Chapter 9 : Kencan sama Gue!

1848 Kata
Jika Tuhan kabulkan satu pintaku Aku ingin Tuhan memberiku sebuah sinar bahagia lagi. ***** "Bagaimana kabar anak saya dokter?" kecemasan terlihat begitu nyata, semua menangis, semua bersedih. tangisan pilu yang susah untuk dipahami oleh orang yang tak pernah mengalaminya. Dia, wanita terhebat itu sedang meratap melihat nasib sang anak yang kini berjuangan dengan banyak alat. suara ventilator yang tak pernah berhenti berbunyi kini menunjukkan tanda-tanda semakin kritis dan panik. wanita itu masih menangis dalam pelukan keluarganya yang lain. "Selamatkan anak saya dokter." ucap wanita itu sambil terisak. "Kita akan usahakan buk. tapi semua ketentuan ada di tangan Allah. kita hanya bisa mengusahakan." tubuh itu terlihat pucat. tak ada tanda-tanda kehidupan dari sana. "Sabar tante. aku yakin dia kuat." ucap seorang gadis yang menyemangati wanita tersebut. sebuah pelukan hangat selalu gadis itu berikan padanya. bahkan tak terhitung lagi berapa banyaknya do'a yang ucapkan untuk kesembuhan tubuh yang saat ini terbaring lemah. "Tante bingung Nak, tante takut." "Sttt.. tante jangan bicara begitu. semua akan baik-baik saja. dia anak yang kuat. aku yakin dia nggak akan ninggalin tante. dia juga sedang berjuang untuk sembuh. jadi aku mohon, tante jangan menyerah." wanita itu mengangguk. ia menghapus air matanya dengan tisu yang tadi ia pegang. hatinya begitu hancur saat melihat anaknya seperti ini. dan jika ia bisa meminta dan Tuhan mengabulkannya, biar dia saja yang menggantikan posisi anaknya. karena anaknya masih punya masa depan yang panjang yang harus dijalani. ***** Assalamu'alaikum. Lidia berteriak menyapa semua penghuni rumahnya. Ia melihat tak ada tanda-tanda kehidupan di rumah itu. "Kok sepi banget?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Yang lain pada kemana ini?" Lidia berjalan menuju dapur, taman belakang, kamar orang tuanya dan juga kamar adiknya ,tapi tak ada siapa-siapa. Heran dengan suasana sepi tersebut, Lidia mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. Ia mencari kontak orang tuanya lalu memilih salah satunya dan menekan tombol Panggil. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya panggilan tersebut pun direspon. "Assalamualaikum Ma.!" siapa Lidia yang mendapat balasan salam dari seberang sana. "Mama di mana? Kok rumah sepi pas aku pulang." "oh Maaf sayang, Mama lupa kabarin kamu. Mama sekarang lagi di rumah sakit temenin tante kamu." "temenin tante? Memangnya Tante kenapa?" "bukan tante kamu yang kenapa-napa, tapi Om kamu, Om Adam. Maaf ya mama baru kabari kamu sekarang. Om Adam meninggal,---" "innalillahi wa inna ilaihi rojiun." Lidia seketika dibuat terdiam hening. ia tak menyangka Omnya akan meninggal begitu cepat, padahal om Adam dan istrinya baru 1 tahun ini menikah dan mereka juga sedang menantikan anak pertama mereka lahir. "tante kamu sendirian. jadi Mama temenin dia. sedangkan Papa kamu sedang mengurus jenazah Om Adam. Kalau kamu lapar, bikin mie aja nak. Mama nggak sempat masak tadi." Lidia mengangguk. Ia paham pasti di rumah sakit saat ini sedang sibuk. Ia pun memutuskan untuk mematikan panggilan tersebut dan berjalan menuju meja makan. Sesampainya di sana, Lidia langsung duduk di salah satu kursi meja makan tersebut. ia termenung merasa tak percaya jika Om yang paling ia sayangi itu pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Sebenarnya jika ia lihat saat ini, kepergian Om Adam bukanlah sesuatu yang mendadak karena memang Om Adam sudah tak sadarkan diri sejak kecelakaan yang ia alami 5 bulan yang lalu. Ia hanya mendapat kabar jika mobil yang dikendarai oleh om Adam terbalik saat Omnya itu menabrak seorang pemotor lalu menghantam truk kontainer yang ada di depan mobilnya. Karena tak terelakkan lagi, bagian sopir dihantam cukup keras oleh mobil tersebut membuat tubuh Om Adam terjepit dan saat dibawa ke rumah sakit dokter mengatakan jika Om Adam mengalami koma dan tak sadarkan diri sampai hari ini om adam dinyatakan meninggal. Saat mendapat kabar tersebut Lidia langsung bergegas menuju tempat kejadian dan di sana ia hanya menemukan sebuah ambulans yang sedang menanti tandu yang