Reina kembali melamun memikirkan apakah ia harus menerimanya atau tidak. Bukankah itu sebuah pekerjaan dan tidak akan merusak harga dirinya. Jadi, untuk apa berpikir terlalu lama sedangkan dirinya benar-benar membutuhkan pekerjaan itu.
"Iya deh, gue mau. Tapi, di sini bener ada lowongan pekerjaan 'kan?"
Reina menerimanya, tapi masih berusaha untuk memastikannya. Ia takut lowongan kerja itu hanya akal-akalan Jennifer saja. Karena ia tidak ingin Jennifer melakukan hal itu karena merasa kasihan padanya.
"Iya, ada. Kalo ngga, gue telpon nyokap gue dulu deh buat mastiin di sini masih butuh karyawan apa ngga," balas Jennifer melihat keraguan di mata Reina.
"Oke," kata Reina. Setidaknya ia harus memastikannya agar tidak menyesal di kemudian hari.
"Bunda lagi di mana? Bunda lagi di cafe atau di rumah?"
"Iya, Sayang. Bunda lagi di cafe dan sebentar lagi bunda mau pulang. Takut ketahuan Ayah kalo bunda lama-lama di cafe."
"Oke. Sebelum pulang, ada yang pengen Jeje tanyakan. Jeje tunggu di kursi pojok di cafe ya, Bun?"
"Loh, Kakak lagi di sini, Sayang?"
"Iya, Bun. Belom lama Jeje sampe. Tadi pulang ngampus Jeje langsung ke sini."
"Ya udah, Kakak tunggu di bawah. Sebentar lagi bunda turun."
"Udah selesai. Ntar biar lo tanya aja sendiri sama nyokap gue kalo lo ngga percaya," tukas Jennifer.
"Gu-gue ... Sorry ya, Je. Gue ngga bermaksud buat ngga percaya sama lo. Gue cuman ngga mau lo ngelakuin ini karena kasihan sama gue," balas Reina tidak enak.
"Ngga papa, gue tau kok," kata Jennifer menepuk punggung tangan Reina.
Tidak lama kemudian, Jennifer melambaikan tangannya membuat Reina menoleh ke belakang. Gadis itu terbelalak tidak percaya melihat kemiripan Jennifer dengan wanita yang berjalan ke arahnya. Ia bahkan terlihat seperti orang yang kebingungan. Bolak-balik menatap Jennifer dengan wanita itu bergantian.
"Kakak sama temen ke sininya?" tanya Flora pada putrinya.
"Iya, Bun. Duduk dulu, Bun. Ada yang mau Jeje tanyain sama Bunda," jawab Jennifer yang kemudian dibalas senyuman oleh ibunya.
Jennifer menarik kursi di sebelahnya dan ibunya pun lekas duduk.
"Makasih, Sayang," kata Flora.
"Sama-sama, Bun. Oh, iya. Kenalin Bun, ini Reina temen Jeje," balas Jennifer memperkenalkan Reina pada ibunya.
"Reina, Tante," ucap Reina mengulurkan tangannya dan dibalas uluran tangan Flora. Kemudian, Reina mengecup punggung tangan wanita paruh baya itu.
Meskipun usianya sudah menginjak ke lima puluh tahun. Namun, wanita paruh baya itu masih sangat terlihat cantik dan awet muda.
"Jangan panggil tante, panggil aja bunda," tolak Flora pada panggilan yang disematkan oleh Reina.
"I-iya, Bunda," kata Reina terbata. Baru pertama kali memiliki teman dan sekarang sudah mengenal ibu dari temannya.
"Gimana temenan sama Jeje? Ini pertama kalinya Jeje punya temen deket loh?" tanya Flora.
Selama ini, Flora tidak pernah melihat putrinya membawa temannya sekedar ke cafe atau ke rumahnya. Gadis itu hanya berteman biasa saja dengan teman-temannya yang lain. Tentunya karena tidak ingin dipusingkan dengan rengekan mereka yang meminta di jodohkan dengan Jonathan. Namun, tidak dengan Reina yang jelas-jelas tidak tertarik sama sekali dengan Jonathan.
"Bunda jangan buka kartu Jeje, dong," protes Jennifer berpura-pura kesal.
"Ih, anak gadis satu-satunya bunda ngambek nih." Flora merangkul bahu putrinya, "Ngomong-ngomong, Kakak mau tanya apa sama bunda?" imbuh Flora.
"Jadi gini, Bun. Kemaren 'kan Bunda sempat bilang ke Jeje kalo sekarang cafe lagi butuh karyawan. Apa sekarang masih butuh?" tanya Jennifer.
"Oh, itu. Masih, Sayang. Itu posternya juga masih ada di sana," sahut Flora menunjuk ke arah selebaran yang ditempel di jendela dekat pintu masuk.
