Pelangi itu akan tiba.
*****
"Gimana Mbak?" Suci mendekati Dian. mata wanita itu terlihat sembab dan bengkak karena menangis. menangisi suaminya yang baru saja meninggal dan sekarang sedang dilakukan pengurusan jenazah untuk dibawa ke Indonesia.
beruntung ia dan suaminya sedang tak ada dinas keluar kota atau sedang ada pekerjaan penting. karena biasanya mereka akan mematikan ponsel mereka jika sedang bekerja.
"Mas kamu sedang mengurus kepulangan Adam. jadi kita tunggu saja di sini. kamu sudah kabari keluarga di Indonesia kan?"
Suci mengangguk. ia mengelus perutnya yang sudah besar dan sebentar lagi ia akan melahirkan. namun bagaimana nasibnya nanti? suaminya meninggal dan ia tak punya siapa-siapa lagi. beruntung keluarga Mas Adam sangat baik padanya, jadi mereka juga menyayangi dirinya seperti mereka menyayangi Mas Adam.
Dian menatap pilu Suci yang sedang mengusap perut besarnya sambil terisak. ia memeluk kembali Suci dan mencoba menenangkan wanita tersebut.
"semua akan baik-baik saja. kamu jangan khawatir. Mas sama Mbak akan ikut bantuin kamu. bantuin sampai kamu lahiran dan bantuin jagain bayi kamu. mbak juga yakin Lidia juga pasti akan antusias bantu kamu. karena memang dia juga sayang sama kalian."
"Makasih banyak Mbak. aku nggak tahu harus apa kalau nggak ada Mbak dan Mas Tito. aku juga takut sebenarnya mbak."
"takut kenapa?"
"Kecelakaan itu terjadi karena kelalaian Mas Adam. aku takut jika nanti para keluarga korban yang terkena dampak dari kecelakaan itu akan nuntut ke aku. gimana nantinya aku ngadepin mereka." Suci kembali tertunduk lesu.
"Sssst. kamu jangan mikir yang aneh-aneh dulu. semuanya belum terjadi kan? dan kita semua juga berharap itu tak terjadi."
"Semoga saja Mbak."
Dian mengusap lengan Suci. dalam hatinya ia berdoa jika tak ada masalah lainnya untuk masa yang akan datang. karena kasihan juga Suci dan anak yang nanti akan lahir.
"Kamu pasti kuat." ucap Dian kembali untuk memberi kekuatan untuk Suci.
"Insyaallah Mbak. Insyaallah."
*****
Lidia keluar dari kamarnya. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan ia masih belum bisa tidur.
Kejadian hari ini berhasil membuatnya gila. Dan dalang kerusuhannya adalah si hantu gila yang ada di bawah saat ini.
Arya.
Apa-apaan pria itu?
Seenaknya saja melakukan hal yang diluar nalar. Masuk kamar seorang gadis dengan tak ada rasa bersalahnya ,lalu dengan seenak hati menghina fisik yang gadis itu miliki.
What? Tak ada menarik-menariknya?
Kalau ia buugil juga bakalan banyak yang tertarik.
Lidia menyentuh perutnya yang sedari tadi berbunyi, berteriak mengatakan jika cacing-cacing yang ada di dalamnya ini sedang lapar.
Namun jika ia keluar, sudah pasti Arya akan menggodanya lagi.
"Sabar ya cacing. Kita pasti akan makan." gumam Lidia yang terdengar lucu.
Namun sepertinya kesabaran itu sudah tak ada. Pasalnya Lidia semakin merasakan lapar. Ia memang belum makan dari siang dan ia pikir tubuhnya akan bertahan sampai besok pagi, namun ia salah penilaian.
Lidia yang tadi berbaring di atas ranjangnya, memilih untuk keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur. Saat ia hendak menuruni tangga, ia mengintip terlebih dahulu ke arah ruang TV, dan tak ada siapa-siapa di sana.
Lidia mengerutkan dahinya. Heran melihat ruangan tersebut kosong, padahal sebelumnya ia bisa memastikan jika Arya sedang duduk di sana.
Namun detik berikutnya, ia merasa semasa bodoh dengan Arya. Perutnya jauh lebih penting.
Lagian bagus kalau Arya tak ada. Jadi tak ada mulut lemes yang menertawakannya.
Dengan santai Lidia melangkah menuruni satu persatu anak tangga dan saat kakinya menginjak tangga terakhir, ia dibuat terkejut saat ia melihat sosok seorang pria berdiri menghadal foto keluarganya dan membelakangi dirinya.
