Bab 10 - Belajar Memahami

1861 Kata
Waktu semakin cepat berlalu, Devan merasa dirinya sudah harus cepat-cepat pergi dari kenyataan yang sudah jelas di depan mata. Setelah satu bulan yang lalu Ica resmi dilamar Satria, Dev semakin sadar, kalau itu adalah kenyataan yang pahit untuk dirinya. Dua kali dia melihat orang yang sangat dicintainya dilamar oleh laki-laki lain. Pertama, dia harus melihat Arkan melamar Ica, dan hampir menikah dengan Ica. Sekarang, setelah lama dia menemani Ica untuk move on dari Arkan, dia harus kembali menyaksikan Ica dilamar laki-laki lain. Satria, laki-laki yang mungkin tepat untuk Ica, menurut Devan. Devan melihat foto-foto Ica di galery ponselnya. Tidak percaya perempuan yang ia perjuangkan supaya bisa membuka hati untuk dirinya, selamanya mungkin tidak akan bisa. Hanya menganggap dirinya sebagai teman saja. Tidak lebih dari itu. Sebulan lamanya, Dev tidak mau mau mengganggu Ica. Hubungannya dengan Ica semakin meregang. Dia tidak ingin Satria berpikiran macam-macam kalau dia selalu mengantar dan menjemput Ica ke kampus, juga sering di rumah Ica saat mama dan papanya Ica belum pulang dari kantor. Dia tidak ingin dibilang perusak hubungan orang, jika terus berada di dekat Ica. Ica pun merasa Dev semakin menjauh darinya, sering bertemu di kampus pun, Dev hanya sebatas menyapa saja, mengobrol pun sekarang jarang. Ica tahu, Dev seperti itu karena dirinya sudah ada ikatan dengan Satria, dan setelah S2 nya selesai, dia akan kembali lagi ke Indonesia, mengurus kembali perusahaannya yang sejak kepergiaannya ke Jepang menjadi terbengkalai di pegang orang kepercayaannya dengan didampingi Satria. Kesepian, itu yang Ica rasakan, setelah resmi menjadi tunangan Satria, dia semakin merasa kesepian. Tidak ada Dev lagi yang selalu menemani dia setiap hari. Yang selalu merepotkan Dev saat dirinya ingin sesuatu. Sekarang, Ica sendirian, tidak ada Dev yang seperti dulu lagi. Kalau pun ke rumah Ica, Dev hanya menemui papanya Ica, untuk main catur bersama, dan itu pun atas permintaan papanya Ica. Ica melihat Devan baru saja sampai kampus. Dia langsung mendekati Dev, berusaha basa-basi lebih dulu pada Dev. Satu bulan ini, dia baru bertemu Dev seperti ini, biasanya Dev yang tahu ada dirinya, Dev langsung pergi dan menghindar. Kalau pun ke rumah, dia tidak langsung menemuinya, tidak tanya dirinya, hanya dengan orang tua Ica saja. “Kamu baru sampai, Dev?” tanya Ica. “Iya, Ca. Yuk, masuk!” Dev langsung mengajak Ica masuk ke kelas. Tidak seperti biasanya, Dev yang selalu mengajak Ica dengan merangkul atau menggandeng tangannya, sekarang Dev hanya mengajak saja, dan berjalan lebih dulu di depan Ica. “Dev?” panggil Ica. “Iya, Ca. Ada apa?” tanya Dev. “Bisa kita bicara sebentar di sana. Masih ada waktu tiga puluh menit sebelum kuliah dimulai, kan?” ajak Ica. “Oke, kita duduk di sana.” Dev mengajak Ica duduk di bangku yang berada di taman. Ica berjalan di sebelah Dev. Dev benar-benar cuek dengan dirinya. Ica merasa terakhir dekat dengan Dev saat makan malam romantis. Iya, romantis. Itu yang Ica rasakan saat malam itu. “Mau bicara apa? Wajahmu kenapa ditekuk gini sih, Ca? Gak cantik tau!” ucap Dev dengan mencubit pipi Ica. Ica hanya diam, helaan napasnya sedikit terdengar cukup kasar. “Why? Kok cemberut gini, Ca?” Dev mengangkat wajah Ica yang masih terlihat cemberut. “Apa aku harus ngambek dulu, Dev? Supaya kamu gini mau bicara sama aku?” “Eh, kok gitu ngomongnya? Ini kenapa kamu, Ca?” “Satu bulan, Dev? Gak sadar apa kamu selalu menghindari aku? Ini yang namanya teman, Dev? Selalu saja menghindar. Kamu di rumah aku pun, kamu gak ngasih tahu aku, tiba-tiba aku keluar kamar kamu udah mau pamit pulang? Aneh gak sih!” Ica meluapkan kekesalannya