan menyemangati. "Makasih Mas, saya naik dulu." Fani pamit naik ke atas, jalannya sempoyongan, mungkin lemes juga karena belum makan siang. Matanya menatap langit-langit kamar, hari ini dia tidak keluar mencari pekerjaan, karena Fani merasa badannya sedikit demam. Hari ini tepat satu bulan peristiwa mengerikan yang menimpanya. Fani mengangkat kaosnya, dilihatnya perut ratanya, air mata itu kembali menetes. Dia merindukan kedua janinnya. Fani tersedu mengingat kejadian di mana suami yang tak menginginkannya tega pada dirinya dan janin kembar mereka. "Lelaki kejam itu pasti sudah bahagia sekarang, sedangkan aku di sini, Ya Allah bantulah hambamu ini," bisik Fani dalam hati sambil terisak sambil menahan rasa lapar. **** "Paa...Aku udah cari tapi ga ketemu," ucap Munos pada papanya di telpon. "Iya Pa, aku tahu, aku udah sewa detektif untuk mencari Fani tapi mereka juga belum bisa menemukannya, keluarganya juga ga tau Fani ke mana." Pak Karim menutup begitu saja telponnya. "Ya Allah Fani, kamu ke mana sih?" gumam Munos sambil mengacak kasar rambutnya. Sudah satu bulan sejak kepergian Fani, Munos diboikot oleh kedua orangtuanya, mama dan papanya tak sudi bertemu dengan Munos, sebelum Munos berhasil menemukan Fani dan membawa Fani kembali. Kondisi mamanya juga kembali drop, mamanya tidak bisa melakukan aktifitas seperti biasa karena kondisi jantungnya yang lemah sejak kehilangan cucu dan kepergian menantunya, Bu Sundari stres berat. Munos masuk ke dalam kamarnya, menatap sendu ruangan itu, mengingatkan kembali kebrutalannya pada istrinya. Perasaan bersalah kini menghantui. Dan yang anehnya, keponakannya ikut tak bereaksi lagi sejak kejadian itu. Munos pernah dalam keadaan mabuk, menyewa seorang PSK di sebuah club. Hasrat kelaki-lakiannya sudah membumbung tinggi, Namun apa yang terjadi setelah melihat PSK itu telanjang, Sang keponakan malah kembali tertidur, tidak bereaksi lagi hingga membuat kemarahan Sang PSK dan meninggalkan Munos begitu saja di dalam kamar hotel. Benar-benar peristiwa yang membuat harga dirinya sebagai lelaki jatuh dan pecah berkeping-keping. Shit!" umpatnya. "Gue beneran kena karma!" ucapnya kesal dengan dirinya sendiri. **** "Fani....Fani!" teriak Ami mengetuk pintu kamar Fani. Karena dari pagi Fani tidak terlihat keluar kamar. "Ya Allah Fani kenapa tak menjawab?" ucap Ami dengan khawatir. Lia dan Dinda menghampiri Ami dan mereka bertiga terus menggedor pintu kamar Fani, namun tetap tak ada sahutan. "Sebentar gue ke mami minta kunci cadangan," ucap Lia bergegas turun. Tak lama Lia naik kembali lalu menggeleng. " Mami lagi ga di rumah," ucap Lia pasrah. "Ada apa, Mbak?" tanya Tiyan yang sedang merapikan atap bangunan sebelahnya dengan keheranan. "Mas Tiyan sini bantuin dobrak kamar Fani, dia tidak keluar kamar dari pagi Mas, cepet!" ucap Ami sedikit aga keras hingga anak kos yang lain pada keluar dari kamar mereka. Dengan sigap Tiyan dan seorang temannya berlari menuju kamar Fani, mereka mencoba mendobrak kamar Fani. Brrrrraaakkk! Tiyan dan temannya berhasil mendobrak, Ami melesak ke dalam, alangkah kagetnya mereka melihat Fani sudah tak sadarkan diri, wajah pucat seperti kapas, namun masih bernafas. "Fani...Fani..Ya Allah kamu kenapa?" Ami terisak khawatir. "Sebaiknya kita bawa ke klinik depan Mbak," ucap Tiyan tak kalah khawatirnya lalu dengan sigap menggendong Fani yang sudah tak sadarkan diri. Dengan di bonceng