"Jadi, Jeje nanya karena Reina lagi butuh kerjaan, Bun. Apa boleh Reina yang daftar jadi karyawan di sini?" tanya Jennifer.
"Boleh banget dong, Sayang. Apalagi kalo yang daftar orang yang kita kenal. Bunda malah seneng banget," sahut Flora.
"Makasih banyak, Tante," ucap Reina merasa sangat bersyukur. Ia tidak menyangka pertemanannya dengan Jennifer membuatnya mendapat pekerjaan yang selama ini ia cari-cari.
"Sama-sama. Tapi, jangan panggil tante lagi, yah? Kamu ini 'kan temen anak bunda. Jadi, mulai sekarang kamu juga jadi anak bunda," balas Flora meminta Reina agar tidak mengulanginya lagi memanggilnya dengan sebutan tante. Karena mulai sekarang, Flora menganggap Reina sebagai anaknya sendiri.
"I-iya, Bunda. Untuk sebelum dan sesudahnya, Reina mengucapkan banyak terima kasih," kata Reina yang kemudian dibalas senyuman oleh Flora dengan tangan yang mengusap punggung tangan Reina.
"Kalau begitu, bunda pamit pulang dulu. Bunda takut ketahuan Ayah kalo bunda pergi ke cafe," pamit Flora bergegas pulang.
"Emang kenapa kalo ketahuan bokap lo, Je?" tanya Reina penasaran.
Padahal yang ia lihat, wanita paruh baya itu ke cafe untuk bekerja. Lalu, apa yang membuatnya takut suaminya akan tahu. Memangnya ia berselingkuh atau berbuat tidak baik di cafe?
"Bokap gue itu ngga suka liat nyokap kerja. Pokoknya, bokap ngga mau liat nyokap kecapean dikit aja. Semua yang nyokap butuhin udah bokap siapin. Jadi, nyokap suka bosen karena ngga ngelakuin apa-apa. Makanya, nyokap suka kabur ke cafe buat urus kerjaan. Ya, meskipun semua cafe udah ada yang urus," jelas Jennifer.
"Gila. Kayaknya bokap lo bucin banget tuh sama nyokap lo," kata Reina.
"Bukan bucin lagi. Bokap itu udah cinta mati sama nyokap. Kalo kata gue, sih, ya. Bokap itu ketula sama perbuatannya dulu," balas Jennifer.
"Ketula gimana maksud lo?" tanya Reina tidak mengerti.
"Lo baca aja n****+ Enemy and I. Ceritanya sama persis kayak kisah cinta bokap sama nyokap gue," sahut Jennifer enggan menjelaskannya pada Reina. Karena, jika ia menceritakannya. Sampai tahun depan pun tidak akan selesai.
"Kenapa ngga lo ceritain aja langsung sama gue. Bikin gue panasan aja lo, Je," ujar Reina.
"Panjang ceritanya, Rein. Bahkan panjangnya rel kereta pun tidak akan bisa disamakan dengan kisah bokap nyokap gue. Mending lo baca sendiri aja ceritanya di aplikasi n****+ online," balas Jennifer melebih-lebihkan bagaikan majas hiperbola.
"Iya deh iya, ntar gue baca. Tapi ngomong-ngomong, gue lupa nanya kapan boleh mulai kerjanya sama nyokap lo tadi," kata Reina.
Karena terlalu gugup, Reina sampai lupa bertanya kapan ia bisa mulai bekerja. Giliran Flora sudah tidak ada di sana, gadis itu baru mengingatnya.
"Kalo masalah itu lo tenang aja. Nanti di rumah, biar gue tanyain ke Nyokap. Makanya sini kasih gue nomor telpon lo. Jadi, biar gue bisa kabarin lo. 'Kan Sabtu Minggu kita ngga ada kelas. Gimana caranya gue ngabarin lo, kalo gue aja ngga tau apa-apa tentang lo," balas Jennifer.
Nomor telepon dan alamat rumah Reina saja ia tidak tahu. Ditambah dua hari ke depan kuliah mereka libur. Jadi, bagaimana cara Jennifer menghubungi Reina.
"Bener juga, yah. Oke, bentar yah?" Reina mencari ponselnya di tas. Setelah menemukannya, ia mulai menyebutkan satu per satu angka nomor teleponnya.
Jennifer melihat betapa lusuhnya ponsel Reina. Ponsel jadul dengan beberapa retakan di layarnya.
"Oke, nomor lo udah gue simpen."
"Oh iya, Je. Kok lo bisa mirip banget, sih, sama nyokap lo?" tanya Reina melihat kemiripan Jennifer dengan ibunya yang sebelas dua belas. Jennifer dan ibunya bagai pinang dibelah dua.
"Namanya juga anaknya, Rein. Lo belom liat aja gimana muka bokap gue. Bisa-bisa lo pingsan karena Bokap gue mirip banget sama Jo--"