dibawa oleh para petugas untuk dimasukkan ke dalam ambulans tersebut. Dan ia merasa tandu tersebut sedang membawa salah satu korban kecelakaan. Dan sebenarnya kejadian inilah yang ia mimpikan akhir-akhir ini. Seolah ia sedang mengalami Dejavu. Lidya menghembuskan nafas berat seolah ada beban di dadanya yang susah ia lepaskan. Ia sangat ingin menyusul orang tuanya, namun itu membutuhkan banyak waktu. Karena saat ini om nya tidak berada di Jakarta, melainkan berada di Singapura. "Lo kenapa?" Tanya Arya yang sedari tadi diam menatap Lidia dari pintu masuk rumah gadis tersebut. melihat kedatangan Arya yang berjalan mendekat padanya, membuatnya mendadak ingin menangis. ia tak tahu, kenapa rasa kehilangan itu begitu besar. "Om gue meninggal." jawab Lidia lirih. mendengar kabar tersebut, Arya tak mau bicara banyak lagi. ia tahu Lidia sekarang sedang merasa kehilangan. "Lo nggak apa-apa?" tanya Lidia pada Arya. pasalnya tadi saat di kampus ia melihat Arya terlihat seperti kesakitan. Arya menggeleng. ia tersenyum seolah mengabarkan jika dirinya baik. "kenapa tak menyusul pamanmu? maksudku ke tempat orang tuamu sekarang." "Lo tahu orang tua gue dimana?" Arya mengangguk, "Dari pikiran lo kebaca." "Terus kenapa lo masih nanya gue kenapa?" Arya menghela nafas, ia duduk di hadapan Lidia. "Terkadang rasa tahu harus disimpan untuk mendengarkan cerita seorang teman. aku tahu, dan jika aku memilih diam, aku yakin kau akan memendam kesedihanmu sampai membuatmu terluka. jadi berpura-pura tidak tahu bisa membantu temanmu untuk menjadi lebih baik." Lidia tersenyum. ia setuju dengan yang Arya katakan. setidaknya kemunculan Arya bisa mengobati sedikit sepinya. "Kau bisa memanggil temanmu ke sini, agar tak merasa sendirian lagi." saran Arya. Lidia menggeleng, "Aku tak terlalu punya banyak teman." "Cia?" dengan cepat Lidia kembali menggeleng, "Cia itu hanya akan merepotkan. lo dengar tadi kan dia seorang penulis dan sedang membuat cerita horor. gue yakin kalau dia di sini, gue nggak bakalan tenang. dia pasti akan bertanya terus-terusan." Jawaban Lidia bisa diterima juga dan masuk akal. "Kalau begitu, aku akan menemanimu. rumahmu cukup nyaman. aku bisa duduk di mana saja." tawar Arya. Lidia nampak berpikir, ia lalu mengangguk. tak ada salahnya ia menerima tawaran Arya. toh ia juga belum tahu kapan orang tuanya akan kembali. "Aku ganti baju dulu." ucap Lidia. gadis itu langsung berdiri dan berjalan menuju kamarnya sedangkan Arya menunggu di bawah. pria itu memilih mengelilingi rumah Lidia dan baginya, rumah ini sangatlah nyaman. namun tetap, penghuni selain makhluk bernyawa selalu ada. memang sebenarnya tetap ada. di manapun tempat itu. bahkan di dalam masjid pun pasti ada. Arya kembali berjalan-jalan mengitari dalam rumah. saat sedang asik melihat-lihat, langkahnya dibuat terhenti karena netranya melihat sesuatu yang tak asing baginya. foto keluarga besar Lidia. tiga orang di sana membuatnya nyaris tak bisa mengelakkan pandangannya. ia mengenal tiga orang tersebut, namun ia lupa pernah bertemu di mana. Fokus Arya melihat foto tersebut, sontak dibuyarkan oleh suara pintu yang terbuka. ia melihat ke arah atas dan ternyata di sana sudah berdiri Lidia dengan pakaian rumah gadis tersebut. Arya memperhatikan dari atas sampai bawah, "Kau tak punya pakaian yang layak yang biasa digunakan anak perempuan?" Lidia menatap dirinya sendiri, "Kenapa memangnya?" tanyanya. Arya mendesis sembari memperhatikan pakaian Lidia. ia berjalan mendekat gadis tersebut, "sekarang aku tahu kenapa kau tak punya pacar." Lidia mencibir, "Lo ngeledek gue?" Arya mengangguk tegas, "Kau tahu? kau sungguh tak menarik. rambut tak diikat rapi, celanamu robek robek, dan ini, baju kaos kedodoran. ya ampun Lidia, kau perempuan atau bukan?" Lidia mengangkat bahunya acuh. ia tak mempedulikan ejekan Arya padanya. toh yang hidup dengan gaya seperti ini kan dirinya. ia tak pernah peduli apa yang orang lain katakan. "Cobalah berdandan. disekolah pun aku tak melihatmu berdandan sedikitpun." "Gue nggak suka!" "Kapan kau akan punya pacar?" "Gue masih sekolah." "Cih! alasan.bilang saja kau tak laku." Lidia yang saat itu sedang minum langsung tersedak. ia menatap