Ia yakin jika orang itu adalah Arya. Semuanya terlihat dari pakaian yang Arya kenakan. Karena pakaian Arya tak pernah berganti sejak mereka bertemu di perkemahan.
"Apa yang lo lihat?" tanya Lidia sedikit meninggikan volume suaranya.
Arya memutar tubuhnya ke belakang. Ia melirik ke arah jam yang berdiri tegak di sudut ruang TV.
Sudah jam dua belas lewat. Ia kembali menatap Lidia, "Lo sebangsa kalong?"
"Ha?"
"Jam segini masih bangun." lanjut Arya.
Haaahh ,mulai lagi meledeknya.
"Terserah gue."
"Oke siiip." Arya memilih diam.
"Ngapain lo lihatin foto keluarga gue?"
"Kenapa emang? Nggak boleh?"
"Ya nggak lah! Ngapain juga lo lihatin."
Arya berjalan melangkah mendekati Lidia. Ia lalu berhenti tepat jaraknya tinggal sekitar dua sampai tiga jengkal dari Lidia.
"Gue cuma mau perhatiin apa ada gadis buluk di sana."
What?
Gadis buluk?
Lidia seketika mengumpat kasar. Ia mengekuarkan kata paling kasar yang pernah ia tahu untuk Arya.
Namun Arya sama sekali tak marah dengan u*****n tersebut, seolah ia sudah terbiasa dengan mulut kasar Lidia.
"Terus? Lo nemuin gadis buluk itu?"
Arya mengangguk, "Nemu. Justru kalau di sana makin kelihatan buluknya."
"Sialan lo! Sialan! Pria sialan! Nggak punya hati! Dasar b******k!"
Lidia memutar arah dan berjalan meninggalkan Arya yang masih sibuk mengejeknya buluk.
"Mau ke mana lo?"
"Masak! Dari pada gue berhadapan terus sama cowok sialan macam lo!" teriak Lidia kedal.
"Eh? Lo bisa masak?"
"Enak nggak nih?"
"Kok gue ragu ya!"
"Pernah masak nggak sebelumnya?"
"Masak air pasti hangus kan?"
Arya berceloteh tanpa henti membuat Lidia geram tak terkira.
Gadis itu membuka pintu lemari pendingin dengan sedikit kasar. Ia mengeluatkan sebutir telur, bawang-bawangan dan cabe giling.
Ia lalu berjalan menuju kompor dan meraih teflon yang ada di lemari di atas kepalanya.
Ia lalu meletakkan teflon tersebut ke atas tungku kompor dan mulai menyalakan api.
Ia tak peduli dengan celotehan Arya. ia lapar dan ia butuh makan. Terserah soalan Arya ,ia sama sekali tak mau mendengarkannya lagi.
Selagi teflon panas, ia mencincang daun bawang dengan cepat, dilanjutkan dengan bawang merah dan sedikit bawang putih. Ia lalu memanaskan minyak sebagaimana orang menumis pada umumnya.
Setelah dipastikan panas ,ia pun memasukkan semua bawang yang tadi ia iris dan dilanjutkan dengan memasukkan dua sendok cabe giling.
Ia sangat menyukai pedas. Nasi goreng merah ia sangat suka. Tak lupa Lifia juga memasukkan telur ke dalamnya dan membuatnya seperti telur orak-arik.
Setelah dirasa matang, Lidia langsung mematikan api kompor. Ia mengambil nasi secukupnya dan menuangkan ke dalam teflon yang sudah berisi bawang serta telur yang sudah digoreng lalu mengaduknya rata. Tak lupa juga ia menambahkan kecap.
Lidia melakukannya dengan santai dan telaten. Bahkan Arya juga membungkap celotehannya karena melihat Aksi Lidia yang baginya cukup mahir. Bahkan sebenarnya tak semua orang bisa memasak nasi goreng. Kalaupun bisa, rasa dengan aroma senikmat nasi goreng yang Lidia buat sekarang ini akan jarang orang bisa membuatnya.
Tak lama setelahnya ,masakan itupun selesai disajikan ke atas piring. Ia juga mengambil kerupuk yang ada di dalam toples di atas meja pantri dapurnya.
"Selesai!" ucapnya bangga.
Suara tepukan terdengar dari belakang. Ia melirik Arya yang sedang bertepuk tangan dan tatapan pria itu terlihat takjub padanya.
