"Gue ngga butuh, Jo. Daripada ngga dipake 'kan sayang-sayang. Makanya, gue punya ide buat jual hp lo dan uangnya kita pake buat beli makanan anak-anak jalanan. Gimana? Ide bagus 'kan?"
Niat hati beli ponsel baru agar ponsel lamanya bisa diberikan pada Reina. Namun, gadis itu justru menolak dan menyarankannya untuk dijual. Tapi, hati Jonathan tersentuh mendengar niat baik Reina. Ia tidak menyangka ternyata hati Reina begitu tulus.
"Bukan ide bagus lagi ini mah, tapi ide cemerlang. Udah yuk, kita jalan sekarang biar ngga kesorean," balas Jonathan memuji ide yang Reina cetuskan. Kemudian, ia meminta Reina agar bergegas karena waktu tidak bisa menunggunya.
"Oke, yuk."
Jonathan dan Reina pergi ke konter untuk menjual ponsel lama Jonathan. Mereka berdua sempat beberapa kali masuk ke dalam konter. Namun, mereka masih belum berhasil menjual ponselnya.
"Emang harga hp lo berapa, sih? Kenapa mereka pada nolak semua? Dan, jawabannya pun sama karena hp lo terlalu mahal," tanya Reina heran.
"Gue juga ngga tau ini hp harganya berapa. Selama ini gue cuman make doang," balas Jonathan mengedikkan bahunya.
"Loh, hp sendiri kok ngga tau harganya. Aneh banget, sih, lo," ujar Reina tidak habis pikir.
"Lah, emang gue ngga tau harganya mau gimana. Ini hp, bokap gue yang beliin. Makanya gue ngga tau harganya berapa," balas Jonathan.
Selama Jonathan kembali tinggal bersama sang ayah. Zavier selalu memberikan segalanya tanpa perlu diminta. Ya, meskipun Flora selalu memarahinya. Namun, karena Zavier memaksa dengan berkata bahwa ia bekerja siang malam untuk istri dan anak-anaknya. Jadi, Flora tidak bisa berbuat apa-apa.
"Tapi kalo gue liat, sih, ya. Dari yang gue tau merek hp lo ini emang mahal. Apalagi kalo yang beli orang kaya model lo. Pasti harganya di atas tiga puluh juta ke atas," kata Reina melihat gambar apel dengan bekas gigitan di belakang ponsel Jonathan.
"Sok tau lo," timpal Jonathan.
"Gue serius, Jo. Jadi, ini mau jual di mana? Kalo ngga lo, simpen aja deh. Daripada kita udah capek-capek nyari konter, tapi malah ngga ada yang mau beli. Lagian hp lo masih bagus gini. Kan sayang-sayang kalo harus dijual," kata Reina menyerah. Ia menilai kondisi fisik ponsel itu masih terlihat sangat mulus.
"Ya udah, makanya 'kan gue bilang buat lo aja. Tapi, lo-nya malah ngga mau."
"Gue bilang gue ngga butuh. Lagian juga, orang kayak gue itu ngga pantes pake hp mahal kayak gitu. Yang ada ntar gue malah dikira maling lagi sama orang-orang," tolak Reina.
Harga pakaian yang biasa ia pakai saja harganya tidak sampai lima puluh ribu. Sepatu dan tas yang ia pakai pun hasil beli dari berburu gratis ongkir di online shop. Jika ia menggunakan ponsel harga puluhan juta rupiah. Bisa-bisa ia dianggap sebagai seorang pencuri.
"Alesan aja. Bilang aja lo ngga mau, jadi 'kan kelar," sungut Jonathan. Sudah berapa kali Reina menolak dan sekarang banyak sekali alasannya.
"Ya udah, nih." Reina menyodorkan kembali ponsel Jonathan.
"Ya udah, yuk. Kita lanjut ke rencana selanjutnya," ajak Jonathan.
"Rencana apaan? Perasaan kita ngga ada rencana apa-apa," tanya Reina.
"Rencana buat bagi-bagi makanan ke anak jalanan. Lo lupa?" balas Jonathan mengingatkan.
"Tapi 'kan hp lo ngga jadi dijual," kata Reina.
"Emang kenapa? Lo kira gue ngga sanggup gitu beliin makanan buat mereka?"
"Bukan gitu, Jo. Mana mungkin orang kaya kayak lo ini ngga sanggup beli makanan yang ngga seberapa harganya," sahut Reina.
Tentu saja karena kekayaan kedua orang tua Jonathan tidak akan habis bahkan sampai tujuh turunan pun.
"Bisa aja 'kan, Rein. Meskipun bokap nyokap gue kaya. Tapi dari kecil, nyokap gue udah ngajarin anak-anaknya buat ngga hambur-hamburin uang. Gue sama adek gue biasa beli barang atas jerih paya kita sendiri. Kecuali, setelah bokap tinggal bareng sama kita. Apapun, bokap bakal kasih buat istri dan anak-anaknya tanpa kami minta," jelas Jonathan.
Lima tahun lahir ke dunia, Jonathan dan Jennifer hanya tinggal bersama ibunya. Setelah itu dan sampai sekarang, barulah tinggal bersama ayahnya juga. Demi menebus kesalahannya, ayah Jonathan memberikan segalanya selama ia mampu.
"Oh, gitu. Emang bokap lo tadinya ke mana?" tanya Reina penasaran.
"Untuk masalah itu, sorry karena gue ngga bisa ceritain ke lo," balas Jonathan enggan menceritakan kisah masa lalu keluarganya yang pahit.
"It's okay, ngga masalah, Jo. Sorry karena gue udah terlalu penasaran pengen tau masalah pribadi keluarga lo," ujar Reina. Ia merasa tidak seharusnya terlalu ingin tahu masalah keluarga Jonathan.
"Ngga papa, udah jalan yuk. Kita mampir ke ATM bentar, yah? Soalnya gue ngga ada uang cash," ajak Jonathan.
Jonathan dan Reina pergi ke ATM sebentar. Lalu, mereka langsung pergi ke supermarket untuk membeli banyak makanan. Setelah itu, Reina menunjukkan jalan menuju tempat di mana anak jalanan biasa berkumpul.
"Kok lo bisa tau, sih, tempat anak jalanan ngumpul?" tanya Jonathan. Ini pertama kalinya bagi seorang Jonathan pergi ke tempat kumuh seperti itu.
"Ya, tau aja," balas Reina.
"Pasti lo sering ke sini, bener ngga tebakan gue?" tebak Jonathan.
"Ya, ngga sering juga. Kalo lagi senggang aja gue ke sini," sahut Reina.
Meskipun hidupnya serba kekurangan, tapi Reina tidak pernah lupa untuk berbagi. Setiap akhir bulan di saat gajinya turun. Ia akan membelikan makanan untuk mereka, para anak jalanan.
"Gue ngga nyangka banget ternyata masih ada orang kayak lo di dunia yang kejam ini," puji Jonathan. Sekali lagi, ia dibuat kagum dengan kebaikan hati Reina.
"Ngga usah berlebihan gitu, Jo," protes Reina.
"Oh iya, Rein. Tadi pas di cafe, gue sempet denger kalo lo mau kerja di cafe nyokapnya Jennifer. Emang lo butuh kerjaan buat apa?" tanya Jonathan penasaran.
"Buat apa? Lo itu orang kaya jadi ngga tau rasanya jadi gue." Reina tidak habis pikir dengan pertanyaan Jonathan.
"Bukan itu maksud gue, Rein," kata Jonathan salah tingkah. Ia merasa sudah melempar pertanyaan yang salah.
"Iya gue tau." Reina mengerti maksud pertanyaan Jonathan, "Meskipun gue kuliah pake program beasiswa. Tapi, gue tetep butuh uang buat bantu nyokap gue menuhin kebutuhan sehari-hari. Gue ngga tega liat nyokap gue kerja sendirian banting tulang. Jadi, selagi gue bisa dan selagi mampu gue bakal kerja sambil kuliah," imbuh Reina.
Ibu Reina bekerja sebagai kuli cuci gosok keliling sejak Reina kecil. Setiap hari, kerjaannya hanya bergumul dengan cucian kotor karena memang di situlah tempatnya mengais rezeki. Karena tidak tega, Reina selalu membantu pekerjaan itu. Dan, sudah mulai bekerja paruh waktu sejak duduk di bangku sekolah menengah atas.
"Emang bokap lo ke mana?" tanya Jonathan penasaran.
"Bokap gue udah meninggal sejak gue masih kecil, Jo," jawab Reina dengan suara yang sedikit bergetar.
"Sorry, Rein. Gue ngga bermaksud buat--"
"Ngga usah lebay, gue ngga papa kok," potong Reina datar.
Tiba-tiba, ponsel Jonathan bergetar dan pemuda itu langsung memencet tombol jawab sebelum akhirnya berpamitan.
"Bentar Rein, gue ada telpon masuk."
"Pergi jauh-jauh dari gadis miskin itu sekarang atau lo mau gue berbuat nekat sama dia?" Terdengar sebuah ancaman dengan suara yang cukup keras dari balik panggilan.