pada Dev. “Aku memang udah tunangan sama Kak Satria, tapi bukan berarti kamu menjauh gitu aja dong, Dev!” imbuh Ica. “Ca, aku memang akhir-akhir ini sibuk banget, kuliah, kerja, dan kamu tahu, kan? Aku dipercaya Aiko pegang cabang baru lagi? Aku berusaha tanggung jawab dengan pekerjaanku, kuliahku, dan diriku sendiri, Ca. Maaf, bukan aku menghindari kamu, Ca. Tapi, bukankah seharusnya gitu, Ca? Aku enggak mau ada salah paham dengan Kak Satria, Ca. Waktu kamu belum tunangan aja posesif banget kalau aku ada di rumah kamu? Apalagi sekarang kamu sudah jadi tunangannya? Aku hanya menghindari itu saja, Ca. Aku gak mau kamu bertengkar sama Kak Satria karena aku,” jelas Devan. Ica hanya diam, karena memang itu nyata adanya. Satria agak marah kalau ada Dev di rumahnya. Tidak hanya marah saja, kadang cemburunya Satria sampai membuat Ica kesal menjelaskan keadaan sebenarnya. “Iya sih memang gitu kenyataannya sekarang,” jawab Ica lirih. “Apalagi Kak Satria orangnya cemburuan, Ca. Beda sama Arkan dulu. Waktu kamu sama Arkan, aku masih bebas kan main sama kamu, ke rumah kamu,” ucap Dev. “Iya, Kak Satria memang agak posesif,” jawab Ica. “Kamu sudah yakin, setelah selesai S2 akan langsung ke Indonesia lagi?” tanya Dev. “Iya, sepertinya aku akan langsung pulang ke Indonesia lagi. Mengurus perusahaanku, dan mungkin supaya aku kenal lebih dekat lagi sama Kak Satria,” jawab Ica. “Bagus sih, lagian kamu gak usah lanjut S2 juga udah enak, Ca. Kamu udah punya perusahaan sendiri.” “Seperti kamu tidak, Dev? Papa kamu kan juga butuh kamu untuk meneruskan bisnis papamu, Dev?” “Iya sih, Ca. Tapi, itu bukan passion ku. Ya, aku mencintai pekerjaanku yang sekarang ini. Bisnis kuliner itu menyenangkan, Ca.” “Jadi, kamu mau tetap stay di sini setelah selesai S2?” tanya Ica. “Sepertinya sih gitu, Ca? Tapi, kalau papa mau nurutin aku untuk buka Restoran di Indonesia, aku pulang. Tapi, enggak tahu nanti, Ca. Lagian masih tahun depan kan, Ca? “Iya juga sih? Jangan diemin aku terus dong, Dev? Bingung aku gak ada temannya. Cuma kamu di sini teman aku, Dev?” ucap Ica dengan sedikit manja pada Dev. “Iya, iya ... Sorry ya, Ca? Aku kemarin sibuk banget. Tapi, kan aku juga harus jaga jarak lebih jauh lagi dari kamu, Ca. Kamu tahu perasaanku kan, Ca?” “Sorry ya, Dev. Aku tahu perasaan kamu. Aku yang salah, aku selalu anggap kamu teman. Memang kamu teman terbaikku, Dev. Mungkin aku sudah kebiasaan di sini sama kamu. Rasanya sepi banget gak ada kamu. Rasanya aneh, tiap hari sama kamu, tapi satu bulan ini aku merasa aku ini kek orang asing buat kamu, Dev?” Ucap Ica dengan sedikit menyeka air matanya. Ica benar-benar merasa kehilangan sosok Dev yang selalu menemani dia setiap hari. Sudah biasa dengan Dev, sekarang dia harus apa-apa sendiri. Tidak ada sandaran untuk berkeluh kesah lagi, karena Satria pun tidak bisa seperti Dev, yang selalu ngerti keadaan hatinya. Mungkin dia sangat dekat dengan Dev dari dulu, sedang dengan Satria, dia baru saja kenal, dan akrab pun karena orang tua mereka berteman dari dulu. Meski orang tua Dev dan orang tua dirinya dekat, tapi mereka dekat sudah biasa. Orang tua Dev juga tahu kalau dirinya hanya menganggap Dev sebagai teman, bahkan saudara. Jadi kedua orang tua Dev juga paham akan hal itu. Dev pun tidak mau memaksa orang tuanya untuk mendekatkan dirinya dengan Ica, atau menjodohkannya, seperti ibunya Satria yang selalu ngebet tanya soal Ica mau atau tidak menerima Satria. Kedua orang tua Dev tidak seperti itu. Mereka percaya kalau Ica dan Dev murni berteman, meski Dev sangat mencintai Ica. Kedua orang tua Dev paham dengan perasaan Dev, tapi mereka tidak mau memaksakan Ica yang hanya menganggap Dev teman saja. Terlebih orang tua Dev juga sama dengan orang tua Ica, yang sudah menganggap Dev seperti anaknya sendiri. Kedua orang tua Dev pun sama, sudah menganggap Ica seperti anaknya sendiri. Meski mereka kadang sibuk, tapi selalu menyempatkan menanyakan kabar Ica. “Jangan nangis dong, Ca? Di sini enggak ada yang jualan permen.” Dev merangkul Ica lalu memeluknya. Meletakkan kepala Ica di dadanya. “Dev, apa Kak Satria akan setia sama aku?” tanya Ica. “Kamu kok tanya itu? Kan aku bilang, sebelum menerima Kak Satria, mantapkan dulu hati kamu, Ca?” jawab Devan. “Ya tanya saja, menurut kamu bagaimana? Dia dingin banget orangnya, Dev. Kaku. Telefon atau video call saja dia gak pernah candaan, serius terus. Kaku banget Dev,” keluh Ica. “Kan memang Kak Satria gitu orangnya, Ca? Kamu harus paham dong? Dia itu tipe laki-laki yang serius dalam suatu hal, Ca. Kamu harus belajar memahami Kak Satria lagi mungkin, Ca. Tahun depan, kamu kan balik ke Indonesia. Itu saatnya kamu harus lebih dekat dan tahu soal Kak Satria, sebelum kamu menikah. Kamu harus paham dulu Kak Satria seperti apa. Yang aku tahu, dia baik, tidak neko-neko orangnya, kalau sudah cinta sama satu orang, ya sudah dia akan mencintainya, tanpa melirik kanan-kiri, Ca. Dia pasti setia sama kamu, Ca,” jelas Dev sambil mengusap lembut kepala Ica di dadanya. “Gak tahu aku agak ragu sama dia ya, Dev? Tiga hari kemarin dia sama sekali enggak bisa dihubungi. Sekalinya menghubungi, ternyata dia habis dari Bandung ngurus proyek sama Kak Leo. Dan ternyata papa dan mama tahu. Kenapa gak ngasih tahu aku sih? Aku kan tunangannya, Dev? Kesel gak sih?” “Masa Kak Satria sampai tiga hari gak ngabarin kamu? Dia kan selalu ngabarin kamu setiap hari, setiap detik, setiap menit, setiap jam?” “Nah itu? Aku ngerasa Kak Satria malah beda setelah aku mau jadi tunangannya. Dia yang awal care banget sama aku, setelah tunangan malah ngilang tiga hari gak ada kabar.” “Tiga hari kan, Ca? Mungkin kan memang sedang sibuk, Ca? Aku lho gak hubungin kamu sebulan ini. Kamu enggak kesel sama aku?” “Kamu itu udah biasa, Dev! Suka ngilang, dia kan tunangan aku, Dev! Bagaimana aku belajar menetapkan hati, kalau dia aja ngilang-ngilang gitu?” “Jujur, Ca. Kamu sudah ada perasaan untuk Kak Satria?” “Sedikit, Dev. Dan aku masih butuh memantapkan lagi rasa cinta ini untuk Kak Satria. Aku sudah membalas cintanya. Ya, hati ini nyaman dengan Kak Satria, tapi aku masih butuh banyak nyaman dengan dirinya. Aku butuh yang lebih dari sekadar mencintai, Dev. Itu kenapa aku memutuskan kembali ke Indonesia setelah urusanku di sini selesai,” jawab Ica. “Dev, terima kasih, ya?” “Untuk apa, Ca?” “Untuk setiap waktu yang sudah kamu luangkan untuk aku. Waktu yang sungguh sangat berharga untuk aku. Hingga aku lupa apa yang namanya sakit hati dengan Arkan. Dan, terima kasih untuk hatimu, yang sudah berbesar hati menerima keadaanku yang hanya menganggap kamu teman saja. Aku tahu hatimu sakit, Dev. Tapi, kamu coba diam, dan coba menyingkirkan rasa sakitmu sendiri. Maafin aku ya, Dev?” “Jangan ngomong kek gitu, Ca. Sudah, apa pun keadaannya sekarang, aku hanya ingin melihat kamu bahagia, Ca. Itu saja. Aku mohon, kamu bahagiakan hati kamu. Aku yakin Kak Satria orang yang tepat,” ucap Dev. “Iya, Dev.” Sakit namun tak berdarah. Itu yang Dev rasakan saat ini. Dia harus terima kenyataan kalau Ica sudah mulai jatuh cinta dengan Satria. Bahkan tiga hari tidak dihubungi Satria saja, Ica sampai galau. “Apa pun itu, asal kamu bahagia aku akan bahagia, Ca. Mungkin cinta untukmu tidak akan bisa hilang begitu saja dalam diriku. Aku sadar, ternyata aku semakin kerdil di matamu sekarang. Ada Satria yang sekarang semakin tumbuh dan bersemi di hatimu,” gumam Devan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN