"Oliver. Yah, bokapnya Jennifer mirip banget sama Oliver," potong Jonathan sambil membekap mulut kembarannya.
"Siapa Oliver?" tanya Reina.
"Jonathan! Lo kenapa, sih, hobi banget bekap-bekap mulut gue," protes Jennifer dengan nada membentak.
Padahal, seharusnya gadis itu merasa bersyukur atas apa yang kembarannya lakukan. Dengan begitu, usahanya untuk menyembunyikan identitas mereka tidak akan terbongkar. Dan proses pendekatan Jonathan pun tidak akan gagal di saat ia baru memulainya.
"Shut up!" Jonathan mencubit bibir Jennifer agar tidak berdebat, "Oliver itu adeknya Jennifer," sambung Jonathan menjawab pertanyaan Reina.
"Oh, gitu," kata Reina sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sono lo, jangan duduk samping gue," usir Jennifer ketus.
"Emang kenapa, sih? Gue males duduk di samping Reina. Ntar ujung-ujungnya gue diusir lagi," tanya Jonathan. Daripada ia diusir, lebih baik menjauh lebih dulu.
"Makanya, lo jangan rese. Gue itu paling ngga suka ada orang lain yang nyentuh-nyentuh bibir seksi gue," sungut Jennifer. Sudah tiga kali Jonathan menyentuh mulutnya sejak berteman dengan Reina.
"Makanya, jadi orang itu jangan lemes. Kalo lo mau bohong, ya lo harus bohong sampe akhir. Jangan setengah-setengah kayak gini," bisik Jonathan.
"Iya, gue tau," balas Jennifer berbisik.
Sepertinya mulai sekarang, gadis itu harus belajar berhati-hati agar tidak selalu keceplosan. Untung saja Jonathan selalu memergokinya. Kalau tidak, mungkin Reina tidak akan lagi mau berteman dengan mereka berdua.
"Apa sebelumnya kalian sedekat ini? Tapi, kok kayaknya gue ngga pernah liat," tanya Reina.
"Gimana lo mau liat sedangkan lo ngurung diri terus di kelas. Kalo ngga di kelas pasti di perpus," sanggah Jennifer.
"Iya juga, sih," kata Reina nyengir kuda.
"Kalo Reina sering ke perpus, kenapa gue ngga pernah liat?" timpal Jonathan bertanya. Padahal, perpustakaan merupakan tempat ternyaman bagi Jonathan.
"Gimana lo mau liat, Jo. Reina aja hobi banget menyendiri. Kayaknya dia juga takut deh sama lo. Makanya lo ngga pernah liat, karena dia ngga mau sampe lo liat dia," sergah Jennifer.
"Ngga gitu juga kali, Je. Gue sering kok liat Jonathan di perpus. Cuman karena dia itu menyilaukan mata. Jadi, gue lebih milih jauh-jauh dari dia," elak Reina.
Di manapun Jonathan berada, pemuda itu selalu di kelilingi banyak gadis. Jadi, Reina lebih memilih menjauh dari area itu. Karena tidak ingin berurusan dengan mereka. Ia sudah terlalu sibuk mengurusi kehidupannya sendiri dan tidak memiliki waktu untuk hal-hal lain.
"Emang lo kira Jonathan matahari sampe bisa menyilaukan mata lo?" timpal Jennifer.
Pertanyaan Jennifer mampu membuat seorang Reina gelagapan dan salah tingkah. Apa jangan-jangan gadis itu sebenarnya sama seperti gadis-gadis lain yang menyukai Jonathan? Atau hanya sekedar mengaguminya saja? Beruntung Jonathan langsung menyela, jadi Reina bisa menghindari pertanyaan Jennifer.
"Pokoknya gue ngga mau tau. Mulai sekarang, lo ngga boleh menghindar setiap ketemu gue," putus Jonathan.
Pantas saja ia tidak pernah melihat Reina meskipun satu universitas dan satu jurusan. Ya, meskipun mereka berbeda kelas. Dan, baru-baru ini ia bertemu dengan Reina. Ternyata gadis itu memang sengaja menghindar.
"Iya, iya, ngga. Asalkan ada Jennifer juga, gue ngga masalah. Lo tau 'kan kalo gue ngga suka disalahpahami?" balas Reina karena memang ia tidak akan bisa menghindar lagi. Semakin menghindar, maka semakin gencar pula Jonathan mendekatinya.