salah seorang tukang bangunan yang lain, Tiyan membawa Fani ke klinik yang tak jauh dari kos-kosan. Sedangkan Ami dan Lia menyusul, karena harus mencari pinjaman motor dulu. "Bagaimana, Dok?" tanya Tiyan berdiri menghampiri dokter. "Sebaiknya kita bicara di dalam," ajak sang dokter. Septiyan celingak-celinguk mencari Ami tetapi belum sampai, akhirnya Tiyan memutuskan untuk masuk ke dalam. "Mas, ini kondisi istrinya sangat memprihatinkan, perutnya kosong, sepertinya dari kemarin, dia juga dehidrasi, lalu kelihatan stres dan luka bekas jahitan di perutnya sedikit ada infeksi. Apakah Mas tidak pernah mengecek jahitan bekas kuret di perut istri Mas?" tanya dokter. Tiyan terdiam mendengar penjelasan dokter, dadanya bergemuruh, rasa kasihan pada kondisi Fani melandanya. "Ya Allah Mbak, sekeras apa sebenarnya hidupmu?" gumam Tiyan iba dalam hati. "Trus apa yang sebaiknya saya lakukan, Dok?" tanya Tiyan lagi, masa bodoh dengan prasangka dokter bahwa dia adalah suaminya Fani. "Sebaiknya perhatikan makan istrinya, yang sehat, dan bergizi, jangan buat dia stres, ajak piknik mungkin dan pelan-pelan ya saat berhubungan" jelas dokter. Huukk! Hukk! Tiyan tersedak salivanya. "Ini resep obatnya, setelah istrinya sadar dan kuat, sudah bisa dibawa pulang," ucap dokter memberikan selembar kertas resep kepada Tiyan. Pelan Fani membuka mata, rasa sakit kepalanya masih terasa, perutnya juga berbunyi keroncongan. Fani menyadari sedang berada di ruangan klinik. Matanya menatap Septiyan, Ami dan Lia sedang berbicara dengan pelan. "Ami...Lia..." Panggil Fani lirih. "Fani...kamu sudah sadar, Alhamdulillah," ucap Ami senang lalu memeluk Fani begitu juga dengan Lia "Kenapa aku di sini?" tanyanya "Kamu pingsan karena ga makan dari kemaren ya'kan?" tanya Ami cemberut. "Harusnya kamu kasih tau aku Fan, kalau lagi sakit dan ga bisa beli makan," lanjut Ami. "Sudah Mbak Ami, ndak papa, yang penting Mbak Fani sudah sadar lagi, ini obatnya Mbak, minum dulu, baru makan buburnya, nih saya sudah belikan buburnya," ucap Tiyan tersenyum memberikan bungkusan obat pada Fani dan menyiapkan air untuk Fani minum. "Terimakasih Mas Tiyan, maaf jadi merepotkan." Fani menatap wajah tukang bangunan itu dengan lemah. "Wah kamu ndak tau aja Mas Tiyan ini gendong badan kamu yang gueedee ini pas pingsan tadi kayak gendong botol," seloroh Ami sambil tertawa kecil. "Lain emang kalau kekuatan tukang bangunan," puji Ami lagi sambil cekikikan. Tiyan tampak kikuk menggaruk rambutnya yang tidak gatal, sedangkan Fani merasa malu saat mengetahui Tiyanlah yang menggendongnya. Dengan cepat Fani menghabiskan bubur ayamnya dengan lahap. Setelah selesai makan, Fani, Lia, dan Ami juga Tiyan keluar dari ruangan. Ami dan Lia masih memapah Fani. Dengan sigap Setiyan memesan taksi online untuk mereka "Tapi ini berapa semua biayanya?" tanya Fani heran. "Udah dibayar semua sama Tiyan, Fan, biar tukang bangunan juga duitnya merah semua di dompet," ucap Ami sambil nyengir. "Ya Allah Mas Tiyan saya benar-benar udah nyusahin ya, maaf ya Mas Tiyan," ucap Fani tulus. "Biar nanti saya ganti," lanjutnya lagi. "Iya Mbak Fani, saya ikhlas kok, yang penting Mbak Fani sehat dan ceria lagi, biar cepat dapat kerjaan," ucap Tiyan sambil tersenyum. Taksi online pun datang menjemput dan membawa mereka kembali ke kosan mami Purwanti. **** Jangan lupa like, love dan komen. ??
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN