Hari ini, adalah hari kebahagiaan Ica. Dia sudah berhasil menyelesaikan program Masternya, dan tentunya sebentar lagi dia akan pulang ke Indonesia, seperti janjinya pada Satria. Ica tahu, Satria butuh dirinnya, karena sudah lama LDR selama kurang lebih dua tahun.
Berbeda dengan Devan. Dia masih ingin berada di Jepang, menuntaskan pekerjaannya, dan dia juga sedang sedikit demi sedikit belajar dengan Aiko. Dev rela melepaskan Ica pulang ke Indonesia. Dia sudah janji dengan dirinya sendiri untuk tidak lagi mengganggu Ica yang sudah punya ikatan dengan Satria.
“Selamat ya, Ca?”
“Selamat juga, Dev. Aku bangga sama kamu, kamu bisa tepat menyelesaikannya bareng sama aku. Aku kira akan molor tahun depan,” ucap Ica.
“Enggak dong, Ca? Kelamaan nanti. Kamu jadi balik ke Indonesia?” tanya Devan.
“Ehm ... mungkin minggu depan. Aku juga kan perlu waktu buat persiapan pulang, Dev?” jawab Ica. “Kamu serius masih mau di sini?” tanya Ica.
“Biar dia di sini, Ca! Daripada pulang, enggak mau pegang perusahaan yang Om kasih sama dia,” ucap papanya pada Ica.
“Pa ... malu ya punya anak seperti Dev?” Ucap Dev dengan wajah yang merengut di depan papanya.
“Papa bangga sekali punya anak seperti kamu, Dev. Papa saja yang terlalu memaksakan kamu, dan tidak melihat sisi yang lain dari kamu. Kalau kamu mau meneruskan belajar dengan Aiko soal bisnis kuliner, papa setuju. Nanti kan papa tingga bilang sama Paman Oki, biar nanti bisa kerja sama dengan papa untuk bisnis kulinernya,” ucap Andre, papanya Dev.
“Papa memang dekat sama papinya Aiko?” tanya Dev.
“Enggak terlalu sih, Dev. Cuma pernah bertemu. Mamamu yang kenal dekat sama Keina, maminya Aiko. Iya kan, Ma?”
“Eh apa, Pa? Aku lagi ngobrol sama Anjani,” jawab Anita. Mamanya Devan.
“Mama kenal sama Keina, kan?” tanya Andre.
“Keina istrinya Oki?”
“Iya, maminya Aiko, Ma?” jawab Dev.
“Kenal, kan dulu mama kuliah di sini. Dan, Keina itu teman mama, tapi lama enggak ketemu. Kamu kan dekat sama Aiko? Pernah lihat mamanya?” tanya Anita pada putranya.
“Maminya Aiko jarang sekali terlihat, Ma. Paling papinya sih. Aiko lebih dekat sama papinya. Dev sering ketemunya sama papinya saja, kalau maminya jarang,” jawab Dev.
“Tuh udah di kasih chanel sama papamu. Kamu yang semangat Dev. Biar seperti Aiko. Jadi pengusaha kuliner yang sukses,” ucap Ica.
“Siap, Ca! Sorry aku gak bisa ikut pulang. Tapi, nanti kalau udah saatnya aku pulang. Aku akan pulang. Jangan lupa berkabar, ya? Kalau mau nikah kabari aku,” ucap Devan.
“Masih lama, Dev!” jawab Ica.
“Jangan menunda, kalau kamu memang sudah siap, dan sudah tepat waktunya, ya harus disegerakan, Ca,” ujar Andre.
“Iya sih, Om. Tapi, enggak mungkin pulang langsung nikah kan, Om? Bagaimana tuh nasib kantor Ica yang sudah dua tahun lebih Ica tinggal?” ucap Ica.
“Om tahu, hati kamu belum siap. Tapi, sudahlah, lupakan hal yang menyakitkan pada dirimu. Dia sudah bahagia, kamu juga harus bahagia, Ca. Pokoknya kamu harus lebih baik lagi. Move on dari semua hal yang menyakiti kamu,” tutur Anita.
“Iya, Tante. Ica udah bisa Move on, meski belum sepenuhnya,” jawab Ica.
“Memang melupakan orang yang sangat kita cintai itu sangat susah, Ca. Tapi, tante yakin kamu pasti bisa kok,” ujar Anita.
“Tuh dengar kata mamaku! Kamu masih aja ingat orang yang nyakitin kamu, Ca!” tukas Devan.
“Iya, Dev. Aku udah lupa kok! Kamu juga harus bahagai, Dev. Dalam keadaan apa pun kamu harus bahagia,” ucap Ica.
“Siap!” Devan merangkul Ica.