"Waaw. Ternyata lo bisa masak." ucap Arya yang masih terlihat takjub.
Sebenarnya reaksi Arya cukup lebay ,tapi itu bagi orang-orang yang menanggapi begitu. Tapi tidak baginya. Ini menakjubkan. Pasalnya Arya tak pernah melihat Lidia rapi layaknya seorang yang jago masak. Arya selalu melihat gadis itu berpakaian urakan bahkan sekarang masih mengenakan pakaian yang ia hebohkan tadi.
Arya mengikuti Lidia yang kembali berjalan menuju lemari pendingin sembari membawa sepiring nasi goreng yang tadi gadis itu buat.
Dari dalam lemari pendingin, Lidia mengeluarkan sekaleng minuman bersoda dengan rasa strawberry. Lidia lalu berjalan menuju ruang TV. Ia duduk di sofa dengan santai, meraih remot dan menyalakan TV datar yang cukup besar tersebut.
Entah kenapa, Arya dibuat terpesona dengan aksi Lidia barusan.
Lebay bukan? Aneh bukan? Begitulah yang Arya rasakan. Ia menatap Lidia dengan tatapan dalam. Padahal saat itu Lidia sedang duduk sambil makan.
"Lo memang punya keahlian memasak?" tanya Arya. Pria itu memilih duduk di sebelah Lidia.
"Nggak." jawab Lidia singkat.
"Tapi kok lo mahir?"
"Bawaan lahir."
"g****k!"
Lidia tersedak saat telinganya mendengar dengan jelas kata "g****k" dari mulut Arya.
"Lo bilang apa?"
"Gue bilang lo g****k! Bawaan lahir lo bilang. Trus lo pikir anak bayi bisa masak, gitu?" kesal Arya. Pria itu langsung mendadak ilfil dengan Lidia.
Seenaknya gadis di sampingnya ini menjawab bawaan lahir.
"Lah! Lo kan nanya. Gue jawab kenapa lo marah?"
"Tapi jawaban lo itu jawaban nggak mutu."
"Trus jawaban mutu yang lo minta itu apaan? Oh, lo mau gue jawab kalau gue belajar dari sekolah chef? Atau lo mau gue jawab kalau gue pentolan master chef?"
Arya mencelos mendengar jawaban Lidia. Segadis apapun Lidia, sepertinya akan sulit melihatnya anggun.
"Lo, mungkin nggak bakalan ada cowok yang mau sama lo!"
Lidia seketika berdecak, "Lo yakin?"
"Seluas lautan dan langit biru gue yakin."
Lidia meletakkan piringnya lalu mengarahkan duduknya menghadap Arya, "beberapa jam yang lalu, ada seorang pria yang ngajakin gue kencan. Kayaknya tu pria g****k juga deh."
Glek!
Arya terdiam. Ia tahu, Lidia sedang membicarakannya.
"Kayaknya tu pria buta. Mau ngajakin gue kencan."
Arya kehabisan kata-kata. Ia mencoba mencari cara ,jawaban apa yang bisa ia berikan pada Lidia.
"Atau tu cowok rada-rada kali ya. Masa mau ngajakin gue kencan."
"Sebenarnya gue ngajakin lo kencan tadi, itu bukan karena gue suka sama lo! Tapi karena gue mau--"
"Cowok g****k!"
"Lo!"
"Nggak usah kasih alasan. Ujung-ujungnya lo nanti yang malu. Oke! Jadi gue minta lo tenang! Gue mau nikmatin makan gue dulu." Lidia kembali meraih piring yang tadi ia letakkan di atas meja lalu melanjutkan makannya lagi.
*****
"Bagaimana? Apa pelakunya sudah ditemukan?" tanya seorang wanita pada pria berseragam aparat.
"Anggota kami sudah mencarinya, namun belum bisa kami temukan. Tapi ibuk tenang saja, kami akan berusaha semaksimal mungkin."
"Kalian harus menemukannya. Saya tak tenang jika pelaku yang membuat anak saya seperti ini bisa tenang begitu saja."
"Baik buk. Kami akan semakin bekerja keras lagi."
Pria berseragam aparat tersebut keluar dari ruang rawat dan meninggalkan wanita yang kini lirih melihat tubuh anaknya yang terbaring kaku.
"Kapan kamu akan sadar nak. Nggak rindu sama mama? Mama rindu sama kamu. Keceriaan kamu. Mama janji ,mama akan cari orang yang sudah melakukan ini sama kamu."
*****