"Iya gue tau." Sejak kejadian A memarahi Reina, Jonatan sudah tahu alasan gadis itu selalu menghindar, "Jadi, mulai sekarang lo bakal jadi orang ketiga di antara gue dan Reina," tambah Jonathan pada kembarannya.
"Sialan lo," umpat Jennifer.
"By the way, kalian udah makan siang belom?" tanya Jonathan karena sekarang sudah lewat dari jam makan siang.
"Udah dari tadi. Lo kalo mau makan, pesen aja sono," balas Jennifer.
"Ngga ah, gue belom laper. Sebenarnya, gue nyusulin kalian berdua ke sini itu karena gue masih ada urusan sama Reina yang belom kelar," kata Jonathan.
Pagi tadi, pembahasan masalah ponsel lamanya belum terselesaikan dan Reina pun meminta Jonathan untuk menemuinya setelah selesai jam kuliah. Tapi, gadis itu justru tidak menunggu Jonathan di jam terakhirnya.
"Urusan apaan emang?" tanya Reina. Ia merasa tidak memiliki urusan apa-apa dengan Jonathan.
"Masalah HP lama gue. Lo lupa apa pura-pura lupa? Tadi pagi 'kan lo nyuruh gue buat nemuin lo pas pulang. Tapi, lo-nya ngga ada dan tau tau ada di sini," sahut Jonathan menjelaskan.
"Oh iya, gue lupa. Tapi, HP lo dibawa 'kan?" tanya Reina.
"Iya, ini gue bawa. Trus, mau gimana?" Tidak tahu apa rencana yang telah Reina buat membuat Jonathan menurut saja.
"Lo ikut gue aja, ntar juga ngerti." Reina tidak berniat menjelaskan rencananya pada Jonathan, "Gue sama Jonathan jalan dulu, ya? Thanks buat kerjaan sama makan siangnya. Sama satu lagi, jangan lupa kabarin gue kapan bisa mulai kerja di sini," imbuh Reina berbicara panjang lebar pada Jennifer.
"Iya, lo tenang aja. Pokoknya semuanya beres sama Jennifer," balas Jennifer menepuk dadanya.
"Oke, gue pergi dulu," pamit Reina.
"Ayo, Jo!" ajak Reina sambil menarik tangan Jonathan.
"Sebenarnya kita mau ke mana, sih?" tanya Jonathan penasaran.
"Udah, lo tinggal ikut aja kenapa bawel banget, sih," balas Reina kesal.
Bagaimana bisa Jonathan main ikut saja sementara pemuda itu yang akan menyetir motor. Setidaknya, ia harus tahu ke mana tujuan mereka akan pergi.
"Oke, gue turutin apa kata lo." Jonathan ingin tahu bagaimana reaksi Reina selanjutnya, "Nih," imbuh Jonathan sambil menyodorkan kunci motornya.
"Kenapa kunci motor lo kasih ke gue? Emang lo pikir gue bisa apa naik motor kaya gini," tanya Reina tidak percaya.
"Kan tadi kata lo, gue suruh ikutin lo aja. Ya udah, ini sekalian lo yang nyetir. Gue ngga bisa jalanin motor kalo gue sendiri ngga tau tujuan ke mana gue mau pergi. Jadi, karena lo yang tau, lebih baik lo yang nyetir." Jonathan kembali menyodorkan kunci motornya. Ia kekeh tidak akan menjalankan motornya jika Reina tidak memberitahu ke mana mereka akan pergi.
"Ngambek ni ceritanya. Ya udah gue kasih tau tujuannya. Jadi, gue mau ajak lo ke konter buat jual hp lo," ujar Reina menjelaskan.
Berhubung Jonathan merajuk, jadi mau tidak mau Reina mengalah. Daripada ia disuruh mengendarai motor yang sudah jelas-jelas tidak bisa. Lebih baik ia mengalah saja.
"Ngga kok biasa aja. Tapi, kenapa harus dijual, Rein. Kenapa ngga buat lo aja? Jadi, 'kan gue bisa hubungin lo kapan aja dan di mana aja kalo gue mau," tanya Jonathan tidak habis pikir dengan pemikiran gadis itu.