Rasa bahagia dan rasa sakit bercampur jadi satu pada diri Devan. Bahagia karena dia sudah berhasil membuktikan pada kedua orang tuanya, bisa menyelesaikan S2 tepat waktu. Dia sakit, mengingat dirinya yang tidak cintanya tak pernah dibalas oleh Ica. Tapi, sakit itu sedikit demi sedikit hilang, karena melihat senyum dan tawa Ica yang sangat bahagia. Padahal hati Ica pun sedang remuk, menghadapi dirinya yang akan kembali ke Indonesia, dan besar kemungkinan dia akan bertemu dengan Arkan lagi.
“Ca, kita gabung ke sana yuk? Sama teman-teman,” ajak Dev.
“Pa, Ma. Ica ke sana, ya?” pamit Ica.
“Iya, Sayang,” jawab Anjani.
Ica berjalan di sebelah Devan untuk bergabung dengan teman yang lainnya. Dev merasa lega, Ica akhirnya sedikit demi sedikit sudah bisa melupakan Arkan. Sebenarnya ke Jepang juga pelarian Ica untuk melupakan Arkan. Tapi, namanya masih cinta, mau sejauh apa pun Ica pergi, ya masih tetap saja ada sisa cinta untuk Arkan yang tertinggal.
“Kenapa Kak Satria enggak ke sini, Ca?” tanya Devan.
“Sibuk katanya,” jawab Ica.
“Masa tunangannya wisuda enggak ke sini sih?” protes Devan.
“Ya biarin saja, dia sibuk kan karena urus kantorku, Dev?” ucap Ica.
“Pengin gak Kak Satria ke sini?” tanya Dev.
“Ya pengin banget lah! Masa gak pengin tunangannya datang?” jawab Ica.
“Tuh Kak Satria?” Dev menunjukkan tangannya ke arah Satria yang memang baru saja datang.
Sebenarnya Satria sudah dari semalam berada di Jepang. Dia di rumah Devan, dan bilang dia tidak bisa datang karena sibuk dengan urusan kantor dan lain sebagainya. Padahal dirinya saat bilang seperti itu sudah berada di apartemen Devan, bersama ibunya, dan orang tua Devan juga.
Ica mengurai senyumannya, saat melihat sosok yang ia rindukan selama hampir satu tahun tidak bertemu. Ya, setelah tunangan dengan Satria, Ica tidak bertemu lagi dengan Satria. Jarak dan waktu yang memang menjadi penghambat untuk bertemu. Menabung rindu, itu yang mereka lakukan setiap harinya.
“Selamat ya, Ca? Untuk gelar barunya,” ucap Satria.
“Kenapa sih, gitu? Bohongin aku!” ucap Ica dengan kesal.
“Tuh Dev yang nyuruh aku bohong,” ucap Satria.
“Kenapa aku dibawa-bawa sih, Kak? Kan kakak bilang mau kasih kejutan sama Ica? Ya sudah kakak ke apartemen aku saja, terus nanti bilang gak bisa datang ke sini. Aku Cuma nyaranin saja. Kamu senang kan, Ca?” ucap Devan.
“Kalian berdua itu ih!” Ica memukul lirih d**a Satria. Satria menarik tubuh Ica dan memeluknya.
“Aku kangen sama kamu, Ca,” ucap Satria.
“Sama ....” Ica mengeratkan pelukannya pada Satria.
“Sekali lagi, selamat, ya?”
“Iya, Kakak Sayang ...,” jawab Ica dengan manja.
Devan melihat Ica sangat bahagia dengan kedatangan Satria. Baru kali ini dia melihat Ica dengan senyum yang bukan pura-pura bahagia lagi. Satria berhasil mengembalikan senyuman Ica yang tanpa beban, dan mengembalikan kebahagiaan Ica.
“Selamat ya, Nak?” ucap Leli.
“Iya, Tante.” Ica memeluk calon ibu mertuanya itu.
“Masa panggil tante saja?” protes Leli.
“Iya, ibu ... maaf Ica kadang masih belum terbiasa, Bu,” ucap Ica.
Devan melihat orang tua Satria juga sangat menyayangi Ica. Dev yakin Satria adalah orang yang tepat untuk Ica. Untuk masa depan Ica.
“Devan!” panggil seorang wanita berkulit putih, di seberang sana.
Dia berjalan didamping kedua orang tuanya yang juga ikut menemui Devan. Aiko dan kedua orang tuanya datang menemui Devan untuk memberikan selamat pada Devan.
“Aiko? Kamu di sini?”
“Ya, aku sengaja ke sini. Selamat ya, Dev?”
“Terima kasih, Aiko.”
“Selamat untuk gelar barunya, Dev!” Oki menepuk bahu Devan dengan mengucapkan selamat.
“Selamat, Devan. Semoga semakin sukses, ya?” ucap Keina.
“Iya, Om, Tante. Terima kasih Om dan tantae juga sudah datang,” ucap Devan.
Aiko juga menyapa Ica dan memberikan selamat pada Ica, juga memberikan paper bag kecil untuk Ica.
“Mana papa dan mamamu?” tanya Oki.
“Di sana, Om. Ayo ke sana, Om,” ajak Devan. “Ica, Kak Satria, aku tinggal ke sana dulu, ya?” pamit Devan.
Ica mengangguk. Ica masih melihat Dev yang begitu akrab dengan Aiko. Dev tak henti-hentinya mengajak ngobrol Aiko semabari berjalan menuju ke arah orang tuanya.
“Itu yang namanya Aiko?” tanya Satria.
“Iya, Kak. Dia Aiko,” jawab Ica.
“Hmmm ... cantik, ya?” puji Satria.
“Cantik siapa sama Ica?”
“Ya kamu lah, Sayang?” ucap Satria.
“Jangan cemberut dong. Kamu tetap yang paling sempurna untuk aku,” ucap Satria.
“Sudah kangen-kangenannya nanti lagi, ayo ke mama dan papa kamu, Ca,” ajak Bu Leli.
“Habis Kak Satrianya gitu sih, Bu!” ucap Ica.
Ica menemui kedua orang tuanya yang baru saja mengobrol dengan orang tua Dev dan Aiko. Tapi, sekarang mereka sudah pergi. Entah mau pergi ke mana, dan Dev pun tidak pamit Ica terlebih dahulu. Hanya pamit dengan mama dan papanya Ica.
“Pa, Ma ....” sapa Satria dengan mencium tangan kedua orang tua Ica.
“Akhirnya datang juga. Papa kira kamu nyasar, Sat,” ucap Pak Akbar.
“Enggak lah, Pa. Kan ada sopir yang papa siapkan?” jawab Satria.
“Jadi papa juga sudah tahu Kak Satria mau ke sini?” tanya Ica.
“Iya dong,” jawab Pak Akbar.
“Ih kalian, pasti kong kalikong sama Dev juga, ya?” ucap Ica.
“Iya dong, masa enggak?” jawab Pak Akbar.
“Devan sudah pulang, Pa?” tanya Satria.
“Ya, mereka tadi pamit duluan, karena masih ada urusan. Entah urusan apa papa enggak tahu,” jawab Pak Akbar.
“Oh,” jawab Satria dengan mengerutkan keningnya.
“Mungkin soal masalah semalam yang sedang dibahas papanya Dev ? Soal Aiko, intinya perjodohan mereka,” gumam Satria.
Satria semalam memang mendengarkan papa dan mamanya Dev yang membicarakan soal kedekatan Dev dengan Aiko. Ya meski hanya sebatas teman bisnis, Dev adalah orang kepercayaan Aiko, kedua orang tua Dev dan kedua orang tua Aiko, ingin mereka menjadi lebih dekat. Tapi, Dev menolak adanya perjodohan itu. Satria tahu, Dev masih sangat mencintai Ica. Semalam pun Dev sudah menitipkan Ica pada Satria, dan meminta Satria benar-benar menjaga Ica.
“Titip Ica, dan jangan pernah sedikit pun kamu menyakitinya! Berani menyakitinya kamu akan berurusan dengan aku!”
Ucapan Dev yang seperti itu, masih terngiang di telinga Satria. Mungkin juga akan Satria ingat selalu ucapan Dev itu. Satria tahu, Devan tidak pernah main-main dengan ucapannya. Dia juga dulu seperti itu dengan Arkan, dan setelah Arkan membuat Ica sakit. Dia benar-benar marah besar dengan Arkan, hingga Arkan babak belur ditangannya.
Ica mengerutkan keningnya. Dia sudah merasa Dev berubah sejak dia bertunangan dengan Satria. Bertemu dengan dirinya juga jarang. Ica paham Dev sangat sibuk dengan pekerjaannya, tapi sesibuk-sibuknya Devan, tetap ada waktu luang untuk dirinya. Namun, setelah dia tunangan dengan Satria, Devan semakin menjauh, dan Ica sering melihat Dev selalu bersama Aiko.
“Hanya perasaanku saja mungkin. Mereka dekat kan karena Dev itu orang kepercayaan Aiko. Orang tuanya juga ternyata sangat dekat dengan orang tua Dev? Lagian kalau Dev memang suka sama Aiko, ya aku lega, dia sudah bisa membuka hatinya untuk perempuan lain,” gumam Ica.