Arya tajam. "Tak mau pacaran bukannya tak laku. gue cuma lagi nggak mood." "memang kau punya pacar sebelumnya?" Lidia menggertakkan giginya geram pada Arya si mulut lemes. pria di depannya ini sudah seperti ibu-ibu arisan yang kerjaannya ngeghibah. "Pasti belum pernah ngerasain kencan kan?" "Bisa diam?" Arya menggeleng, "aku serius dengan ucapanku. jadi aku tak akan diam." "Tapi kau merusak harga diri perempuan." "Aku tak merusaknya. yang ku komentari adalah kau, bukan gadis lain. mereka terlihat menawan jika aku lihat. ubah penampilanmu dan carilah kekasih." Lidia berdecak kesal, "aku punya pacar atau tidak, bukan urusan mu. lagian kau tak punya hak mengatur kehidupanku. memangnya kau siapa? apa kau saat hidup, punya hobby duduk bersama ibu-ibu? kalau iya, pantas saja mulutmu seperti mulut ibu-ibu." "Hah. kenapa gue bisa ngikutin gaya lo ngomong. jangan sok aku kamu deh, kesel gue." Lidia merutuk sendiri. entah kenapa sifatnya yang satu itu tak bisa ia hilangkan. terbawa meniru gaya seseorang bicara. Lidia berjalan keluar dari dapur hendak menuju ruang keluarga. namun belum juga ia melewati tangga, langkahnya seketika dihentikan oleh Arya. Lidia terdiam saat Arya tiba-tiba muncul di di hadapannya. ia bahkan bisa melihat wajah tampan Arya yang berhasil membuatnya lagi-lagi terpesona. "A--ada apa?" tanya Lidia terbata-bata. Arya menatap Lidia dalam lalu tersenyum, "Ayo kita kencan." ***** malam sudah semakin larut. dan Lidia masih sibuk mengukur berapa besar ranjangnya dengan panjang tubuhnya. ia berguling ke sana ke mari untuk mencari kenyamanan namun tetap tak bisa tidur. ia kembali mengusap wajahnya kasar. Bayangan kejadian beberapa jam yang lalu masih terlintas segar diingatannya saat Arya memintanya untuk berkencan. Gila! Sungguh gila. Kenapa kejadian ini terasa seperti ia sedang ditembak oleh seorang pria. Memang Arya seorang pria, namun beda konteks. Bagaimana ceritanya ia berkencan dengan seorang hantu?. Lidia menatap langit langit kamarnya. Masih dengan wajah Arya. Ketampanan pria itu selalu terlintas diingatannya. Sudah berapa kali pun Lidia mencoba untuk menghilangkannya, namun tetap tak bisa. "Kenapa gue bisa terpesona seperti ini?" "Gue mimpi kan?" "Gila aja gue bisa terjerat seorang hantu." "Ya Ampun, sadar Lidia. Lo harus sadar. Teman lo yang ada di bawah, si gila yang ada di bawah itu seorang hantu, dan buang semua rasa aneh lo itu." Lidia kembali mengusap wajahnya kasar. Ia menyibak selimut tebalnya lalu turun dari ranjang. Ia berjalan menuju pintu kamarnya, membukanya sedikit demi sedikit berharap tak akan menimbulkan bunyi. Setelah berhasil, ia keluar dari kamar tersebut dan melangkah perlahan menuju balkon lantai dua di depan kamarnya lalu mengintip ke bawah. Dari atas sana, ia bisa melihat Arya yang sedang berbaring seolah-olah pria itu adalah manusia seutuhnya yang sedang beristirahat. Saat ia asik melihat Arya, Lidia dibuat terkejut karena secara tiba-tiba Arya menengadah ke atas menatapnya. Lidia yang kaget, langsung berlari kembali ke kamar. Ia membanting pintu kamarnya cukup keras membuat Arya yang ada di bawah seketika tertawa geli. "Mau tapi gengsi." gumam Arya lalu tertawa pelan. Arya kembali melihat ke atas. Jika Lidia bisa mengintipnya, itu artinya Lidia belum tidur. Ia langsung duduk dari berbaringnya dan berlari menuju lantai atas lalu berhenti di depan pintu kamar Lidia. Tanpa permisi, pria itu langsung menerobos masuk namun ia dibuat terkejut karena ternyata saat itu Lidia sedang mengganti pakaian. "Woooww. Sungguh tak ada menarik-menariknya." gumam Arya membuat Lidia spontan melirik ke belakang. Detik berikutnya, suara teriakan super keras langsung keluar dari mulut Lidia. Gadis itu buru-buru mengenakan pakaiannya dan bersiap untuk menyumpah-serapahi Arya. "Lo! Lo hantu m***m. Nggak punya otak ya lo! Tahu tata krama nggak?" teriak Lidia geram. Arya bukannya melawan, pria itu justru kembali memperhatikan tubuh Lidia yang kali ini sudah terbungkus baju. "Lo! Lo lihat apaan?" bentaknya sambil meletakkan tangan menyilang menutupi dadanya. "Ckckckck. Sepertinya lo memang harus berkencan sama gue!!" *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN